Saturday 2 April 2011

DILEMA DALAM BANK ISLAM: PROFIT SHARING Vs REVENUE SHARING


 DILEMA DALAM BANK ISLAM:
PROFIT SHARING Vs REVENUE SHARING
Oleh: Zuraida

Salah satu karakteristik Bank Islam, yang juga menjadi pembeda mendasar antara Bank konvensional dan Bank Islam adalah sistem bagi hasilnya. Sistem bagi hasil itu sendiri, menurut Ach. Bakhrul Muchtasib, adalah sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Namun, dalam perkembangannya bagi hasil dapat dilakukan melalui 3 macam pendekatan. Pendekatan profit sharing, revenue sharing dan profit and loss sharing.
Pada tataran ideal, pendekatan yang digunakan seharusnya adalah pendekatan profit and loss sharing, yang di dalamnya akan sangat menyentuh seluruh aspek baik positif maupun normatif sebuah aktivitas perekonomian yang Islami (Ekonomi Islam). Namun, permasalahan klise yang menghadang penerapan ini selalu saja muncul, yaitu kurangnya sosialisasi terhadap pemahaman menyeluruh mengenai sistem perbankan Islam pada khususnya. Maka dari itu, pada awal-awal masa penerapan mekanisme perbankan Islam, pendekatan bagi hasil yang digunakan adalah pendekatanm profit sharing, dengan pertimbangan pendekatan ini lebih familiar dan digunakan demi kemaslahatan bersama, baik pihak bank maupun nasabah pada khususnya.
Secara umum, profit sharing adalah pendekatan dimana bagian yang dibagi hasilkan adalah hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk proses perolehan pendapatan tersebut. Jadi, dalam menetapkan bagi hasil, bagian pendapatan yang dibagi adalah bagian yang telah dikurangi dengan beban-beban yang ditanggung pihak pengelola, sedangkan jika pendapatan tidak lagi mencukupi untuk dibagi hasilkan (karena telah terpakai untuk memenuhi beban-beban pengelolaan)/ merugi, maka kerugian ditanggung bersama oleh pihak pengelola (nasabah) dan pihak pemilik modal (Bank).
Namun, kemudian disadari bahwa pendekatan ini memiliki kelemahan yang cukup merugikan, terutama bagi pihak perbankan. Mengapa demikian? Pertama, Bank Islam belum dapat bersaing dengan bank konvensional jika menggunakan pendekatan bagi hasil ini. Dengan pendekatan profit sharing, bank tidak dapat terus menjaga konsistensinya untuk memperoleh pendapatan dengan jumlah yang diharapkan, malahan rentan akan penanggungan kerugian akibat kerugian nasabah. Kedua, dengan pendekatan ini, memungkinkan terjadinya tindakan zalim dari nasabah terhadap pihak perbankan. Dengan bagian bagi hasil yang diasumsikan TR (Total Revenue) lebih besar dari pada TC (Total Cost), maka membuka peluang bagi nasabah untuk mengestimasikan biaya-biaya fiktif untuk kemudian digelapkan sebelum pendapatannya dibagi hasilkan dengan pihak bank.
Oleh karena itu, sebagai alternatif yang digunakan, MUI melalui Fatwanya memperbolehkan bank Islam mempergunakan pendekatan revenue sharing dalam bagi hasil. Sebagai salah satu pertimbangannya, diharapkan dengan pendekatan ini pihak bank Islam dapat bersaing dengan bank Konvensional, dalam hal ini kerugian yang diterima pihak bank Islam dengan pendekatan profit sharing dapat dieliminir.
Secara umum, revenue sharing bagian bagi hasilnya didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima tanpa dikurangi biaya-biaya yang digunakan selama proses pengolahan. Artinya, bagi hasil akan tetap dilakukan dengan menggunakan pendapatan kotor (yang belum dikurangi biaya), sehingga biaya-biaya ditanggung oleh nasabah (pihak yang mengelola usaha). Dalam kasus ini bank sebagai pemilik dana cenderung tidak menanggung resiko yang terlalu besar. 
Namun, ternyata sistem ini juga tidak akomodatif. Dengan pendekatan ini, pihak nasabah (sebagai pengelola usaha) akan dirugikan, karena meski nasabah mengalami kerugian dalam usahanya, mereka tetap harus membayarbagi hasil melalui pendapatannya sendiri. Jika nasabah telah merasa pihak bank Islam bertindak zalim dengan menerapkan ketentuan tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kepercayaan nasabah terhadap bank Islam akan berkurang. Jangankan hendak mensosialisasikan Ekonomi Islam, jika kepercayaan nasabah telah luntur, maka asumsi yang akan muncul adalah bank Islam sama saja dengan bank konvensional.
Salah satu poin penting dari pendekatan revenue sharing ini adalah jika dibandingkan dengan profit sharing, maka pendekatan ini lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak, mengurangi kemudharatan yang lebih buruk dengan kemudharatan yang lebih kecil. Meskipun terkesan zalim terhadap nasabah, namun untuk menghindari resiko penyelewengan dana oleh nasabah melalui pendekatan profit sharing, dengan bagi hasil melalui pendapatan.
Sebagai solusi yang diharapkan mampu meredakan kondisi dilematis antara penerepan profit sharing ataupun revenue sharing adalah penerapan bagi hasil dengan pendekatan profit and loss sharing. Dengan pendekatan ini diharapkan baik pihak nasabah maupun bank Islam sendiri tidak lagi terzalimi, bank Islam akan tetap mampu bersaing dengan bank konvensional dan tidak memungkinkan lagi terjadinya penyelewengan dana oleh pihak nasabah. Besar harapan berbagai pihak bahwa sosialisasi Ekonomi Islam dapat terjadi secara maksimal sehingga alternatif ekonomi yang lebih transenden sekaligus membumi dapat diterapkan dengan baik.
































KRISIS GLOBAL AKIBAT PARADIGMA KAPITALISME
Oleh: Zuraida*

Berawal dari kehancuran perusahaan asuransi terbesar Amerika yaitu AIG, yang terkait pula dengan krisis perumahan  Amerika Serikat akibat kredit macet, sektor keuangan Amerika Serikat mengalami guncangan dan kini berdampak hampir ke seluruh dunia, menjadi krisis keuangan global. Jika dianalisis lebih mendalam, hal tersebut sebenarnya bukanlah merupakan cikal bakal krisis global, melainkan puncak gunung es yang muncul kepermukaan. Mengapa demikian?  Bukanlah kredit perumahan yang beresiko tinggi yang harus dikambinghitamkan, bukan pula kehancuran AIG yang patut dipersalahkan, ataupun sistem perekonomian yang tidak sesuai. Tetapi, ada hal yang lebih substansi dan mendasar yang harus diubah dan jika tidak krisis di bidang ekonomi tidak akan pernah usai, yaitu mentalitas dan paradigma kapitalisme, khususnya para pelaku ekonomi.
Kemunduran perekonomian dunia yang pernah terjadi dalam tahun 1929-1932 seharusnya telah menyadarkan seluruh dunia akan paradigma kapitalisme yang merugikan. The Great Depression yang juga berawal dari keguncangan perekonomian Amerika Serikat telah menyebabkan pengangguran yang besar dan pendapatan nasional yang merosot tajam. Dalam bukunya, Sadono Sukirno (2006) mengungkapkan bahwa ahli-ahli perekonomian mazhab klasik meyakini bahwa sistem pasar bebas akan mewujudkan tingkat kegiatan ekonomi yang efisien dalam jangka panjang, namun mengakui kegagalan dalam perekonomian mungkin saja terjadi. Mengingat sistem pasar bebas dapat menimbulkan ketidakstabilan di sektor keuangan dan memperburuk prospek pertumbuhan perekonomian dalam jangka panjang.
Pengakuan teori-teori klasik tersebut kini telah terbukti, globalisasi perekonomian yang pesat menimbulkan keguncangan lagi dari negara yang sama (Amerika Serikat), meskipun teori-teori sebelumnya telah diperbaiki (oleh John Maynard Keynes) dan sistem yang digunakan berbeda. Hal tersebut membuktikan bahwa dibalik praktek perekonomian yang dilakukan terdapat paradigma dan mentalitas cacat yang perlu diperbaiki yaitu kapitalisme. Jika tidak, sehebat apapun pergantian sistem dan perbaikan teori-teori ekonomi di masa yang akan datang, krisis perekonomian tetap akan terjadi.
Secara umum, ada dua hal yang membuat paradigma kapitalisme dapat menghancurkan kemapanan sektor keuangan, bahkan di negara adidaya sekalipun,  sebagaimana istilah yang diungkapkan oleh Hendrianto, yaitu paradigma materialistiknya dan mentalitas mementingkan diri sendiri (self selfishness) para pelakunya. Hakikatnya, tidak semua hal dapat diukur dengan materi, selalu ada hal-hal yang relatif, yang berbeda menurut setiap orang dan tak selalu dapat diukur oleh manusia. Demikian pula menurut fitrahnya, manusia akan selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Namun, paradigma kapitalisme tidak mengakui hal tersebut.
Pola pikir materialistik, mengandung pengertian bahwa segala pencapaian maksimal atau kesuksesan tolak ukurnya adalah materi. Dalam perekonomian, kesuksesan terbesar adalah kemampuan finansial/ kekayaan, sehingga orang yang sukses perekonomiannya adalah orang yang kaya. Sedangkan seseorang yang telah bekerja keras sepanjang waktunya, namun belum juga mendapatkan kekayaan belum dapat dikatakan sukses. Bagi penganut kapitalisme, hasil akhir adalah tolak ukurnya. Segala usaha, parameter keberhasilannya adalah uang/ kekayaan. Lebih jauh lagi, mereka menganggap uang adalah segalanya. Uang adalah komoditi yang menguntungkan, sehingga uang dapat diperjualbelikan.
Terkait dengan krisis sektor keuangan yang melanda Amerika, pola pikir materialistik para penguasa modal terlihat pada kurang selektifnya dalam memilih kreditur perumahan, sehingga menyebabkan kredit macet. Objektivitas dalam pemilihan kreditur hanya didasarkan pada kemampuan finansial untuk membayar kredit perumahan, sedangkan sikap dan perilaku kurang diperhatikan. Dalam hal ini, norma dan etika dianggap tidak dapat menjadi standarisasi dalam kegiatan perekonomian.
Sedangkan sifat mementingkan diri sendiri, individualistis, mengandung pengertian pengaktualisasian kepentingan diri sendiri dan kepemilikan kekayaan individu/ kelompok dianggap sangat urgen dan utama. Dengan kata lain, monopoli atas materi/ kekayaan secara individual/ kelompok sangat diakui sebagai pencapaian/ kesuksesan pribadi. Sebagai akibatnya, distribusi kekayaan/ harta menjadi sangat sulit dan adanya keengganan berbagi terhadap orang/ kelompok lain.
Sebagai akibat penguasaan kekayaan (uang) oleh individu atau sekelompok orang saja, sebagaimana penguasaan AIG pada sektor keuangan Amerika, stabilitas perekonomian akan ditentukan oleh sekelompok penguasa kekayaan (penguasa pasar) saja. Amerika Serikat misalnya, stabilitas perekonomian sangat terganggu ketika AIG mengalami kehancuran, mengingat AIG adalah perusahaan asuransi terbesar/ penguasa pasar di Amerika bahkan di luar negeri. Sedangkan, dunia pada saat ini terancam stabilitas perekonomiannya akibat guncangan sektor keuangan yang dialami Amerika Serikat, salah satu negara terkaya di dunia (penguasa pasar dunia).
Dengan demikian, kesadaran akan paradigma dan mentalitas kapitalisme yang menghambat kemapanan perekonomian, mampu memberikan revolusi besar terhadap segala kebijakan, sistem baru, maupun teori-teori aktual mengenai perekonomian dan upaya meredakan krisis sektor keuangan. Kesadaran ini tentunya harus diiringi dengan tindakan oleh individu maupun institusi pelaku ekonomi untuk mereduksi paradigma dan mentalitas tersebut. Misalnya, dengan cara menyadari bahwa materi (uang/ kekayaan) bukanlah komoditi melainkan hanya alat perantara dalam perekonomian, norma dan etika mutlak diperlukan dalam perekonomian sebagai pedoman untuk berekonomi secara manusiawi, serta distribusi kekayaan (uang/ modal) sehingga sendi-sendi perekonomian menjadilebih kuat dan selalu berbagi terhadap orang lain untuk menghindari monopoli individu/ sekelompok orang atas kekayaan (perekonomian).
   
*Mahasiswa Jurusan Syari’ah Program Studi Ekonomi Islam STAIN Pontianak

Krisis finansial global telah menunjukkan taringnya hampir di seluruh penjuru dunia. Belum lagi Bank Indonesia mencapai target BI rate-nya untuk mengurangi tingkat inflasi di Indonesia, ancaman angka pengangguran yang meningkat merupakan permasalahan lain yang harus segera diupayakan penanganannya. Sejatinya BI rate yang masih tergolong tinggi, memiliki kontribusi tidak langsung terhadap bertambahnya jumlah pengangguran. Mengapa demikian? Krisis keuangan di Amerika berdampak pada berkurangnya daerah pasar potensial.


*Keterangan
            Tulisan ini asli dan tidak ada perubahan dari penulis aslinya. Bila ada EYD atau kata yang salah atau kurang tepat sedianya dikoreksi dan berikan masukan saran atau kritikan melalui dinding komentar blog ini.

No comments:

Post a Comment