Saturday 7 May 2011

Kejujuran Berakhir Luka

Kejujuran Berakhir Luka 
Oleh Dobleyu Way
Pagi ini saat aku terbangun dari tidur malamku yang kelabu, tak ada kutemukan cahaya matahari yang selalu menyinari indahnya suasana pagi dan selalu menerangi bumi dengan cahaya indahnya. Keadaan alam seakan ikut merasakan apa yang sedang aku rasakan belakangan ini, merasakan bahwa hati ini masih menangis menanti kabar darinya. Saat kubuka jendela kamarku, yang aku temukan hanyalah awan mendung yang menunjukan akan turun tetesan air hujan. Semua itu seakan menjadi pertanda bahwa akan datang kesedihan lagi pada hati ini.
Pagi ini, aku sengaja berangkat lebih awal menuju kampus berharap agar dapat menemukan sosok relung hati yang selalu memenuhi canda tawa dalam hari-hariku sebulan yang lalu. Ternyata, harapanku bertemu dengannya menjadi sebuah kenyataan. Tepat pukul 07.48 WIB, aku melihat sosoknya keluar dari jalan arah rumahnya. Saat itu aku sangat berharap bisa menghampiri sosoknya, hingga kukurangi kecepatan sepeda motorku dan berharap dapat berjalan berdampingan sebagaimana yang sering aku lakukan sebelumnya.
Akan tetapi, semakin aku pelan dia semakin menghilang jauh di belakang, dan ketika kembali kulihat, seketika ia menarik laju gas motornya. Ingin rasanya aku mencoba untuk mengejarnya, namun diriku tak sanggup melakukannya. Hingga akhirnya kubiarkan ia berlalu begitu saja dari pandangan mataku. Dan derai air mata pun tak dapat lagi kutahan.
Hati ini selalu bertanya, apakah salah kejujuran yang telah aku ungkapkan itu? Sampai-sampai dia tak lagi mau memaafkan diriku, bahkan mungkin tak mau melihat wajahku lagi. Namun sampai saat ini belum juga aku temui jawaban atas semua pertanyaan yang selalu mengganjal dalam relung hatiku. Mungkinkah kejujuran itu akan menjadi akhir dari hubungan ini, yang baru berjalan satu bulan tepat tanggal 13 April 2010 yang lalu. Pertemuan yang singkat itu ternyata menumbuhkan benih rasa sayang pada dirinya, hati ini berani untuk terbuka dan mencoba menjalani kisah cinta lagi yang sebelumnya pernah terluka dan kecewa oleh cinta yang lain.
Masih kuingat, 10 Maret 2010 sore menjadi awal pertemuanku dengannya, meskipun saat itu aku tak melihat jelas sosok wajahnya karena hujan deras yang mengguyur kami sepanjang perjalanan pulang. Entah kenapa, di pertemuan kedua, hati ini berkata lain, hati ini seolah-olah mengatakan bahwa dialah yang akan mengisi hari-hari indah itu nanti. Pertemuan pertama memang terkadang sering menimbulkan rasa sayang, biasa “cinta pada pandangan pertama”.
pertemuan kedua terjadi pada tanggal 11 Maret 2010. Kala itu aku dan dia sengaja janjian untuk pulang bersama berawal pertemuan di sebuah tempat santai daerah Adi Sucipto, “Pondok Pegagan”. Saat itu menjadi saksi pertemuan aku dengan dia, dengan ditemani segelas juice melon dan semangkok es teler. Aku mencoba mengenalinya dari setiap cerita yang mengalir kepadaku, hingga tak terasa waktu terus berputar begitu cepat dan tanpa aku sadari jam di tanganku telah menunjukan pukul 19.35 menit. Malam itu terasa begitu cepat berlalu, hingga aku memutuskan untuk mengakhiri obrolan dengannya yang terus mengalir tanpa hentinya. Di persimpangan Jalan Supadio kuberpisah. Obrolan itu bukan hanaya terjadi di salah satu warung Adi Sucipto memisahkan, obrolan itu berlanjut ketika kusampai di rumah. Handphoneku berdering menerima SMS masuk darinya. Detik jam terus berlalu, menit demi menit berjalan, hingga akhirnya hitungan jam pun terus berputar. SMS demi SMS terus masuk meskipun sering pending karena gangguan operator, hingga akhirnya malam Minggu, 13 Maret 2010 dia mengajakku untuk jalan bersamanya.
Malam itu, 13 Maret 2010 seakan memberikan kebahagiaan lagi bagi diriku, karena sudah cukup lama aku tak pernah malam Minggu bersama seorang cowok. Malam itu, dia menjemputku di kost sahabatku, Tika di Jalan Ayani Sepakat 2 Blok C. Aku mengenakan kaos warna pink dan dia memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah. Malam itu aku, dia, dan teman-temannya duduk santai di daerah Pancasila dengan ditemani capucino dingin. Mencoba beradaptasi dengan teman-temannya sambil bersenda gurau, dan aku harus kuat menahan perkataan dia dan teman-temannya yang semuanya usil menyakat. Malam itu aku merasakan seperti ada hubungan yang lebih dengan dirinya, padahal aku dan dia baru beberapa hari saling mengenal. Jalan bareng bersama dia kemudian berlanjut di hari yang lain. Suatu hari dia mengajak untuk santai di toko tempat dia bekerja. Sebelum ke sana, kami singgah makan bakso di daerah Paris “Bakso Fatimah” yang menjadi tempat langganannya makan.
Waktu terus berlalu, detik demi detik berganti, menit terus berjalan, dan jarum jam pun terus berputar. Hingga sebelum jam menunjukan pukul dua belas malam, dia mencoba menyatakan rasa sayang pada diriku. Awalnya aku masih ragu pada rasa itu, mengapa itu begitu cepat terjadi??? Apa yang ada pada diriku hingga dia dengan begitu cepat menyatakan rasa sayang itu?
Saat itu, kumearasakan suatu ketakutan yang amata, aku takut dijadikan sebagai pelarian, sebagai pelampiasan rasa kecewa atas masa lalunya. Namun, hati ini mencoba meyakinkan bahwa aku harus berani mencoba menjalani hubungan ini, coba untuk terima cinta itu untuk menghiasi relung hatiku. Dan malam itu pun kuputuskan untuk menerima cintanya dan menjalani hari-hari bersamanya.
Setiap sore aku selalu pulang bersamanya, selalu setia menunggu dia agar aku bisa melihat wajahnya dan bersenda gurau dengannya. Tak cukup hanya sampai di situ, sampai di rumah pun aku selalu mendengarkan suara dan senda guraunya lewat telepon sebelum mataku terbang ke pulau kapuk. Tak terasa… ternyata semua itu telah sebulan aku jalani bersamanya, panggilan sayang, dudul, bongol, selalu terucap dari bibir ini untuk dirinya. Itu yang menjadikan aku semakin sayang sama dia dan takut akan kehilangan dirinya, kurasakan ada kebahagiaan tersendiri dengan semua panggilan sayang yang berbeda dari yang pernah aku jalani sebelumnya.
Hingga pada akhirnya tepat hari itu, 13 April 2010 hubunganku dengannya genap satu bulan kujalani. Ada satu rahasia yang sebenarnya tidak pantas untuk aku ungkapkan pada siapa pun, akan tetapi aku merasakan ada beban yang lain jika tidak aku ungkapkan pada dirinya. Aku merasa tak sanggup untuk terus-terusan, berbohong menutupi segala pertanyaan yang sering dia tanyakan. Saat itu yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana caranya dapat mengatakan yang sejujurnya pada dia tanpa harus membuatnya kecewa. Meskipun aku tahu bahwa hatiku tidak mungkin sanggup untuk menjalani resiko yang akan dia berikan, namun bagiku kejujuran itu yang ingin aku tunjukan untuk membuktikan bahwa aku benar-benar menyayanginya tanpa melihat kekurangan yang ada pada dirinya.
Seperti biasa, sore itu aku selalu pulang bersamanya. Namun aku merasakan bahwa sikapku berbeda tidak seperti biasanya. Saat menatap wajah indah itu ingin rasanya kuurungkan niatku untuk mengatakan yang sejujurnya pada dia, karena aku tak ingin melihat wajah indah itu kecewa padaku. Senda gurau yang dia selipkan dalam setiap obrolannya, hanya kubalas dengan seuntai senyum yang dengan terpaksa aku keluarkan untuk menutupi segala gundah yang aku takutkan. Meskipun awalnya aku ragu untuk memberikan sepucuk surat yang berisikan semua kejujuran itu, namun aku coba menghilangkan rasa ragu itu karena aku menyayanginya. Aku dapat merasakan bahwa akan ada segurat rasa kecewa yang mendalam pada dirinya terhadapku, saat kutatap wajah itu.
Tapi aku tak tahu lagi harus bagaimana, aku merasa tak sanggup lagi untuk terus-menerus menutupinya, berbohong pada sosok yang dengan tulus aku sayangi... !!! hingga tetap aku putuskan untuk memberikan sepucuk surat itu pada dirinya. Sempat dia mengejek “jadul”, namun aku tak perduli karena hanya dengan goresan tinta dalam secarik kertas putih itu yang sempat aku tulis di sela-sela waktu belajarku tadi malam (12 April 2010) untuk menghadapi ujian mid.
Dalam goresan itu, aku dapat mengungkapkan semuanya. Tanpa kupikir lagi apa yang akan terjadi nanti dengan hubungan aku dan dia, namun kurasakan beban pikiranku berkurang karena aku telah berani untuk jujur pada orang yang kusayangi. Sampai di rumah hatiku menjadi bimbang, kutunggu kabar darinya dan kutelpon dia untuk menanyakan “Apakah dia telah membaca isi surat itu?”. Tapi ternyata dia belum sempat membacanya. Menit terus berganti, perasaanku semakin bimbang dan semakin takut bahwa dia akan marah dan kecewa setelah membaca semua itu. Malam itu semua pikiranku kacau, dua mata kuliah untuk ujian mid besok (14 April 2010) semuanya tidak terpikirkan lagi dalam otakku, yang terbayang hanyalah bagaimana reaksi dia setelah membaca isi surat itu.
Akhirnya... semua yang aku takutkan terjadi juga, selang beberapa menit setelah aku SMS menanyakan tentang surat itu aku menelponnya. Sebelumnya ia tidak pernah menolak telepon dariku meskipun dia sibuk, namun malam itu, berkali-kali aku menelponnya, hasilnya sia-sia. Jangankan untuk mengangkat teleponku, membalas SMS dariku saja dia tidak mau. Saat itu juga, kembali tak dapat lagi kutahan deraian air mataku, aku menangis melampiaskan semuanya. Salahkah semua yang aku ungkapkan itu???? Perasaanku benar-benar bingung, dan pikiranku kacau... !!! ingin rasanya malam itu kuakhiri hidupku.
Malam itu kumerasakan seperti yang dulu pernah aku alami, dimana aku berani nekat melakukan sesuatu tanpa berpikir apa resiko yang akan terjadi agar hati ini puas, agar hati ini tidak merasakan luka itu lagi.
Keesokan harinya (14 April 2010), aku hanya bisa pasrah saat menghadapi soal-soal ujian mid. Dan aku hanya bisa berharap pada sahabatku, karena pikiranku kacau dengan masalah yang kuhadapi malam itu. Dua mata kuliah hari itu, tak dapat aku kerjakan dengan sendiri semua mengharapkan bantuan dari sahabatku. Aku tak yakin kesedihan yang aku alami ini dapat dengan cepat menghilang, padahal masih ada beberapa ujian mid mata kuliah lagi yang harus aku tempuh.
Meskipun ini bukan yang pertama kalinya aku mengalami kesedihan seperti ini, namun aku tak pernah bisa tegar menghadapi semua yang telah terjadi dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan keceriaanku yang dulu lagi.
Sejak kejadian sore itu, aku tak pernah berhenti untuk terus mencoba menghubunginya meskipun sering diabaikan olehnya, namun aku tak pernah menyerah. Hingga malam itu aku masih tetap mencoba menghubunginya, dan akhirnya dia mau juga berbicara padaku, dia sempat mengungkpakan kekecawaan yang dia rasakan. Namun aku tak dapat berbuat apa-apa karena memang aku yang bersalah dan membuat dirinya kecewa.
Meskipun aku telah dapt menghubunginya, aku tetap tidak bisa fokus terhadap soal-soal ujian mid semester yang ada di hadapanku. Aku merasakan otakku sangat sulit menjawab setiap pertanyaan, entah mungkin karena aku terlalu memikirkan dia.
Saat ujian mid selesai, aku mendengar kabar darinya kalau dia sedang sakit. Aku jadi merasa semakin bersalah dan bertanya-tanya apa yang dia lakukan tadi malam sampai dia menjadi sakit?? Aku cepat menghubunginya untuk menanyakan keadaannya hingga memaksa dia agar mengizinkan aku ke tempat dia bekerja. Awalnya dia memang tidak mengizinkan, akan tetapi karena aku terus memaksa akhirnya dia mengizinkan aku untuk ke sana. Aku berusaha memberikan perhatianku kepadanya agar dia tahu kalau aku benar-benar tulus menyayanginya.
Siang itu, hatiku bisa tersenyum karena dapat melihat wajahnya dan membelai lembut rambutnya lagi, aku mencoba menunjukan rasa perhatianku ketika dia sakit. Akan tetapi, senyum yang terpancar dari wajahku hanyalah untuk beberapa saat saja. Berulang kali aku tanyakan apa yang dia lakukan tadi malam, dia tetap tidak mau menjelaskannya secara terbuka. Sesaat dia tertidur di pangkuanku setelah minum segelas susu yang aku buatkan, kutatap wajah itu dan kubelai rambutnya sebagai bentuk perhatian dan rasa sayangku. Saat dia terbangun dari tidurnya, tiba-tiba dia sedikit menjauh dariku. hatiku sangat bertanya, “ada apa lagi dengan dirinya … ???” ku tanya, namun dia tetap tidak menjawab. Dengan wajah kecewa, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkannya karena aku tak mengerti mengapa dia berubah lagi padaku.
Sejak kejadian itu, hari-hari yang sempat aku rasakan penuh tawa dan canda kini menghilang. Aku merasakan kesedihan selalu menyelimuti diriku, karena sosoknya yang hadir waktu sebulan telah mampu menghiasi relung hati ini dengan segala canda dan tawa yang kini semuanya kurasakan menjauh dari kehidupanku. Dia yang selama sebulan itu bertempat di relung hatiku, menemaniku saat sendiri, menghiburku dengan senda guraunya. Semua itu yang membuat aku begitu kehilangannya karena tak ada lagi yang menemaniku dalam setiap malam yang mengantarkan aku ke dalam alam mimpi. Sosok itu benar-benar kurasakan telah pergi dan mungkin tak akan pernah kembali lagi.
Ternyata … tidak semua kejujuran yang kita ungkapkan dapat berakhir dengan bahagia. Pada tanggal 19 April 2010, harus aku dengar dan menerima kenyataan pahit dari mulutnya. Penantian yang selama ini aku harapkan dengan kejujuran itu dapat berakhir bahagia, ternyata hanyalah mimpi belaka. Setelah menyelesaikan soal ujian mid siang itu, aku putuskan untuk menemuinya dan menanyakan semua kejelasan hubungan kami. Karena aku tak mau terus-terusan digantung tanpa kejelasan yang semuanya membuat aku sakit dan pada akhirnya semuanya juga harus berakhir. Saat itu, aku mencoba menguatkan hatiku dan menyakinkan perasaanku kalau aku mampu menanyakan semua itu padanya. Meskipun hujan gerimis, semua itu tidak menghalangi niatku untuk menemuinya di tempat dia bekerja, aku tetap nekat pergi ke sana ditemani sahabatku, Tika.
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menenangkan semua perasaan gundah, resah, dan takut yang ada dalam hatiku. Karena sebelumnya aku memang tak ada menghubunginya jika aku akan pergi menemuinya, langkah itu kuambil karena aku takut dia akan menghindar. Setibanya di tempat ia bekerja, sana perasaanku semakin deg-degan tak menentu, mungkin dia kaget saat melihat kedatanganku. Kucoba menghubunginya lewat telephone bahwa aku ingin berbicara dengannya sebentar, awalnya dia mencoba menghindar. Namun aku tetap bersikeras ingin bicara saat itu, walaupun dengan waktu yang singkat.
Setelah beberapa menit menunggunya, aku dapat berbicara dengannya untuk menanyakan tentang bagaimana kejelasan hubungan itu. Wajah itu tak berani untuk menatap mataku saat dia bicara dan menjawab segala pertanyaanku, terus kupaksa dia untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan dengan hubungan itu sekarang, apakah terus berlanjut atau berakhir sampai di sini. Cukup lama aku menunggu kata – kata yang keluar dari mulutnya tentang kejelasan hubungan kami, sampai akhirnya dengan berat dia mengatakan, “Kita jalani sendiri-sendiri aja dulu”.
Amat sakit hati ini saat mendengar perkataan itu, namun tetap aku coba untuk menerimanya. Sebuah jawaban yang amat kutakutkan sudah jelas dan benar-benar terjadi.
Hujan gerimis yang turun sore itu, mengantarkan kepulanganku menuju kost setelah mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya. Tak dapat lagi kutahan tetes air mata saat itu, kupeluk sahabatku sambil menangis di pundaknya saat tiba di kost. Kutuangkan semua rasa kehilangan, kekecewaan, kesedihan yang aku rasakan pada temanku. Tanpa kusadari ternyata sahabatku juga turut meneteskan air mata. Kupahami apa arti semua kejujuran itu, ternyata kejujuran yang benar-benar tulus aku ungkapkan tidak selamanya dapat berakhir dengan bahagia. Aku menyesal telah mengatakan itu dengan jujur jika akhirnya harus kehilangan dia, namun selalu kuingat kata- kata dari sahabatku, Dani sebagai penguat jiwaku dalam penyesalan ini, “Jujur itu sulit dan kadang-kadang emang menyakitkan, tapi itu lebih baik daripada bahagia di atas sebuah kebohongan yang suatu saat kebahagiaan itu akan sirna ketika dia tahu kalau kita udah membohongi atau menutupi sesuatu dari dia”.
Kata-kata itu yang terus menjadi motivasi melawan semua rasa penyesalan atas apa yang telah aku ungkapkan hingga membuat dia harus menjauh dariku. Karena sesungguhnya aku sadar, bahwa hanya sedikit perempuan yang bisa mengatakan kejujuran tentang apa yang pernah dia alami pada masa lalunya. Mungkin inilah jalan terbaik antara aku dan dia, dan sosoknya yang selalu menghiasi canda tawa dalam hari – hariku kini telah menghilang jauh dari hidupku.

~ THE END ~

No comments:

Post a Comment