Friday 12 August 2011

PUASA DAN MAWAS DIRI

PUASA DAN MAWAS DIRI
Oleh: Ibrahim MS
Puasa sebagai satu Ibadah yang dipercayai dapat mengantarkan seseorang kepada derajat ketakwaan (Q.S.2: 183) sebenarnya membawa banyak pelajaran yang patut dicermati oleh orang yang berpuasa (shaim). Berdasarkan pada istilahnya, puasa mempunyai makna  “menahan diri” atau “kontrol diri”. 
Dengan demikian puasa merupakan amal ibadah yang dikerjakan dengan cara menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari, serta tidak melakukan segala apa yang membatalkannya dari terbit pajar hingga terbenamnya matahari (Zainal Abidin, 1951).
Sebagai satu ibadah yang diistimewakan, Allah SWT telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang berpuasa. Bahkan satu dari empat kelompok manusia yang dirindukan oleh surga Allah adalah orang yang berpuasa di bulan Ramadan (Al-Hadits).
Menurut Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, keistimewaan ibadah puasa dapat dilihat dari dasar perintah melakukan ibadah ini. Menurutnya, sapaan “hai orang-orang yang beriman” yang digunakan Allah dalam permulaan ayat perintah puasa itu bermakna panggilan kepada kesadaran diri dan hati (iman) seorang hamba. Iman itulah sesungguhnya yang menggerakkan setiap hambanya untuk berpuasa, menahan diri dari kuasa hawa nafsu, meredam kehendak diri (sebagai manusia) untuk selanjutnya mengikuti kehendak Allah SWT. 
Beberapa keistimewaan lainnya dari ibadah puasa adalah sebagai berikut:
Pertama, puasa merupakan ibadah yang bersifat rahasia hamba dengan Tuhan, dimana kualitas puasa seseorang bergantung kepada  keikhlasan hati dan kesadaran iman yang berpuasa. Karena itulah Allah menjanjikan balasan pahala yang khusus dan istimewa bagi orang yang berpuasa (hadits kudsi)
Kedua, ibadah puasa yang dilakukan berdasarkan panggilan hati dan kesadaran iman senantiasa melibatkan seluruh aktivitas hambanya, dari fisik yang menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, hingga non fisik berupa kesadaran hati, pikiran dan imannya bahwa dirinya sedang mengikuti kehendak Allah (berpuasa).
Ketiga, puasa dalam bentuk aktivitas fisik hanya akan memberikan dampak yang bersifat fisik pula. Sementara nilai ketakwaan yang dikehendaki dari ibadah puasa lebih merupakan dampak non fisik dari keimanan dan kesadaran dalam diri orang yang berpuasa.
Keempat, puasa yang dilakukan atas dasar kesadaran diri, perasaan, pikiran dan hati (iman) itulah sesungguhnya yang diyakini dapat membentuk sosok diri yang bertakwa, sebagaimana tujuan disyariatkan berpuasa (Q.S. 2: 183).
Terakhir, orang yang berhasil mencapai derajat takwa dari puasanya adalah mereka yang mampu menjadikan puasanya sebagai upaya mawas diri. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan melakukan korupsi, mencuri dan berbagai kemaksiatan jika kesadaran imannya selalu mengingatkan bahwa “saya sedang berpuasa”. Sebab, dengan “selalu berpuasa dan mawas diri”, Insya Allah kita akan mampu menghindarkan diri dari berbuat dosa dan kemaksiatan hidup. Wallahu a`lam       

No comments:

Post a Comment