Friday 13 July 2012

Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi


Tugas awalku menjadi reporter olahraga. Nyaris setiap hari
ke gedung olahraga untuk liputan sebuah event di tingkat
Kota Pontianak dan atau Kalimantan Barat. Foto. Budi Rahman

Bimillahirrahmanirrahim
Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi

“Tak ada rotan, akar pun jadi” suatu ungkapan yang sering terlontar kala pilihan utama tidak ada atau selalu menjadi alternative kedua dalam kebutuhan. Dalam bagian cerita ini, ungkapan itu saya kaitkan dengan alternative kedua saya ketika saya awal-awal menjadi wartawan dan masih belajar menulis berita untuk dikirim ke Borneo Tribune dan atau Borneo Metro.  
Sebagaimana judul di atas, pepatah itu saya renovasi menjadi “Tak ada tikar, koran pun jadi.”
Seperti biasa orang kelas mengenah ke bawah, alas tidurnya ialah tikar atau orang yang berpunya, alas tidurnya menggunakan kasur atau sprim bead, saya kalau di rumah juga menggunakan alas tikar untuk tidur karena masih belum mampu untuk membeli kasur, dan karena sudah terbiasa menggunakan tikar, malah kadang susah tidur kalau berbaring di kasur empuk apalagi yang sampai bertingkat dua atau tiga.
Pada awal saya mengirim berita ke Borneo Tribune atau Borneo Metro kadang saya sampai larut malam pulang dari kantor redaksi di Jalan Purnama Dalam karena ketika awal belajar nulis berita, kadang satu judul berita memerlukan waktu satu setengah jam atau 2 jam untuk menyelesaikannya dan itu masih banyak yang dipertanyakan oleh redaktur karena tidak jelas pokok pembahasannya. Rumahku yang di Sungai Ambawang Desa Mega Timur Parit Lambau sangat jauh dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, apalagi ketika musim hujan yang otomatis jalan masuk dari Jalan 28 Oktober Pontianak sejauh 4 kilo meter pasti becek, sedangkan esok paginya harus kuliah mulai jam 07.30. Maka, untuk mendapatkan keduanya yakni bisa kuliah tidak terlambat masuk dan menulis berita tetap lancer, maka alternativnya saya memutuskan menginap di kelas KPI semester satu tempat yang sehari-hari saya dan kawan gunakan untuk proses kuliah. Di sudut kelas gedung dakwah lantai dua, dengan ber-alaskan koran yang memang sengaja dari kantor Borneo Tribune saya bujurkan tubuh hitam ini dengan tanpa beban karena telah dihantui rasa ngantuk. Pada awalnya saya tidak menggunakan kain penutup untuk selimut, sehingga ketika paginya bangun, tubuhku yang tidak terkena tutup baju dan celana tampak bentol-bentol oleh jarum suntik nyamuk-nyamuk lapar yang haus akan darah. Malam pertama terkaparku di pojok kelas sedikit menderita dan tak enak tidur oleh nyanyian sayap nyamuk yang naksir dengan darahku, karena nyamuk itu, tidurku terganggu karena harus garuk-garuk bagian yang gatal oleh sengatannya. Namun, oleh karena mata yang sudah tak mampu bertahan untuk terbelalak, meski nyamuk berkaraoke di telingaku, dan menari di tubuh mulus hitamku serta mencium bagian sensitifku yang mudah ditembus oleh jarum suntiknya untuk bertahan hidup, saya tetap tidur pulas sampai dengan jam enam pagi.
Ketika ku terbangun, selain merasakan gatal dan bagian tubuhku bengkak kecil, aku dikejutkan oleh binatang yang berasal dari jentik yang bertengger di dinding kelas dekat tempat saya membaringkan badang tadi malam. Meski tidak membentuk lukisan yang biasa dipajang di rumah-rumah, namun nyamuk yang bertengger di sekitar tidurku sangat banyak sekali, perkiraanku nyamuk itu berjumlah lebih dari seratus dengan perut yang berisi tanda kekenyangan. Dalam benakku, ini pasti mengisap darah saya, karena tak ada lagi manusia yang ada di ruangan tersebut malam itu. Meski ia bertengger dengan perut yang berat dan dihasilkan dari badanku, namun saya enggan menggilasnya untuk wafat sampai hari kiamat, hatiku hanya berkata pada nyamuk-nyamuk kenyang itu bahwa darahku yang telah ia hisap anggaplah sebagai shadaqahku yang nanti akan aku tagih di hari kiamat untuk meringankanku dari panas api neraka.
Namun untuk kedua kalinya, sebelum saya berangkat ke kampus untuk kuliah, saya siapkan seuntai kain yang berjahit menjadi bulat (sarung) dan dimasukkan ke dalam tas bersama buku pelajaran dan juga kadang dengan pakaian ganti untuk persiapan esok harinya. (Bersambung)Untuk keduakalinya saya tidur di sudut kelas yang kadang terbujur di atas bangku dosen (Kepada Dosen, maaf saya telah tidak sopan dengan tempat kekuasaan anda, itu ku lakukan karena ku menjaga pakaian saya agar tidak kotor dan supaya saya mudah bangun). Saya sedikit terlindung dari dinginnya angin malam dan juga gigitan kecil makhluk Tuhan penghisap darah yang bernama nyamuk.

Catatan ini belum diedit dari aslinya yang ditulis sekitar awal 2010.

No comments:

Post a Comment