Monday 17 September 2012

Risalah ‘Generasi Pak Sakerah’ di Rantau Panjang (4)

Risalah ‘Generasi Pak Sakerah’ di Rantau Panjang (4)
Hidup Terjepit di Antara Parit

Oleh: A. Alexander Mering

SUPANDI bilang, Rantau Panjang diambil dari nama sebuah tikungan atau tanjung sungai yang cukup panjang. Sebab tanjung itu melebihi tikungan yang ada di sungai Landak. Di sekitar Rantau Panjang terdapat beberapa kampung yang saling berbatasan. Antara lain Kuala Mandor, Rantau Panjang Kecil, Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok, Parit Baru, Kampung Tengah, Tanjung Kepala Dua, Setoket, Kuala Sambeh, Teluk Bakong, Menanik, Teluk Biong dan Krueng.
Kampung Rantau Panjang dikelilingi dua sungai, yaitu Sungai Landak dan Sungai Mandor. Dari dua sungai ini masih mempunyai beberapa anak sungai lagi, yaitu Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok dan Sungai Sambeh. Sungai terbesar di antara anak-anak sungai ini adalah Sungai Sambih.
Sungai ini menjadi satu-satunya jalur transportasi ke ibukota kecamatan Sebangki. Jarak pusat kampung dari tepi Sungai Mandor hanya sekitar 400 meter. Tapi jika dari pangkalan Siong Kim, lebih panjang yaitu sekitar 2 Km.
Di Pangkalan itu hanya ada dua rumah sekaligus toko, gudang dan steigher motor air menuju Kubu Padi dan Retok.
Mula-mula jalan utama hanya terdiri dari timbunan tanah galian. Tapi sekitar 1 km sudah disemen warga kampung secara swadaya sejak sejak tahun 2003. Masing-masing menyumbang sesuai kemampuan. Lebarnya pas-pas untuk sepeda motor lewat, sekitar 50 cm saja. Bagi yang pertama kali lewat disana, pasti rasanya seperti main akrobat. Jika Anda naik motor air dari Pontianak, untuk tiba di Rantau panjang bisa-bisa memakan waktu sekitar 7 jam. Tapi naik speedboat tentu saja lebih cepat, cuma butuh waktu satu jam 30 menit saja.
Boleh juga lewat jalur darat, yaitu naik ojek dari Aur Sampuk Desa Senakin Kecamatan Sengah Temila. Dari Pontianak ke Simpang Aur Sampuk cuma dibutuhkan 3 jam perjalanan naik sepeda motor. Nah, Simpang Aur ke Sebangki tinggal 40 Km lagi.
Studi Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) tahun 2004 memetakan wilayah kecamatan Sebangki terdiri atas dataran rendah dan berbukit. Bukit yang terkenal di kecamatan ini adalah Bukit Cempaka. Tak jarang wilayah di sekitar terendam air saat banjir. Sebagian pemukiman kecamatan ini terletak di dataran rendah seperti Desa Sungai Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan Desa Agak, Desa Sebangki dan Desa Kumpang Tengah umumnya terletak didataran tinggi.
Tahun 2006 lalu penduduk Kecamatan Sebangki mencapai 14.603 jiwa dengan luas wilayah kecamatan 885,60 Km2. Secara administratif kecamatan ini terdiri dari 5 buah desa dengan 27 Dusun. Penyebaran penduduk tidak merata. Penduduk terbesar ada di 3 desa, yaitu: Desa Kumpang Tengah, Desa Sei. Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan 2 desa lainnya yakni Desa Agak dan Desa Sebangki relatif sedikit penduduknya.
Menariknya, desa-desa disana tersegregasi oleh etnik. Rantau panjang berada di pesisir Kabupaten Landak yang berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya. ”Sepertinya ada pembagian kelompok etnik berdasarkan desa,” kata Paulus suatu ketika. Paulus adalah aktivis Yayasan Pangingu Binua (YPB). Lembaga ini berpusat di Menjalin, Kabupaten Landak dan didirikan para Timanggong Adat Dayak di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Landak tahun 2000 lalu. Lembaga ini bekerja pada isu pemberdayaan masyarakat dan untuk perdamaian dan keadilan di Kalimantan Barat. Karena Desa Rantau Panjang menjadi daerah dampingan YPB, Paulus pun kerap mondar-mandir ke sana sejak 2004.
Menurut Paulus Sebangki terdiri dari 5 Dusun. Tiga Dusun umumnya didominasi etnik Dayak dan 2 dusun lainnya Melayu. Di Desa Agak, dari 8 dusun seluruhnya didominasi oleh etnik Dayak. Demikian pula halnya dengan Desa Kumpang Tengah, dari 5 buah dusun semuanya didominasi oleh etnik Dayak. Berbeda dengan 3 desa di atas, Desa Rantau Panjang dan Desa Sei Segak, paling banyak orang Madura.
Umar Noyo menceritakan kalau beberapa tahun terakhir sungai sektiar yang melimpah udang dan ikan kini sudah keruh dan tidak sehat.
”Ini akibat penambangan emas di hulu Sungai Mandor,” ujarnya murung.
Umar pernah menjadi penyiar Radio komunitas di kampung itu. Radio tersebut dibangun sejak 2005 dengan dukungan YPPN yang dibantu Yayasan Tifa Jakarta.
Umar Noyo dan Supandi sama-sama alumni Madrasah Ibtidaiyah Tabiyatul Islamiyah Rantau Panjang. Sekolah itu bermula dari tahun 1962, ketika Ustad Maksudi, datang memberi pendidikan dan mengajar ilmu agama di Rantau Panjang. Empat tahun dia menetap disana. Tahun 1968 sang ustad kembali ke Pontianak. Untunglah segera datang M. Zamachsyari, tokoh agama dari pulau Jawa mengisi kekosongan. Zamachsyari menikah dengan anak Mbah Mahat. Nah, menantu Mahat inilah mendirikan yayasan Madrasah tersebut. Tahun 1984 sekolah itu mulai mengajar pendidikan umum, setara dengan SD yang dibina langsung oleh Zamachsyari.
”Waktu itu sedikit sekali yang berpendidikan umum,” kata Noyo.
Kebanyakan teman-temannya menimba ilmu di pesantren. Ada yang dikirim orang tuanya ke Pulau Madura. Kini generasi Rantau Panjang bahkan sudah menjadi mahasiswa di Universitas Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri Pontianak dan Universitas Muhammadiyah Pontianak. Setelah SD yang dibangun secara swadaya itu cukup maju, dibangun lagi sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs), setara dengan SLTP. Kemudian menyusul Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS). Kini MIS tersebut sudah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Sekolah ini satu-satunya Madrasyah Ibtidaiyah Negeri yang ada di Kabupaten Landak.
Noyo bersyukur sekarang banyak anak-anak dimapungnya mengecap bangku sekolah. Tapi hidup terjepit di antara parit bukanlah hal yang mudah. Sayur sawi, kacang, ikan libis, sambal ikan teri, telur, sebagian besar harus didatangkan dari Pontianak. Padahal ongkosnya sangat tinggi. Sekali berangkat Rp 100 ribu melayang dari kocek. ”Uang sebesar itu biasanya habis untuk ongkos tambang.” Tambang adalah sejenis taxi air yang banyak mondar-mandir di sepanjang Sungai Mandor atau Sungai Landak. Tanah Rantau Panjang payah. Sukar untuk menanam sayur karena tanahnya asam dan sebagian besar gambut. Tak heran bila Sekitar tahun 1984 generasi muda kampung mulai enggan bertani. Booming industri kayu di Kalimantan Barat membuat mereka tergiur menjadi buruh dan meninggalkan kampung. (bersambung)

No comments:

Post a Comment