Saturday 29 December 2012

Matoro’ Oca’

Matoro’ Oca’

Oleh Ubay KPI

Matoro’ oca’ dapat diartikan menitipkan perkataan. Kalimat ini dalam konteks umum bisa dimaksudkan sebuah titipan. Misalnya menitipkan sebuah pesan kepada seseorang melalui perantara orang lain. Persamaan dari kalimat ini ialah nyabe’ oca’.Menurut buku Manusia Madura yang ditulis Mien Ahmad Rifai pada bab Tatan Kekeluargaan, sub bab Perkawinan Dua Insan pada halaman 89 memiliki arti menempatkan kata.
Merujuk pada pengertian itu, catatan ini akan mengarah pada soal perkawinan. Khususnya dalam etika orang Madura dan pengalaman saya sendiri.
Matoro’ oca’ atau nyabe’ oca’ merupakan salah satu rentetan dalam proses perkawinan di masyarakat Madura. Merujuk pada buku Mien Ahmad Rifai, nyabe’ oca’ merupakan langkah kelima dalam proses pencarian jodoh. Pertama adalah nyelaber (menyebarluaskan) atau ngin-nganginaghi (mengangin-anginkan), kedua nyareng bhekal binih (menyaring calon istri), ketiga narabhes jhalen (menerbas jalan), keempat nangghuk (menepuk). Baru yang kelima matoro’ oca’.
Dari beberapa langkah di atas tentu anda sangat menemukan perbedaan yang sangat dengan apa yang terjadi saat ini, khususnya di lingkungan Madura sendiri. Betapa sangat menemukan proses yang panjang bila menganut budaya asli di atas. Akan tetapi, bukanlah hal itu suatu yang sulit dapat dilakukan saat ini. Sebab  beberapa langkah di atas barangkali pembaca menemukan pada sosok seseorang yang mencari cinta.
Mungkin anda akan sepaham dengan saya, yang terjadi saat ini dalam mencari jodoh, umumnya hanya melewati empat langkah saja sampai pada akad nikah. Khususnya mereka yang mencari jodoh sendiri atau tanpa metode Siti Nurbaya.
Pertama umumnya kawan-kawan adalah kenalan, kemudian pacaran. Dilanjutkan dengan meminang, terus akad nikah. Bukannya demikian yang kerap kita temui bukan?
Bahkan, matoro’ oca’ kerap ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh anak remaja sekarang. Tak hanya terjadi pada anak Madura, namun mungkin juga pada etnis lain. Padahal, matoro’ oca’ adalah suatu pembuktian keberanian atau proses. Saya katakan pembuktian bila itu dilakukan sendiri oleh si cowok. Saya katakana keberanian, karena si cowok betul-betul memiliki I’tikad baik terhadap keluarga, dan terbuka akan niat tulusnya dalam menjalin hubungan pacaran dengan si cewek. Bukannya demikian kawan?
Matoro’ oca’ adalah proses prameminang. Nah, suatu ajakan yang ingin saya kepada kawan-kawan, jika anda betul-betul memiliki niat baik dan memiliki pandangan yang sama dengan si cewek, maka anda harus berani duduk menghadap kepada orangtua si cewek untuk menyampaikan maksud dari hubungan yang kalian jalin dengan si cewek. Misalnya mengatakan demikian. “Mohon maaf pak, saya sudah beberapa bulan mengenal anak bapak, maksud saya saat ini ingin menyampaikan kalau saya ingin menjalin hubungan yang serius,”.
Cukup itu saja, selanjutnya nanti orang tua si cewek akan lebih banyak bicara. Saya yakin demikian karena saya sudah beberapa melakukan hal demikian terhadap orang tua pacar saya. Gugup? Ya pasti kita gugup sebab umumnya pacaran saat ini lebih banyak akrab dengan si cewek, sedang dengan orang tuanya sangatlah jarang.
Hal demikian dapat dilakukan sebagai mantra dalam mengais restu orang tua. Kenapa saya sampaikan demikian, karena bisa jadi karena keberanian itu hati orang tua tambah terbuka dan menerima anda. Kalau orang tua terlebih dahulu diketahui tidak merestui hubungan anda, cukup matoro’ oca’ sebagai tanda keseriusan anda. Masalah orang tua tidak merestui, itu anda bisa pikirkan di kemudian hari. Dan bagi saya bila terjadi seperti itu, adalah sebuah sifat gentle sebagai laki-laki. Misal tiada restu, kalau bagi saya adalah sebuah kepuasan ketika orang tua menyampaikan kepada kita sendiri, sehingga tak hanya mendengar dari pacar kita sendiri.
Saya ingin berbagi cerita sedikit kepada anda. Ini adalah cerita nyata karena terjadi pada diri saya. Ketika saya pacaran sama cewek yang kini menjadi tunangan saya. Kedekatan mungkin dianggap oleh orang tua tunangan sebagai kawan dekat. Masih ingin menjalani masa pacaran atau bisa punya anggapan lain. Meskipun respon kedua orang tua tunangan saya sangat baik, namun kami sama-sama tidak berani pada awalnya untuk berkata langsung kalau kami sedang pacaran. Yah otomatis malu. Namun sebagai laki-laki, saya harus punya sifat terbuka juga kepada kedua orang tua. Suatu sore entah saya datang ke rumah tunangan saya, selesai salat Magrib, saya langsung menyampaikan maksud kedatangan saya. Pendek sekali pertama kali saya menyampaikan maksud itu. Yakni dengan perkataan, “Bah, ada perlu pada Abah dan Umy,” hanya itu.
Kemudian Abah memanggil Umy yang ada di kamar. Langsung saya duduk di hadapan mereka berdua dan membuka pembicaraan langsung ke tujuan. Dengan bahasa Madura saya sampaikan kepada Abah dan Umy kalau saya ingin menjalin hubungan yang serius dengan anaknya yang bernama Tiya. Saya sampaikan juga bahwa saya mengenalnya sekitar tahun lebih dan bersama (pacaran) dia sekitar lima bulan.
Itu saja, tapi apa respon dari keduanya. Cukup panjang lebar dengan suatu nasihat dan gambaran bagaimana ke depannya. Pokok saya tak bisa menggambarkan suasana saat itu di sini. Sebab sangat panjang, panjang. Banyak yang mereka ucapkan. Keterbukaan, nasihat, perasaan dan sebagainya mereka luapkan. Yang terjadi apa, malah mereka yang sepertinya punya ke-perlu-an. Saat itu saya hanya bisa berkata ia, ia, ia, dan ia.
Cukup sekian coretan saya subuh ini. Semoga ada hikmah dan bermanfaat bagi anda.

Ngonjed pao asambih kardus
Pao ejuwel sampe’ ke oloh
Mon andi’ hajed ngabinah senga’ jhe’ todus
Tako’ egelluin oreng pas adengngal tak meloh

Di Kamar Pondok Kelahiran
Bersamaan Fajar Subuh
Sabtu, 29 Desember 2012. Pukul 04.39

No comments:

Post a Comment