Thursday 1 August 2013

Meski Terusir, Kain Sambas Tetap Melekat

FOTO Haryadi
Menilik Pembuatan Kain Tenun Sambas di Pontianak

Tradisi Menenun Tak Hilang di Pengungsian
Pembuatan kain tenun sambas tidak hanya ditemui di daerah asalnya: Sambas. Di Pontianak, puluhan perempuan pengungsi Sambas masih melestarikan tradisi ini. Setiap bulan, ratusan lembar kain tenun sambas diproduksi para perempuan tersebut dari sebuah gang sempit di Pontianak Utara.

HERIYANTO, Pontianak
Tak banyak yang tahu jika di Pontianak ada sentra pembuatan kain tenun Sambas. Lokasinya memang tidak terkenal. Jaraknya juga cukup jauh dari pusat kota. Warga di sana menamai tempat itu Sambas Mandiri. Ini satu gang yang sempit dengan rumah-rumah yang saling berhimpit.
Pemberian nama gang ini punya sejarah sendiri. Gang yang terletak di Kelurahan Batu Layang, Pontianak Utara itu seluruhnya diisi warga asal Sambas. Lebih tepatnya eks pengungsi kerusuhan Sambas.
Mereka pernah menjalani masa-masa sulit selama berada di pengungsian. Di gang inilah para pengungsi itu memulai hidup baru setelah sebelumnya selama beberapa tahun hidup di pengungsian. Dari hasil bekerja mereka mengumpulkan uang untuk membeli tanah dan membangun rumah di gang itu. Kini setelah beberapa tahun berlalu, warga eks pengungsi itu sudah bisa hidup mandiri. Maka tak sia-sialah mereka memberi nama gang itu Sambas Mandiri.  
Meski terlihat biasa, gang ini sebenarnya menyimpan satu cerita yang menarik. Cerita tentang masa lalu yang cukup kelam, masa kini yang harus dihadapi, dan cita-cita tentang masa depan.
Cerita itu misalnya dengan mudah tertangkap pada diri Fatimah, perempuan berusia 47 tahun, yang juga pernah mengalami masa-masa sulit itu. Kecuali kenangan, semua yang dipunyainya sewaktu hidup di Sambas tak bisa dibawanya ke Pontianak. “Yang penting sekarang bagaimana bisa hidup lebih baik saja, Pak,” kata Fatimah.  
Fatimah adalah sosok perempuan tangguh. Bayangkan, bersama suaminya, dia harus menghidupi sebelas anak. Maka untuk bertahan hidup, berbagai pekerja bisa dilakoninya, mulai dari bertani hingga berternak.
Beruntung, Fatimah punya keahlian menenun. Dulu, sewaktu masih tinggal di Sambas sebelum terjadi kerusuhan, Fatimah memang sudah pandai menenun. Aktivitas ini sudah dilakoni sejak dia masih remaja. Kini Fatimah mengaku lebih fokus untuk menenun. Setelah dihitung-hitungnya, penghasilan dari menenun ternyata jauh lebih besar dari penghasilan lain.


Fatimah bergabung dengan 30 perempuan lain yang juga kini aktif menenun di Gang Sambas Mandiri. Di sana hampir setiap rumah memiliki alat tenun. Alat tenun itu biasanya diletakkan di dapur atau di ruangan khusus. Mereka biasa mulai menenun setelah pekerjaan rumah tangga selesai dilakukan.
Pagi itu, Fatimah tampak sibuk dengan tenunannya. Tangannya dengan cekatan memasukkan benang-benang ke dalam alat tenun yang dinamakan suri. Sesekali tangannya itu menghentak-hentakan sebuah papan kayu yang persis berada di depannya. Suara hentakan kayu itu terdengar seperti ketukan-ketukan yang berirama. “Di sini  hampir semua rumah punya alat tenun. Lumayan untuk nambah-nambah penghasilan,” kata Fatimah. 
Kain tenun sambas biasa disebut kain benang emas. Disebut kain benang emas karena benang yang digunakan berwarna kuning emas. Sampai sekarang kain ini masih dikerjakan secara tradisional dengan menggunakan alat tenun dari kayu.
Alat tenun mereka pesan dari Sambas. Di Pontianak alat ini memang sulit ditemui. Awalnya hanya beberapa orang saja membeli alat tenun. Tidak lama kemudian, para tetangga juga ikut-ikutan membeli alat tenun. Sekarang hampir semua perempuan di gang itu punya kegiatan menenun.
Marintan (36), penenun lain, bercerita, dirinya sudah menenun sejak masih masih remaja. Dulu sewaktu masih tinggal di Sambas, dia memang cukup aktif menenun. Tapi aktivitas ini sempat terhenti saat kerusuhan meledak.

Dia dan keluarganya kemudian mengungsi ke Pontianak. Selama beberapa tahun aktivitas menenun itu terhenti. Marintan baru mulai menenun kembali setelah punya rumah di Gang Sambas Mandiri itu. “Saya pernah tinggal di GOR (Pangsuma) beberapa tahun.  Di sana mana bisa menenun,” ceritanya.
Aktivitas menenun ini jelas membantu ekonomi keluarga. Kebanyakan warga di sana memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Penghasilan para suami kebanyakan adalah bertani dan beternak sapi. Karena itu para perempuan juga harus bekerja untuk menambah penghasilan. “Kalau mengharapkan suami saja tidak cukup,” kata Marintan.
Anak Fatimah, Julia, juga ikut jejak ibunya itu menenun. Julia yang kini sedang mengambil studi di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pontianak di sela-sela waktunya juga aktif menenun.  Perempuan muda yang sudah belajar keuangan itu turut membantu tetangga-tetangganya mengelola keuangan. Sehingga uang hasil menenun itu bisa dimaksimalkan.
Kain tenun sambas memiliki harga yang lumayan. Satu set kain dengan panjang dua meter ditambah selembar selendang bisa dihargai Rp800 ribu. Kain-kain tersebut dipasarkan di Sambas. “Di sana memang sudah ada langganan. Seberapun kain yang dibuat pasti dibeli. Jadi kami tidak khawatir ke mana harus memasarkan kain ini,” jelas Julia.
Dari Sambas, kain ini banyak dikirim ke Malaysia, Brunai, atau Singapura. Di sana permintaan akan kain tenun Sambas memang cukup tinggi.
Motif kain ini bermacam-macam, mulai dari motif pucuk rebung, insang, padang tebakar, melati, pakis, hingga enggang gading. Dalam sebulan, seorang penenun bisa menyelesaikan 4-5 lembar kain tenun. Sebulan sekali kain tenun itu akan dikirim ke Sambas. Kain ini biasanya dipergunakan dalam acara perkawinan, lamaran, sunatan dan acara-acara lain.
Butuh ketelitian dan kesabaran dalam menenun. Karena itu sebagian besar penenun adalah perempuan. Laki-laki dianggap kurang sabar dan kurang teliti. “Kalau perempuan itu kan lebih sabar dan teliti. Perempuan juga lebih punya nilai keindahan,” kata Julia.
Untuk modal awal menenun, warga di sana mendapatkan bantuan dana bergulir dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan. Bantuan ini digunakan untuk membeli benang dan alat tenun. “Sebagian untuk membeli benang, sebagian lagi ada yang membeli alat tenun,” kata Julia.
Para penenun memang harus membeli benang setiap bulannya. Tanpa bahan ini mereka tentu tak bisa menenun. Dana bergulir dari PNPM Mandiri Perkotaan menurut Julia dirasakan sangat membantu para penenun.
Irwin Nuriman, Asisten Koordinator Kota PNPM Mandiri mengatakan, hingga saat ini pihaknya telah menyalurkan sebesar Rp250 juta bantuan dana bergulir bagi masyarakat di sana. Bantuan itu diberikan sejak 2009 lalu. “Pinjaman dalam bentuk kelompok. Satu kelompok itu lima orang. Setiap tahun jumlah pinjamannya terus meningkat. Awalnya hanya Rp1 juta perorang, kemudian meningkat jadi Rp2,5 juta, dan sekarang ada yang dapat Rp5juta perorang,” jelas Irwin.

Kini penghasilan para perempuan penenun di Gang Sambas Mandiri sudah tergolong tinggi. Rata-rata penghasilan bersih mereka mencapai Rp1,6 juta perbulan. “Lumayan lah untuk bantu suami,” kata Fatimah.

Dengan penghasilan itu, Fatimah bisa menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan dari penghasilan ini bisa ditabung untuk membantu suami membangun rumah. Pada awal tinggal di sana rumah mereka tergolong sempit, tetapi sekarang mereka sudah mampu membangun rumah yang cukup besar. “Alhamdulillah, sekarang sudah banyak peningkatan. Semoga di masa depan kami bisa lebih maju,” kata Julia.**