FOTO Haryadi |
Menilik Pembuatan Kain
Tenun Sambas di Pontianak
Tradisi Menenun Tak Hilang
di Pengungsian
Pembuatan kain tenun sambas tidak
hanya ditemui di daerah asalnya: Sambas. Di Pontianak, puluhan perempuan
pengungsi Sambas masih melestarikan tradisi ini. Setiap bulan, ratusan lembar
kain tenun sambas diproduksi para perempuan tersebut dari sebuah gang sempit di
Pontianak Utara.
HERIYANTO, Pontianak
Tak banyak yang tahu jika di
Pontianak ada sentra pembuatan kain tenun Sambas. Lokasinya memang tidak
terkenal. Jaraknya juga cukup jauh dari pusat kota. Warga di sana menamai
tempat itu Sambas Mandiri. Ini satu gang yang sempit dengan rumah-rumah yang
saling berhimpit.
Pemberian nama gang ini punya
sejarah sendiri. Gang yang terletak di Kelurahan Batu Layang, Pontianak Utara
itu seluruhnya diisi warga asal Sambas. Lebih tepatnya eks pengungsi kerusuhan
Sambas.
Mereka pernah menjalani masa-masa
sulit selama berada di pengungsian. Di gang inilah para pengungsi itu memulai
hidup baru setelah sebelumnya selama beberapa tahun hidup di pengungsian. Dari
hasil bekerja mereka mengumpulkan uang untuk membeli tanah dan membangun rumah
di gang itu. Kini setelah beberapa tahun berlalu, warga eks pengungsi itu sudah
bisa hidup mandiri. Maka tak sia-sialah mereka memberi nama gang itu Sambas
Mandiri.
Meski terlihat biasa, gang ini
sebenarnya menyimpan satu cerita yang menarik. Cerita tentang masa lalu yang
cukup kelam, masa kini yang harus dihadapi, dan cita-cita tentang masa depan.
Cerita itu misalnya dengan mudah
tertangkap pada diri Fatimah, perempuan berusia 47 tahun, yang juga pernah
mengalami masa-masa sulit itu. Kecuali kenangan, semua yang dipunyainya sewaktu
hidup di Sambas tak bisa dibawanya ke Pontianak. “Yang penting sekarang
bagaimana bisa hidup lebih baik saja, Pak,” kata Fatimah.
Fatimah adalah sosok perempuan
tangguh. Bayangkan, bersama suaminya, dia harus menghidupi sebelas anak. Maka untuk
bertahan hidup, berbagai pekerja bisa dilakoninya, mulai dari bertani hingga
berternak.
Beruntung, Fatimah punya keahlian
menenun. Dulu, sewaktu masih tinggal di Sambas sebelum terjadi kerusuhan,
Fatimah memang sudah pandai menenun. Aktivitas ini sudah dilakoni sejak dia
masih remaja. Kini Fatimah mengaku lebih fokus untuk menenun. Setelah
dihitung-hitungnya, penghasilan dari menenun ternyata jauh lebih besar dari
penghasilan lain.
Fatimah bergabung dengan 30
perempuan lain yang juga kini aktif menenun di Gang Sambas Mandiri. Di sana
hampir setiap rumah memiliki alat tenun. Alat tenun itu biasanya diletakkan di
dapur atau di ruangan khusus. Mereka biasa mulai menenun setelah pekerjaan
rumah tangga selesai dilakukan.
Pagi itu, Fatimah tampak sibuk
dengan tenunannya. Tangannya dengan cekatan memasukkan benang-benang ke dalam
alat tenun yang dinamakan suri. Sesekali tangannya itu menghentak-hentakan
sebuah papan kayu yang persis berada di depannya. Suara hentakan kayu itu
terdengar seperti ketukan-ketukan yang berirama. “Di sini hampir semua rumah punya alat tenun. Lumayan
untuk nambah-nambah penghasilan,” kata Fatimah.
Kain tenun sambas biasa disebut
kain benang emas. Disebut kain benang emas karena benang yang digunakan
berwarna kuning emas. Sampai sekarang kain ini masih dikerjakan secara
tradisional dengan menggunakan alat tenun dari kayu.
Alat tenun mereka pesan dari
Sambas. Di Pontianak alat ini memang sulit ditemui. Awalnya hanya beberapa
orang saja membeli alat tenun. Tidak lama kemudian, para tetangga juga
ikut-ikutan membeli alat tenun. Sekarang hampir semua perempuan di gang itu
punya kegiatan menenun.
Marintan (36), penenun lain,
bercerita, dirinya sudah menenun sejak masih masih remaja. Dulu sewaktu masih
tinggal di Sambas, dia memang cukup aktif menenun. Tapi aktivitas ini sempat
terhenti saat kerusuhan meledak.
Dia dan keluarganya kemudian
mengungsi ke Pontianak. Selama beberapa tahun aktivitas menenun itu terhenti.
Marintan baru mulai menenun kembali setelah punya rumah di Gang Sambas Mandiri
itu. “Saya pernah tinggal di GOR (Pangsuma) beberapa tahun. Di sana mana bisa menenun,” ceritanya.
Aktivitas menenun ini jelas membantu
ekonomi keluarga. Kebanyakan warga di sana memang tidak memiliki pekerjaan
tetap. Penghasilan para suami kebanyakan adalah bertani dan beternak sapi. Karena
itu para perempuan juga harus bekerja untuk menambah penghasilan. “Kalau
mengharapkan suami saja tidak cukup,” kata Marintan.
Anak Fatimah, Julia, juga ikut
jejak ibunya itu menenun. Julia yang kini sedang mengambil studi di Kampus
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pontianak di sela-sela waktunya juga aktif menenun.
Perempuan muda yang sudah belajar keuangan
itu turut membantu tetangga-tetangganya mengelola keuangan. Sehingga uang hasil
menenun itu bisa dimaksimalkan.
Kain tenun sambas memiliki harga
yang lumayan. Satu set kain dengan panjang dua meter ditambah selembar
selendang bisa dihargai Rp800 ribu. Kain-kain tersebut dipasarkan di Sambas.
“Di sana memang sudah ada langganan. Seberapun kain yang dibuat pasti dibeli.
Jadi kami tidak khawatir ke mana harus memasarkan kain ini,” jelas Julia.
Dari Sambas, kain ini banyak
dikirim ke Malaysia, Brunai, atau Singapura. Di sana permintaan akan kain tenun
Sambas memang cukup tinggi.
Motif kain ini bermacam-macam,
mulai dari motif pucuk rebung, insang, padang tebakar, melati, pakis, hingga
enggang gading. Dalam sebulan, seorang penenun bisa menyelesaikan 4-5 lembar
kain tenun. Sebulan sekali kain tenun itu akan dikirim ke Sambas. Kain ini
biasanya dipergunakan dalam acara perkawinan, lamaran, sunatan dan acara-acara
lain.
Butuh ketelitian dan kesabaran dalam
menenun. Karena itu sebagian besar penenun adalah perempuan. Laki-laki dianggap
kurang sabar dan kurang teliti. “Kalau perempuan itu kan lebih sabar dan
teliti. Perempuan juga lebih punya nilai keindahan,” kata Julia.
Untuk modal awal menenun, warga di
sana mendapatkan bantuan dana bergulir dari Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan. Bantuan ini digunakan untuk membeli benang dan
alat tenun. “Sebagian untuk membeli benang, sebagian lagi ada yang membeli alat
tenun,” kata Julia.
Para penenun memang harus membeli
benang setiap bulannya. Tanpa bahan ini mereka tentu tak bisa menenun. Dana
bergulir dari PNPM Mandiri Perkotaan menurut Julia dirasakan sangat membantu
para penenun.
Irwin Nuriman, Asisten
Koordinator Kota PNPM Mandiri mengatakan, hingga saat ini pihaknya telah
menyalurkan sebesar Rp250 juta bantuan dana bergulir bagi masyarakat di sana.
Bantuan itu diberikan sejak 2009 lalu. “Pinjaman dalam bentuk kelompok. Satu
kelompok itu lima orang. Setiap tahun jumlah pinjamannya terus meningkat.
Awalnya hanya Rp1 juta perorang, kemudian meningkat jadi Rp2,5 juta, dan
sekarang ada yang dapat Rp5juta perorang,” jelas Irwin.
Kini penghasilan para
perempuan penenun di Gang Sambas Mandiri sudah tergolong tinggi. Rata-rata
penghasilan bersih mereka mencapai Rp1,6 juta perbulan. “Lumayan lah untuk
bantu suami,” kata Fatimah.
Dengan penghasilan itu, Fatimah
bisa menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan dari penghasilan ini bisa ditabung
untuk membantu suami membangun rumah. Pada awal tinggal di sana rumah mereka
tergolong sempit, tetapi sekarang mereka sudah mampu membangun rumah yang cukup
besar. “Alhamdulillah, sekarang sudah banyak peningkatan. Semoga di masa depan
kami bisa lebih maju,” kata Julia.**
No comments:
Post a Comment