Thursday 16 July 2015

Wartawan Amplop, Sulit Membedakan Bodrex Apa Panadol

Wartawan Amplop, Sulit Membedakan Bodrex Apa Panadol

Catatan BAY KPI

Suatu hari, di Ruang Redaksi Borneo Tribune tengah asyiknya dengan tugas di meja masing-masing. Wartawan dan redaktur tengah berkutat dengan tulisan yang akan naik esoknya. Kala itu Borneo Tribune masih sangat lengkap, ada Bang Tanto Yacobus yang sekarang menjadi Anggota DPRD Kalimantan Barat. Ada Bang Nur Iskandar yang sibuk dengan TOP Indonesia dan kegiatan pertaniannya, ada Bang Dek (Khairul Mikrad) yang sekarang duduk sebagai staff ahli di DPR, Alexander Meering, wartawan sekaligus budayawan, dan DR. Yusriadi yang aktif di IAIN Pontianak dan club menulis.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul 19.00, saya baru sampai ke kantor, maklum masih berbuka puasa dan salat berjamaah dulu di rumah. Di muka tangga lantai dua, pada sisi kirinya tepat meja yang ditempati Alexander Meering. Waktu itu suasananya Ramadan banget, bahkan saya ke kantor pakai kopiah putih. Bila tidak salah, kala itu Ramadan telah lewat dari 20 hari. 
Karena waktu sudah mulai mendekati jam deadline, saya bergegas membuka ransel dan mencubit tombol power pada laptop perjuangan saya. Beberapa naskah sudah siap masuk server berita di kantor. Tinggal copas saja selesai dan akan dimasak oleh tim redaktur. Hanya satu berita yang belum saya selesaikan karena menunggu konfirmasi salah satu nara sumber.
Buka folder, Control + A, control + C, dan lanjut control + V ke server berita. Berita saya hari itu masih terkejar, tinggal menunggu berita satu lagi. Saya telah memberitahu redaktur saya tentang berita yang belum selesai, seingat saya berita tentang pengerjaan jalan yang tak sesuai dengan ketentuan di Kota Pontianak.
Agar tidak mengganggu rekan yang lain, saya ke bagian belakang dekat dapur kantor untuk menghubungi nara sumber. Entah kenapa, baru beranjak dari kursi, saya keceplosan mengutarakan yang mengarah pada ketidaksopanan dalam jurnalisme, terlebih hal itu juga kepada redaktur.
Dari meja redaksi wartawan, untuk sampai ke ruang belakang yang berdekatan dengan dapur, saya harus melewati meja Meering, seketika saya terucap "Bang, mana THR neh" kepada Bang Meering.
Belum Bang Meering menjawab, orang yang ada di bagian kanan redaksi langsung menyambungnya. Siapa lagi kalau bukan DR. Yusriadi. Ia menimpali ucapan saya yang keceplosan itu. 
"Eh Bay, tak boleh gitu, tak bagus bagi wartawan ngomong seperti itu, apalagi pada pejabat," timpal Bang Yus. Langsung saya minta maaf kepada keduanya dan bergegas ke ruang bagian belakang.
Sambil mencari nomor kontak yang akan saya hubungi, penuh perasaan menyesal dalam diri karena ucapan saya tadi. Terlebih itu dilakukan di depan Bang Yus. 
Sejak peristiwa itulah, saya sangat menjaga diri sendiri agar tidak sesat dalam jurnalisme gaya amplop/THR/imbalan dari siapapun.
Bahkan, suatu hari pada Ramadan yang sama, ada rekan saya mengajak ketemu salah seorang pejabat di Polda Kalbar, namun saya tolak ajakan tersebut, karena ia hanya ingin ketemu biasa, dugaan saya sudah mengarah pada THR atau air kaleng. Saya menolak dan mending memilih datang awal ke kantor mengerjakan naskah.
Semenjak itu, saya tidak lagi mengolok-ngolok soal THR kepada siapapun. Terlebih kepada bos-bos yang biasa saya jadikan narasumber, sampai ke kepala dinas sekalipun atau anggota dewan.
Malu rasanya saya harus meminta sedang kita masih sanggup untuk berlebaran dengan yang ada. 
Setelah dipikir-pikir lagi atas larangan Bang Yus tersebut, lantas saya ingat suatu kaidah dalam kitab klasik, bila tidak salah dalam kitab Sullam at-Taufiq yang menegaskan, bahwa pemberian yang didasari atas dasar malu, maka pemberian itu hukumnya haram.
Bila saya renungi, maka apa yang dilarang oleh Bang Yus sedikit selaras dengan kaidah kitab klasik tersebut. Bisa saja, orang yang kita singgung atau minta THR-nya lantas memberi tapi karena malu.
Terlepas dari malu atau tidaknya memberi tersebut, kita wallahu a'lam. Namun, bila kita berhati-hati dengan hal tersebut, tentu kita tidak akan meminta atau menyentilnya.
Sejak itu, tak lagi saya bergurau soal pemberian atau sejenis THR di jelang lebaran. Kalaupun saya bergurau, hanya kepada rekan-rekan PNS yang tidak memiliki pemangku keputusan. Hanya iseng dan ngolok-ngolok saja.
Namun tidak saya pungkiri, menjelang lebaran kerap ada buka puasa bersama, kadang ada sebagian instansi atau perusahaan yang menyiapkan uang transportasi kepada wartawan. Bahkan sampai organisasi ada pula yang mengadakan buka puasa mengundang wartawan. Saya dalam hal uang transportasi lebih selektif dalam menerima, bukan sok idealis atau tidak mau uang, namun lebih kepada pertanggungjawaban.
Ada kalanya memberi amplop tanpa ada tanda tangan, hanya sodorkan selesai. Hal itu amat saya hindari. Namun bila kita jelas-jelas ada uang transportasi dan hal itu telah dianggarkan dan kita wajib membubuhi tanda tangan, maka saya tidak menolaknya. Begitu juga pada hari biasa, kadang ada kepala dinas yang menyodorkan uang transport, kerap kali saya alami kepala dinas mengeluarkan uang dari dompetnya sendiri, dengan harus segera saya menyampaikan terima kasih dan cepat meninggalkannya. Karena hal itu adalah uang pribadi.
Apalagi organisasi, amat sangat saya tolak sebab kadang saya tahu percis bagaimana keuangan organisasi tersebut. 
Nah, baru-baru ini Dewan Pers mengeluarkan himbauan lebih khusus kepada wartawan, bahkan kepada semua pihak untuk tidak memberikan uang dalam bentuk permohonan apapun yang mengatasnamakan wartawan. 
himbauan ini lantas dicermati oleh Guru Junalistik Indonesia Andreas Harsono yang memosting sebuah status di akun FB-nya. 
"Dewan Pers minta semua pihak tak menanggapi permintaan uang, barang atau jasa dari wartawan atas nama THR. Saya dukung himbauan Dewan Pers. Capek lihat wartawan yang kerja minta amplop. Kalau persoalan independensi wartawan yang amburadul, saya kira, masih bisa dimengerti mengingat usia kebebasan media masih muda. Tapi kalau urusan amplop ... primitif sekali."
Namun pertanyaannya, mampukah yang dimaksud pihak tersebut akan mentaati himbauan tersebut?
Kita kembali kepada diri masing-masing, seorang jurnalis akan tahu mana yang punya kepentingan dan mana yang tidak, mana uang rakyat mana uang pribadi, mana yang ikhlas mana yang karena malu.

No comments:

Post a Comment