Foto :catatansahabatqu.blogspot.com |
Manusia ‘Bertopeng’ di Persimpangan Jalan
Nyalimu kecil, itulah yang ada di dalam benak saya ketika
saya menjumpai manusia bertopeng di persimpangan jalan, menjajakan tumpukan
eksemplar koran kepada pengguna jalan yang berhenti karena traffic light.
Tak hanya di Pontianak, di beberapa kota yang pernah saya
kunjungi, saya kerap menjumpai loper koran menutupi wajahnya dengan kain. Ditambah
dengan aksesoris topi agar wajah tak kian legam oleh panas matahari.
Ia gesit saat lampu merah di persimpangan hidup. Sebagian mereka
hanya menjajakan dari trotoat pemisah jalan, namun bagi yang lebih agresif, ia
meliuk-liuk di antara ban-ban kendaraan pengguna jalan.
Dengan tumpukan koran baru di tanga kiri, dan satu atau dua
eksemplar di tangan kanan, mereka menjajakan berita hangat sajian redaksi, dan
informasi iklan hasil bagian marketing.
Saya enggan membeli koran kepada loper bertopeng, karena
menurut saya mentalnya masih kelas teri untuk kelas loper koran. Saya lebih
doyan membeli koran kepada pengecer yang dengan gagah berani menampikan wajahnya
tanpa aksesoris kain menutupi mulut dan hidungnya. Soal topi, bagi saya dapat
di-ma’fu untuk menepis sengatan panasnya matahari khatulistiwa.
Pengecer koran yang wajah hanya tersisa mata dan alis
setelah tertutup kain dan topi, adalah pengecer yang gagal melawan malu. Ia belum
pede kenyataan kerjanya diketahui banyak orang dan kawan-kawannya sebagai
pengecer koran. Kehidupan pengecer koran di persimpangan jalan sebelas dua
belas dengan iklan yang dipajang di muka umum. Meskipun obyek utama yang ia
jajakan adalah tumpukan informasi.
Secara etika konumikasi menurut pandangan hemat saya, juga
kurang baik. Meskipun kadang pembeli juga tak mempermasalahkan hal itu.
Itulah yang saya rasakan di tahun 2009 lalu, penuh
pertimbangan untuk mengambil posisi menjajakan koran. Kalah takutnya dengan mau
mengambil air wudhu’ pada subuh hari di musim dingin. Herrrr takut sekali.
Selain kemauan tinggi dan niat yang kuat untuk menjadi
penjual koran, modal lain yang harus dipersiapkan adalah melawan rasa malu. Merdeka
dari malu. Bila malu sudah diberantas, kita akan enjoy menjajakan tumpukan
koran.
Memang, ada rasa deg-degan dalam hati di awal menjual koran,
malu pada teman-teman yang kebetulan lewat dan berjumpa dengan kita. Untuk membuyarkan
semua itu, salah satu trik yang pernah saya terapkan ialah lebih dulu menyapa
dan menawarkan koran meskipun kita tahu teman kita itu hanya mengkonsumsi koran
gratis di warung kopi. Bahkan, kerap saya lakukan ialah dengan basa-basi
mengajaknya ngobrol entah sekedar bertanya dari mana mau kemana. Saya kadang
rela tak menjajakan koran yang masih menumpuk sekedar basa-basi untuk melawan
malu.
Positifnya, bila rekan kita itu paham berita hangat alias doyan
baca koran, maka setiap paginya ia akan mencari kita sekedar membeli satu eks koran.
Kita untung pastinya menambah konsumen jalanan.
Saya sangat mengacungi jempol kepada pengecer koran yang mau
membuka wajahnya. Bukan sekedar menawarkan koran, ambil uang dan memberi
kembalian.
Biasa saya lakukan waktu menjadi pengecer koran, meneriakan
isu hangat yang ada di koran harian. Biasa juga menyebut dengan lantang harga
perlembar. Kecuali pada pengguna mobil yang kaca pintunya tertutup, memberi isyarat
dengan tiga jari yang berarti Rp 3000, atau dua jari berarti Rp 2000.
Mungkin karena saya mantan pengecer koran, sebab itulah saya
enggan membeli koran kepada pengecer bertopeng. Saya tahu persis apa yang
pengecer koran rasakan demi meraup untung Rp 500 per eksemplar. Semakin banyak
terjual, semakin banyak pula untung yang bisa kita dapat.
Umumnya di Pontianak penjual koran hanya berkerja 3,5 jam
alias start jam 5.30 dan berkahir jam 9.00. Untuk menjual koran yang banyak
juga tergantung heng, posisi yang kita ambil juga sangat berpengaruh. Umumnya koran
banyak terjual itu di posisi masuk kota, sedangkan posisi yang searah dengan pengguna
jalan dari dalam kota sangat, jarang membeli koran. Sebab biasanya mereka
membeli koran di persimpangan sebelumnya.
Karena sulitnya meraup untung 500 perak itu, sebagai mantan
kerap saya lakukan saat ini ketika membeli koran, member uang lebih kepada
pengecer. Koran harga 2000 biasa saya kasih uang 3000. Koran seharga 3000,
biasa saya kasih 5000 tanpa meminta kembalian.
Saya yakin, pengecer yang mendapatkan konsumen seperti itu
bahagia bukan kepalang, kalah-kalah bahagianya saat menikmati sajian makan di
Restoran Ayam Tekejot. Meskipun hanya lebih 1000 rupi-ah.
1000 rupiah bagi kita mungkin tidak harganya, tapi bagi
pengecer koran untuk mendapatkan 1000 rupi-ah harus menjual dua eksemplar
koran. Alhamdulillahi robbil ‘alamin lengkap dengan doanya akan terucap kepada
pembeli yang memberi uang lebih tersebut.
Begitulah hidup sang pengecer koran, memajang muka di ruang
publik, kaki berdendang di trotoar jalan dan lorong sempit ban kendaraan, demi
untung 500 rupiah per eksemplar.
Weisha Coffee
13 April 2016
No comments:
Post a Comment