Segelas Kopi Berharga Rp 25.000
Oleh Ubay KPI
Suatu hari, saya ke Ayani Mega Mall, Pontianak. Pusat
perbelanjaan terbesar yang ada di Kalimantan Barat. Malam itu kedatangan saya
ke mall tersebut untuk memenuhi sebuah undangan acara dari Kantor Pajak
Perwakilan Kalbar. Saya diminta untuk hadir, karena saya mendapat juara lomba
photograpy yang dilaksanakan bersamaan dengan expo yang mereka laksanakan.
Acara akan dimulai dengan seminar photograpy oleh salah satu pegiat dari
Jakarta. Sekitar jam sembilan penganugerahan pemenang lomba.
Sekitar setengah tujuh malam saya
sudah ada di lokasi acara. Setelah melihat foto-foto yang dipajang, saya ke
musholla mall tersebut untuk mendirikan salah Maghrib.
Nah, setelah usai salat ada
kebingungan dalam diri saya. Acara belum dimulai, mau ke toko buku lagi tak mod
baca, satu-satunya lokasi santai yang ada benak saya waktu itu adalah duduk di
salah satu kios yang menyajikan minuman.
Di dekat lokasi acara ada kios yang menjual kopi. Pikir saya santai di kios itu
saja. Kebetulan bibir terasa sudah sangat pekat karena tak merokok. Sebelum
masuk, saya perhatikan dari luar pengunjung yang ada. Saya temukan ada
bapak-bapak ngepul dengan sebatang rokok.
Tempat yang tepat pikir saya.
Santai, minum kopi, sambil merokok. Langsung saya ambil posisi paling sudut
yang kebetulan ada aliran listrik untuk nge-cas hape.
Tak lama berselang. Ada karyawan datang dan menyodorkan album menu cafe
tersebut. Tak ada niko-niko, saya langsung pandang menu kopi. Ada kopi aceh,
ada kopi luwak. Dan lainnya.
Tapi kagetnya bukan main ketika
saya melihat harganya. Wataw, di atas dua puluh ribu. Ajakan pikiran untuk
bersantai terganggu karena berganti bingung.
Bingung karena uang dalam dompet hanya tersisa Rp 25.000. Mau keluar
mengurungkan minum rasa malu pada karyawan cewek itu. Mau tak mau, akhirnya
harus mesan minuman juga. Kopi biasa satu gelas.
Biasanya, saya kalau sudah
dihadapkan dengan rokok dan kopi segala pikiran jadi agak ringan. Tapi kali ini
beda, jadi semakin pusing alias pening.
Bagaimana tidak? Uang sisa dua
puluh lima ribu, harga kopi juga dua puluh lima ribu. Belum lagi pajak 10
persen. Uang saya kurang dua ribu lima ratus rupiah.
Minum kopi jadi tak selera. Sebatang rokok Surya seakan terasa tembakau
linting.
Baru sekali seruput, langsung kepikiran kekurangan uang yang hanya dua ribu
lima ratus rupiah. Saya coba hubungi kawan-kawan. Ternyata lagi ada di luar.
Tak ada yang sedang di lokasi yang sama.
Kebingungan ini saya sampaikan
pada calon istri, tapi apa yang terjadi? Dia ngomel. Sebab dia memang tak suka
bertindak tanpa pemikiran terlebih dahulu. Yah, cuma bisa dengerin dia ngomel
via sms.
Tak mau malu karena kekurangan
uang. Akhirnya saya ingat, kalau di mall tersebut ada sepupu calon istri yang
bekerja di salah satu toko. Saya coba sms dia, tapi tak dijawab. Pikir saya,
pasti hape lagi tak dipegang.
Dengan beralasan ingin ke toilet,
saya ijin ke salah satu karyawan untuk ke toilet. Kebetulan di tokok tersebut
memang tak ada toilet. Ke toilet akhirnya menjadi alasan. Dengan tetap
meninggalkan carger hape dan tas. Saya melangkah keluar.
Saya langsung ke lantai dasar mall untuk menemui sepupu calon istri. To the
poin, pinjam duit sepuluh ribu rupiah. Tak pakai alasan, langsung saya cabut
setelah mendapatkan uang dan kembali ke segelas kopi.
Tak ada pikiran lagi. Uang sudah
cukup untuk membayar harga kopi segelas. Bahkan masih tersisa tujuh ribu lima
ratus rupiah.
Tak lama berselang, saya langsung
cabut dari lokasi warung kopi berharga selangit itu. Nyesal, nyesal, nyesal.
Nyesal buanget.
Iutng-itungannya neh ya. Kalau
uang 27.500 dibawa ke warung kopi biasa di coffee street area di Jalan Gajah
Mada Pontianak, seperti di Aming, Winny, Layla, atau Tiam, pasti dapat banyak.
Biasanya di warkop biasa segelas kopi hanya Rp 4000. Kalau Rp 27. 500 bisa
dapat hampir tujuh gelas.
Yah, kalau sudah nasib mau gimana
lagi.
Menjelang Tidur
Di Kamar Pondok Kelahiran
Senin, 8 Januari 2013. Pukul
03.00