Catatan Ubay KPI
Beberapa minggu lalu, saya sempat berdiskusi tentang najis
dengan istri di kamar. Bahkan, dalam diskusi tersebut tak hanya menggunakan
akal pikiran, namun sampai-sampai saya juga menggunakan urat leher.
Maklum saja, soal najis bagi saya bukanlah hal sepele, meskipun hanya setetes air kencing anak saya.
Maklum saja, soal najis bagi saya bukanlah hal sepele, meskipun hanya setetes air kencing anak saya.
Berawal dari kain bedong Weisha yang diletakkan sembarangan oleh
istri saya di kamar. Saya protes dengan kelakukan istri yang menyimpan bedong
di lantai, karena takut air kencing yang belum kering ikut membasahi lantai.
Air kencing Weisha tak lagi mukhoffafah (ringan). Sebab Weisha
sudah diasupi makanan lain, bukan Cuma ASI. Air kencing Weisha sudah
mutawasithoh (sedang). Mensucikannya hanya dengan air dan membersihkannya.
Yang menjadi perdebatan antara saya istri, adalah cara
mensucikannya. Maklum saja, istri saya kurang paham dengan mensucikan hal itu.
Sejenak saya merenung sebelum mensucikan najis bekas kencing
Weisha di lantai rumah tersebut. Lantai rumah saya keselurahan semen, sehingga
tidak ada untuk pengaliran air.
Sejenak saya berpikir, mengingat saat masih di pesantren. Guru saya
di pondok pernah mengajarkan saya bagaimana mensucikan najis di lantai yang tak
ada pengaliran airnya.
Suatu hari, di lantai masjid dekat pondok ada kotoran ayam. Guru saya mengajarkan bagaimana mensucikannya.
Sebelum saya mengerjakan pensucian tersebut, guru menjelaskan kotoran ayam
tersebut merupakan najis sedang, sekaligus hokum najisnya adalah ainiyah
(berwujud). Salah satu cara mensucikannya agar najis tidak menyebar
kemana-mana. Menjadikan najis tersebut menjadi hukmiyah, artinya hukumnya saja
najis, namun wujud najisnya tidak ada. Syaratnya, selain tidak ada wujud, bau
dan warnanya juga telah hilang dari najis tersebut.
Setelah hilang semua. Posisi tempat yang sebelumnya ada najis
tersebut meski tak ada lagi wujudnya, hukumnya tetap najis. Setelah demikian,
cara mensucikannya lebih mudah. Yakni cukup diperciki air, dan dilapnya sampai
kering. Setelah itu, tempat itu sudah kembali suci.
Dari pengalaman di pesantren itu, saya terapkan di rumah. Kepada
istri saya ajarkan hal demikian yang pernah saya pelajari di pesantren.
Di rumah yang paling rawan, adalah air kencing Weisha. Baik yang
kencing langsung ataupun dari kain bedongnya.
Setiap air kencing yang menetes atau membasahi lantai, saya lap
sampai kering. Agar cepat kering, kadang saya bantu dengan kipas angin. Setelah
itu, baru saya perciki air di bagian yang terkena kencing Weisha. Dan di lap
sampai kering.
Cukup kuat alasan saya bagiamana saya menjaga najis, ialah
supaya najis tersebut tidak mengena pakaian atau badan kita. Sebab saat di
rumah, saya kerap menggunakan kain atau masih lengkap dengan pakaian ibadah.
Imbasnya, bila najis tersebut mengena pakaian kita, ibadah kita
dalam keadaan tidak suci. Entengnya, sahkah ibadah kita bila anggota tubuh atau
pakaian kita dalam keadaan najis?
Wallahu a’lam
Konter Weisha
Jumat, 2 Mei 2014. Pukul 02.49
gak nyangka, ternyata masih ingat dengan pelajaran waktu jadi santri. salut. jempollah untuk bang ubay
ReplyDelete