Pers?
Oleh UBAY KPI
Wah pagi ini nyaman sekali suasananya. Dingin-dingin empuk kalau dalam bahasa permen. Tapi kedinginan ini semakin hangat ketika menyantap hidangan pagi saya. Bukan semangkok bubur atau segelas kopi, melainkan buku karya Luwi Ishwara, Jurnalisme Dasar yang akhir-akhir ini menjadi bacaan wajib bagi saya pribadi.
Mumpung ayam masih berkokok saling bersahutan dan mentari masih belum menampakkan senyumnya di ufuk timur untuk menyambut siang menjelang, kali ini setelah salat Subuh sambil menjaga bapak yang terbaring sakit, saya ingin melanjutkan goresan sebelumnya dari buku yang sama berjudul Seni Jurnalisme.
Sembari nyantai karena masih jam 04.57, dengan dua bantal di dada menghadap ke note book andalan, saya akan melanjutkan catatan tentang jurnalistik yang saya ambil dari buku, serta diselingi dengan pengalaman saya dari lapangan. Yah, kali ini saya akan menuliskan tentang peran pers.
Banyak dijabarkan oleh Luwi Ishwara tentang peran pers. Mungkin akan bosan dan sulit untuk dimengerti bila saya tuliskan sekaligus peran pers itu. Maka, saya akan menuliskan satu persatu dengan peran pers tersebut.
Pers sebagai Pelapor
Kok bisa pers sebagai pelapor, padahal sering kita dengar kalau pers itu adalah salah satu pilar demokrasi?
Pers sebagai pelapor ini kawan-kawan maksudnya dalam ruang lingkup pemerintahan. Inilah loh dasarnya, yakni perkataan Bernard C. Cohen dalam buku Advanced Newsgathering yang ditulis Bryce T. McIntrye yang menyebutkan beberapa peran yang umum, pers menjalankan dirinya sebagai informer (pelapor). Dalam konteks ini, pers bertindak sebagai mata dan telinga public, melaporkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar pengetahuan masyarakat luas. Dengan catatan, laporan itu bersifat netral dan tanpa prasangka.
Netral maksudnya tidak bersifat objektif dalam memberikan laporan, betul-betul memberikan informasi sesuai dengan kejadian di lapangan. Tapi bukan hanya itu, laporan juga harus didukung dengan bumbu lain yang menguatkan akan peristiwa yang dilaporkan. Tanpa prasangka maksudnya, pelapor “wartawan” tidak mengambil benang merah sendiri.
Nah, dalam konteks ini pers banyak terjadi ketika sebagai alat pemerintah. Seperti pidato kepala pemerintah, tokoh politisi, dan lainnya.
Peran pers bukan hanya itu, namun pers juga memiliki peran sebagai penafsir. Pembaca tentu sering kan menyaksikan televise atau membaca Koran. Di sana kerap setiap peristiwa menyandingkan dengan pendapat atau sumber lain yang berkaitan. Contohnya seperti yang masih hangat-hangat sekarang di Pontianak neh. Peristiwa 13-14 Maret. Dimana ada konflik antarkelompok yang bertanggung masalah “FPI”. Pada peristiwa ini, pers bukan hanya menyajikan informasi yang terjadi di lapangan. Namun juga menafsirkan peristiwa itu dengan mencari sumber lain di luar guna menemukan titik pasti akan permasalahan itu.
Dalam menafsikan, “jurnalis” tentu mengambil banyak sumber untuk memperkaya informasi agar lebih jelas titik pangkal permasalahan.
Dalam bahasa Frank Luther Mott, berita itu selalu suatu laporan, peristiwanya sendiri bukanlah berita “news is always a report; the event itself is not news”
Nah sekarang peran pers yang ketiga, yakni sebagai wakil public. Kok bisa? Ya bisa donk, apa sih yang ndak bisa.
Gini loh maksudnya. Kenapa dikatakan sebagai wakil public. Sebab, “media” kerap mengangkat suatu isu atau opini dari masyarakat yang disampaikan kepada pemerintah atau lainnya. Masuk akal tidak?
Bayangkan saja, mungkin kalau lagi jelang Pileg (pemilihan legislative) beh. Sering kita ketemu dengan calon wakil rakyat, tapi pas duduku empuk pasti jarang. Jangankan ngomong, nomor HP saja susah. Jadi, untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kerap menggunakan pers “media”. Hal ini sangat benar bagi politikus.
Konkritnya begini, masyarakat menyampaikan aspirasi yang dimuat ke media, kemudian si wartawan konfirmasi kepada politikus atau membaca aspirasi tersebut. Sebagai wakil rakyat, kemudian politikus memperjuangkan atau menyampaikan ke pemerintah. “itu kalau anggota dewannya peduli rakyat, kalau tidak, ya hanya sampai media”. Kata saya.
Yang ke empat, pers sebagai pengkritik pemerintah. Kok bisa? Sering kan lihat televise yang mengupas mengenai kebijakan pemerintah. Contohnya akan naiknya BBM tahun 2012 ini. Pers sangat jeli kan mengkritik pemerintah atas kebijakan itu?
Atau kasus suap Wisma Atlet yang melibatkan Nazarudin dan Angie, pers habis-habisan mem-follow-up informasi tersebut dan menuntut penegak hukum betul-betul menjalankan tugasnya.
Nah, dari empat peran tersebut. Sering para ahli jurnalistik menyebutnya dengan istilah peran jaga-watcdog.
Nah kawan, selesai sudah Catatan Anak Desa tentang peran pers, kalau ada yang salah mohon kritikan, maklum masih pemula dan anyar membuat tulisan. Kalau ada yang bermanfaat, semoga saya dapat berkahnya.
Catatan Anak Desa selanjutnya apa ya? Masih belum tahu neh. Nanti tak saya kabari, monggo sering-sering buka blog ini. Mungkin bisa menambah wawasan.
Parit Lambau, Mega Timur
Rabu , 21 Maret 2012, 02.11
No comments:
Post a Comment