Saturday 28 July 2012

Tas Baru: Dari Bodypack ke Eiger


Tas Baru: Dari Bodypack ke Eiger
Oleh UBAY KPI

Ada kesenangan pada hari ini. Terutama saat tadi malam usai membawa pulang sebuah tas dari pertokoan di Jalan Pangeran Natakusuma, Pontianak.
Yah, malam tadi saya membeli tas baru yang menurut saya lebih praktis. Praktis untuk aktifitasku sehari-hari. Juga, tas model tersebut memang telah lama saya incar dan sangat ingin memilikinya. Ini berawal dari kecemburuan pada salah satu kawan saya yang juga jurnalis. Sebut saja Arif, wartawan Radar Pontianak serta beberapa rekan photografernya. Dengan enteng ia menggunakan tas selempang bermerek.
Pikirku saat itu, ketika awal-awal saya membeli sebuah kamera DSLR merek Nikon D3100 sudah nyaman dengan tas mini yang didapat bersama dengan membeli kamera itu. Tapi setelah menggunakan, rasanya begitu agak repot. Karena kamera bersama tas berbentuk memanjang dengan sedikit lebih kecil di bagian bawahnya itu harus saya masukkan ke tas ransel yang biasa saya gunakan.
Perlu dua kali membuka ketika saat akan menggunakan kamera. Pertama membuka tas ransel, dan kedua membuka tas kamera. Maklum saja, saya tak bisa lepas dari tas ransel. Sebab ada beberapa barang yang harus saya ketika beraktifitas. Kertas kecil, pulpen. Laptop dengan cargernya. Serta jarang tertinggal juga, sebuah buku jurnalistik dalam tas ranselku.
Setelah hampir setahun dengan kebiasaan itu. Saya mengusahakan punya tas yang mirip dengan punya Arif. Dan baru terwujud tadi malam. Sebuah tas yang didesign khusus kamera serta beberapa tempat untuk benda-benda kecil bermerek Eiger. Pada awalnya saat saya melihat di toko kurang tertarik, karena tas selempang ini sangat sempit ruangnya. Di bagian atas agak terbuka dan biasa Arif menggunakannya sebagai tempat buku. Setelah saya cek tadi malam memang langsung kepikiran, di mana saya harus menempatkan notebookku. Sedangkan benda ini sangat dibutuhkan untuk menulis. Sebelum membeli, saya tes terlebih dahulu. Notebook dan kamera saya keluarkan dari tas ransel yang biasa saya gunakan. Dan ternyata ruang di paling atas sangat pas untuk notebook. Langsung mantap deh beli tas tersebut.
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja dengan tas Eiger baru. Heheheheh
Bicara harga, saya bukan orang yang perhitungan. Intinya barang itu saya sukai, saya selalu mengusahakan. Toh saya yakin, lebih mahal barang tersebut, kualitasnya tentu lebih top mar kotop. Yah, begitulah gaya saya dan kebiasaan saya. Tak ada penyesalan setelahnya meski harus merogoh kocek agak dalam untuk barang yang disukai selama itu untuk kepentingan diri dan memberikan manfaat.
Mungkin untuk ukuran mahasiswa yang menggantungkan biayanya kepada orangtua serta keadaan orang tuanya menengah ke bawah, itu harga yang cukup tinggi. Yah, harga tas khusus kamera merek Eiger tersebut saya beli di toko Eiger Pontianak dengan harga Rp 410.000. Tapi kalau bagi mahasiswa yang sudah bekerja dan itu memang kebutuhan. Atau orang tuanya berpunya. Mungkin itu harga yang biasa. Tapi terlepas dari itu. Bagi saya adalah kepuasan pada diri sendiri.
Nah, setelah ini mungkin hari-hariku akan bersama tas Eiger ini. Sedangkan tas lama yang biasa saya gunakan sebelumnya lebih banyak saya tinggalkan. Bahkan, waktu tadi malam saya mau berangkat berencana membeli tas, tas lama bermerek Bodypack yang saya beli di Kota Madiun pada tahun 2010 lalu sudah ada yang pesan. Hah, perkiraan saya tak meleset. Pasti ada yang memakainya. Siapa lagi kalau bukan kakak saya, Nursiti Yinwana atau yang kawan-kawannya biasa panggil Nana’.
Tas merek Bodypack yang saya beli di Madiun dulu selanjutnya
dipakai Kak Nana'
Tas ransel itu cukup besar. Besar sekali bisa muat banyak barang. Waktu itu saya beli di Madiun karena bawaan saya cukup banyak. Memang sengaja membeli tas yang besar. Lagian pula waktu itu saya beli buku jurnalistik agak banyak dari Madiun, sehingga cukup berat. Tas Bodypack itu sampai saat ini masih bagus. Hanya sedikit kusam di bagian luar karena kerap dipakai. Di dalamnya hanya sobek sedikit di bagian tempat laptop. Pokok masih bagus sekali. Bahkan tas itu tak mudah masuk air saat hujan. Itu saya buktikan kerapkali saat saya pulang hujan-hujan. Tas itu dilengkapi dengan lapis anti air di beberapa sisinya.
Untuk anti tembus airnya ini, saya betul-betul menjaganya. Sebab ini salah satu kelebihan tas tersebut. Saya ikuti saran penjualnya dulu di Madiun. Untuk tidak mencuci tas tersebut dengan pembersih apapun. Sebab akan merusak lapisan anti tebus air tersebut. Selama kurang lebih dua tahun saya pakai. Tas itu hanya dicuci beberapa kali dengan hanya diusap menggunakan tangan di bagian luar.
Bodypack mulai hari ini dipakai kakak. Ingat kak, hanya hak pakai bukan memiliki. Hahahahaha.
Dan, tas kamera sebelumnya, tidak saya gunakan lagi. Sebab di tas baru sudah sangat praktis dengan kotak-kotak yang pas untuk badan kamera, lensa, dan benda kecil lainnya. Namanya juga  tas khusus kamera. Kkkkkkkkk.
Tas kamera Nikon yang tak pakai lagi. Dadadadadada
Oya, di dua sisi samping tas baru saya merek Eiger ada dua kocek yang berukuran agak kecil. Itu tidak saya gunakan karena cukup memperburuk pemandangan bagi saya.
Ini bagian yang saya lepas
Jadi, keduanya saya lepas. Sebab kedua kocek tersebut hanya dilekatkan dengan perekat seperti kayak di sandal gunung. Tahukan kayak apa sandal gunung? Hehehehe. Perekat yang dimaksud neh itu yang ketika dibuka bunyi kraaaakkkkk. Jkkkkkkkk.
Seperti ini yang saya maksud. Jkkkkkk
Oke deh, sekian dulu ceritaku pagi ini tentang tas baru. Sampai bertemu lagi dengan Catatan Anak Desa selanjutnya ya kawan-kawan blogger.


Di Ruang Tamu Pondok Kelahiran
Sabtu, 28 Juli 2012. Pukul 06.07

Friday 27 July 2012

Curhatan Anak pada Bapak


Curhatan Anak pada Bapak
Oleh UBAY KPI

Suatu pagi, saat itu Saya baru saja selesai salat Subuh, saya di kamar diam sendiri dengan sebuah laptop. Saat itu almarhum bapak bersama ibu di dapur. Entah apa mereka keluhkan, yang jelas kedengaran bapak saya mengeluh karena suatu belanjaan.
Saat itu juga bersamaan dengan musim hujan. Ibu dan ayah pekejaannya hanya noreh karet, sehingga menggantungkan pekerjaannya ketika cuaca cerah. Seingat saya musim hujan saat itu sangat lama, sampai belasan hari. Dengan nada tinggi bapak berkata, bingung tak ada belanjaan, uang pun tak ada.
Mendengar kata-kata itu, saya begitu tersentak, Saat itu mugkin saya masih awal-awal bekerja di Borneo Tribune, hanya sebagai kontributor berita.  Peghasilannya hanya meggantungkan berita yang saya kirim, itu pun dihitung berita yang dimuat saja.
Di dalam kamar saya begitu sedih, sedih sekali, orang tua saya mengeluh seperti itu. Orang tua yang sudah lanjut usia. Bapak sudah tak kuat lagi bekerja sejak penyakit rematiknya parah sekali.
Dalam hati saya, saya ingin membantu, tapi bagaimana caranya? Gaji saya saja hanya cukup untuk kebutuhan saya sehari-hari. Utk biaya kuliah, jajan, bensin, dan kebutuhan lainnya. Yah mugkin waktu itu gaji saya hanya sekitar 600-an.
Saya begitu menangis, menangis sesenggukan di kamar. Meksi saya tahan untuk tidak menangis, meski saya tahan untuk tidak tangis itu tak bersuara, tapi saya tak bisa. Air mata ini mangalir. Mengalir.
Saya merasa usia saya yang sudah di atas 20 tahun, belum memberikan manfaat kepada kedua ortu, sehingga orang tua yang sudah lansia, sudah 60 tahun ke atas. Harus bekerja sendiri untuk hidup, untuk makan saya, makan kakakku, juga ayah dan ibu.
Bagaimana saya tidak meringis. Anak yang sudah seusia saya, anak yang sudah seusia saya tak mampu memberi sumbangih kepada keluarga. Dalam hati saya hanya menangis, menangis sangat parah, penuh berlinang air mata. Deraian air mata mungkin tak seberapa, tapi hati saya. Saya yang sudah berusia tidak bisa bermanfaat, tidak bisa mengabdi kepada orang tua, dengan membantu kebutuhan-kebutuhan. Sejak itu say berjanji, akan berusaha.
Kerja saya memang tak seberapa, gajinya tak seberapa. Tapi cukup untuk saya. Saya kuliah alhamdulillah tidak meminta uang jajan untuk sehari-hari. Dan sejak semester 2 pun saya sudah bisa membayar uang daftar ulang sendiri. Tapi itulah, ketidakpuasan saya, saya tidak bisa membantu untuk keperluan dapur. Saya menangis, sungguh menangsis. Apalagi mengingat saat ini bapak telah tiada. Ayah yang dulu  membesarkan saya kini kini telah tiada.
Bapak tercinta, Semali bin Diman
Waktu itu, saat bapak tidak ada di rumah, dan ibu tidak ada di rumah, saya diam-diam melihat tempat  beras yang ibu simpan di dapur. Tak ada beras sama sekali. Saya pun waktu itu tidak memegang uang sama sekali. Hatiku semakin menangis, menangis sekali. Bahkan, saya sampai nelpon kepada abang saya yang ada di Jawa, bahwa di rumah lagi tak ada beras. Setelah bapak tahu saya kasi tahu saudara saya, bapak begitu marah kepada saya. Menurutnya amat memalukan. Padahal niat saya ingin berbagi. Entah kenapa saat itu saya hanya memikirkan untuk memberitahu. Padahal ketika sadar saat ini, itu amatlah sikap yang bodoh sekali. Bodoh, dan bodoh.
Sejak itu, saya mulai niat untuk membantu kedua orang tua. Meskipun hingga satu tahun kemudian saya masih  belum bisa membantu, karena tidak cukup untuk kbtuhan. Untuk kebutuhan saya sehari-hari di lapangan. Saya baru bisa mewujudkan itu ketika bapak terbaring sakit. Stroke yang dideritanya awal tahun ini. Yah, sejak bapak stroke itu, dan hanya bisa terbaring, sedang ibu tak bisa apa-apa. Ibu hanya menjaga bapak.
Sejak itulah, baru kesadarankku muncul. Sadar begitu sadar, di sinilah tempat untuk mewujdukan pagi itu. Sejak itu semua untuk keperluan di dapur semua saya atur. Semua saya cukupi dengan gaji yang pas-pasan. Tapi tak ada sedikit penyesalan. Tak ada penyesalan dalam diri saya meski saya harus mengorbankan kebutuhan pribadi. Bahkan sampai bapak tiada pun. Saya menangis, karena tidak bisa berbakti lebih kepadanya di masa hidup.
Padahal, saat sakit. Saya senantiasa berada di sisinya ketika malam hari. Bahkan ketika bapak untuk pindah tempat pun sekedar utk buang air dan mengambil wudlu’. Sering saya yang mengangkatnya. Tapi pengabdian itu belum cukup sama sekali. Saya ingin berbakti lebih. Namun terlambat untuk bapak tercinta.
Saat ini saya hanya punya ibu, dan kakak satu-satunya yang masih belum berkeluarga. Saat ini, Saya menjadi orang yang dituakan, karena laki-laki tertua di rumah. Sekaligu menjadi imam dan kepala keluarga.  Ada beban dan tanggung jawab untuk mngurusi keluarga, mengurusi ibu, kakak dan mencukupi untuk kebutuhan sehari. Ini yang bisa kuberikan saat ini.
Saya juga ingin membahgiakan ibu, membagiakan ibu, yah membahagiakan ibu.
Ibu Tercinta, Tarsia bin Tarki
Bapak, semoga bapak berada di tempat yang indah di sisi Allah. terima kasih bapak. Terima kasih. Bapak telah menjadi guru, guru bagi saya. Bagi anak bungsumu. Dan maafkan, maafkan saya belum bisa berbuat banyak kepada bapak ketika masih hidup.
Bapak, saat ini saya hanya ada ibu, anak bungsumu ini berjanji akan membahagiakan ibu, janji tidak akan membiarkan ibu pontang-panting seperti dulu untuk mencukupi kebutuhan dapur. Ibu akan Saya tempatkan di paling utama dalam pengabdian ini. Tak akan saya biarkan ia bekerja keras. Saya akan wujudkan ia duduk manis menikmati usia lanjut sembari tetap beribadah.
Anak bungsumu ini berjanji akan menjaga ibu. Pak. Anak bungsumu ini semoga menjadi anak bermanfaat. Semoga menjadi pengayom. Anak bungsumu akan berusaha ibu tak seperti dulu. Kerja setiap hari tanpa kenal waktu.
Kakak Tersayang, Nursiti Yinwana
Ketika Saya mengingat bapak, mengingat penderitaan dulu. Sungguh, sungguh saya orang yang tak berguna, tidak berguna sama sekali untuk bapak. Meski pun saya sudah bekerja. Tidak berguna bagi keluarga, anak seusia saya belum mampu membantu.
Bapak. I love you, I love yuu. Semoga kita dipertemukan. Maafkan anakmu.

Keterangan:
Tulisan ini kuucapkan dan direkam saat perjalanan pulang kerja. Dan waktu bersamaan saya sedang ada masalah dengan orang yang saya harapkan menjadi pendamping hidup suatu saat nanti “Setiawati”.
Foto hasil photohop ini dulu hanya berandai-andai. Namun kini saya menjalin
hubungan meski sebatas ta'arufan.
Sebuah pengaharapan, wanita ini menjadi pelengkap tulang rusuk yang kurang
Rekaman dari tulisan ini saya beri nama “Ubay untuk Bapak”. Tak hanya sebatas kata dari apa yang saya ucapkan, namun deraian air mata juga ikut mengiringi dari setiap kata yang terucap. Terutama saat di penghujung curatan ini.
Bertepatan dengan malam Jumat, sebelum saya naik ke rumah. Saya terlebih dahulu bersimpuh di depan nisan kuburan bapak yang di makamkan di depan rumah. Dengan penuh air mata penyesalan karena sangat belum cukup memberikan pengabdian di masa hidup bapak, saya haturkan juga alfatihah dan ayat-ayat suci untuk bapak. Serta doa untuk kebaikannya di alam kubur.


Jumat, 27 Juli 2012, Dini Hari

Thursday 26 July 2012

Darah dan Lingkunganku


Ubay dengan Sakeranya

Darah dan Lingkunganku
Oleh UBAY KPI

Beberapa kali, saya sempat heran pada orang yang baru saya kenal. Herannya bukan orang itu kadang terlalu takdzim, bukan pula karena mereka sedikit segan. Tapi ada beberapa rekan dan orang baru saya kenal mengira saya orang Jawa. Yah, bisa jadi sebab saya memang keturunan dari pulau Jawa. Tapi mereka menganggap saya Jawa tulen. Mungkin karena mungkin saat bercakap logat saya agak kejawaan. Padahal kalau dilihat dari wajah saja mungkin orang akan bisa menebak.
Bahkan ada pula yang mengira saya orang Melayu Ketapang. Sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang memang banyak dihuni orang Melayu. Itu perkiraan orang yang hanya kenal via telepon. Mungkin karena nama saya yang agak mirip Uray. Biasanya di Kalbar, orang yang namanya Uray adalah asal Ketapang. (untuk mengenai nama, anda bisa membaca pada postingan khusus, silahkan cari saja di blog ini)
Padahal, dan padahal. Saya keturunan orang Madura asli. Meski kedua orang tua saya kelahiran di Pontianak. Bapak saya dari kampung Pirem, salah satu kampung di Kabupaten Sampang. Kalau tidak salah dekat dengan pasar Tamblengan. Begitu juga ibu saya, juga asli Madura. Keturunan tanah Lar-Lar, sebuah kampung yang tak jauh dari desa bapak. Aneh, aneh.
Logat saya berbicara memang kadang bisa dipoles. Ketika saya bicara di forum resmi memang logat saya memang kadang hilang Maduranya. Sebab lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga saat komunikasi dengan kawan-kawan di Jawa, kadang logat saya ke-Jawa-an. Tapi kalau ngomong lepas bersenda gurau. Itu pasti logat Maduranya pasti kentara.
Tanpa memungkiri dan mengelak sedikit pun, saya tetap bangga menjadi keturunan Madura. Karena itulah darah keturunanku. Saking bangganya dengan Madura, saya sejak kecil berniat harus menjejakkan kaki di tanah Madura. Dan Alhamdulillah itu terwujud di tahun 2011 lalu.
Ubay KPI bersama Rosalinda saat menjadi pembaca nominator
Borneo Tribune Award 2010 di Hotel Mercure Pontianak
Nah yang bikin saya heran lagi adalah ketika saya bicara menggunakan bahasa Madura yang halus “parbesan”. Itu saya lakukan ketika saya bicara dengan orang lebih sepuh. Baik di lingkungan saya sendiri, maupun di luar. Kejadian ini tak hanya terjadi di luar Pontianak, namun sampai keluar daerah. Dalam tugas sehari-hari di lapangan, kerap saya berjumpa dengan orang Madura. Katakan saja itu pebisnis, politisi, atau pejabalah.
Saya tak segan bicara dengan bahasa ibu ketika bertemu dengan mereka. Ketika demikian, kadang lawan bicara saya bertanya. Kok bisa bahasa halus. Enteng saja saya jawab, bahwa lingkungan saya masih kental dengan bahasa tersebut. Bahkan dari mereka kadang masih bertanya mungkin saya pernah mondok ke Madura.
Oh tidak sama sekali. Saya hanya belajar di surau dekat rumah.
Sobat semua. Khususnya anak-anak generasi muda Madura. Saat ini memang kita dihadapkan pada persoalan bagaimana tetap melestarikan bahasa itu. Khususnya yang di luar Madura. Seperti di Pontianak. Untuk lingkungan kota bahasa halus sangat jarang digunakan, kecuali mereka yang pernah dari pondok Jawa, Madura, atau mereka memang belajar di pendidikan yang dikelola orang Madura. Atau dalam lingkungan keluarga tetap membudayakan bahasa halus “Parbesan”.
Parbesan untuk di Pontianak memang sudah turun darastik pelestariannya. Tapi di pedalaman Kalbar seperti Kubu Raya, Ketapang, Mempawah masih banyak yang menggunakan bahasa halus ini.
Nah uniknya lagi. Pengalaman perjalanan saya ketika ke luar Kalbar, saat saya di Jakarta saya bertemu dengan orang Madura juga, kalau tidak salah di daerah Rawamangun. Kebetulan saya membeli sesuatu di warungnya. Secara tak sengaja saya mendengar percakapan antara penjual itu dengan anaknya. Ia menggunakan bahasa Madura. Tanpa segan saya langsung ngomong menggunanakan bahasa Madura.
Ia bertanya pada saya. “Derih dimmah be’nah lek, macem anyar ekantoh” (Dari mana kamu dik, seperti baru di sini). “Derih Pontianak buk” (dari Pontianak Buk). Jawab saya.
Ia mulai heran pada saya. Dan bertanya kok bisa bahasa Madura. Dengan rinci saya jelaskan bahwa di Pontianak, Kalimantan Barat banyak sekali orang Madura. Sampai titik daerah yang banyak orang Maduranya saya jelaskan pada ibu tersebut.
Ubay KPI dan Dr. Yusriadi, MA. Dosen sekaligus redaktur yang mengajarkanku
ilmu jurnalistik pertama kali. Dia tak hanya dosen, namun juga orang tua sekaligus kawan
bagi saya. I Love Yusriadi Ebong
Mungkin ia mengira Madura hanya ada di Jawa dan Sampit. Padahal di Kalimantan Barat sangat berjibun. Bahkan, orang Madura di Kalbar pernah menjabat sebagai Bupati. Yakni di Kabupaten Sanggau. Dan saat ini Wakil Walikota Pontianak, Paryadi merupakan asli keturunan Madura. Saat ini juga, ada orang Madura di Kalbar yang ikut mencalonkan jadi Wakil Walikota lagi, di Kota Singkawang, yakni H. Mutholib.
Di Pontianak, yang namanya Siantan bahkan dikenal sangat padat dengan orang Madura.
Cukup sekian celotehan saya pagi menjelang sahur ini. Mator sekelangkong taretan.

Di Ruang Tamu Rumah
Kamis, 26 Juli 2012. 03.25 menjelang sahur.

Friday 20 July 2012

Cong, Besok Puasa Tidak?


Cong, Besok Puasa Tidak?
Oleh: Ubay KPI

Sebuah kata Tanya yang sangat besar artinya bagi saya setelah kuingat kembali perkataan itu saat ini. “Cong, besok puasa tidak?”.
Itulah kata-kata yang selalu saya dengar ketika jam dinding menunjukkan pukul tiga malam ketika bulan Ramadan. Kata Tanya itu selalu saya dengar setiap malam di bulan puasa ketika saya masih berumur 5 tahun atau saya baru saja belajar mengaji. Embu’ (ibu) selalu membangunkan tidurku kala itu hanya dengan empat kata itu, kacong adalah sebutan bagi anak laki-laki orang Madura yang biasa hanya ambil cong-nya saja.
Kala itu saya tidak mengerti kepada orang tua saya, kenapa selalu membangunkan saya ketika waktu sahur tiba, padahal sangat tidak masuk akan seusia saya akan mampu puasa sehari penuh dalam bulan Ramadan, kadang yang udah gede saja juga bolos puasanya, bahkan kalau saat ini yang tua pun juga banyak dijumpai tidak puasa. Kenapa mereka itu, apa mereka tidak mampu untuk menahan lapar, atau tak mampu menahan haus, atau tidak mampu menahan untuk tidak merokok, atau-mereka karena malas? Yang jelas mereka punya alasan peribadi.
Pertanyaan itu baru kusadari ketika saya menginjakkan kaki di bangku sekolah kelas tiga madrasah ibtidaiyah, ketika huru menjelaskan tentang kewajiban orang tua terhadap anaknya. Bapak guru kala itu menjelaskan kitab Qowa’idul Fiqhiyah, sebuah kitab klasik jarangan ulama salaf. Guru menjelaskan bahwa sebagai orang tua wajib membimbing anaknya tentang agama, dan ibadah. Dan guru memberikan contoh pertama tentang salat. Kata guru, anak usia lima tahun sudah wajib disuruh untuk belajar salat, dan bila sudah usia usia tujuh tahun anak itu masih tidak mau untuk salat, maka orang tua sudah diperbolehkan untuk memukul sekedarnya.
Dan contoh kedua yakni guru mencontohkan puasa, orang tua seharusnya mempelajari anak-nya yang maish kecil untuk puasa, meskipun ia tidak puasa sehari penuh. Bisa sampai dengan pukul 10 siang, atau sampai tengah hari. Dan selanjutnya bertahap, setiap hari semakin ditambah., ditambah, ditambah, dan akhirnya ia akan terbiasa dan akan mampu puasa sehari penuh.
Dengan penjelasan itu saya mulai ingat dengan kata tanya yang selalu mengusik tidurku dulu, yah, mungkin ini adalah tujuan dari kata tanya itu. Mungkin Embu’ memang sengaja mendidik saya dengan tanpa memaksa dan mengajarkan untuk berpuasa. Saya masih ingat, ketika usia saya lima tahun, saya selalu puasa ketika pagi hari, kadang sampai pukul 10, 11, dan 12. Dan pada usia itu seingatan saya ketika pertengahan bulan Ramadan saya sempat penuh puasanya oleh karena sudah terbiasa dan iri dengan kakak saya yang sudah bisa puasa penuh. Tahun itu adalah tahun pertama saya belajar puasa. Tapi di ujung bulan Ramadan saya tidak pernah penuh sebab selalu tergoda dengan banyaknya kue lebaran yang Embu’ buat.


Friday 13 July 2012

Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi


Tugas awalku menjadi reporter olahraga. Nyaris setiap hari
ke gedung olahraga untuk liputan sebuah event di tingkat
Kota Pontianak dan atau Kalimantan Barat. Foto. Budi Rahman

Bimillahirrahmanirrahim
Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi

“Tak ada rotan, akar pun jadi” suatu ungkapan yang sering terlontar kala pilihan utama tidak ada atau selalu menjadi alternative kedua dalam kebutuhan. Dalam bagian cerita ini, ungkapan itu saya kaitkan dengan alternative kedua saya ketika saya awal-awal menjadi wartawan dan masih belajar menulis berita untuk dikirim ke Borneo Tribune dan atau Borneo Metro.  
Sebagaimana judul di atas, pepatah itu saya renovasi menjadi “Tak ada tikar, koran pun jadi.”
Seperti biasa orang kelas mengenah ke bawah, alas tidurnya ialah tikar atau orang yang berpunya, alas tidurnya menggunakan kasur atau sprim bead, saya kalau di rumah juga menggunakan alas tikar untuk tidur karena masih belum mampu untuk membeli kasur, dan karena sudah terbiasa menggunakan tikar, malah kadang susah tidur kalau berbaring di kasur empuk apalagi yang sampai bertingkat dua atau tiga.
Pada awal saya mengirim berita ke Borneo Tribune atau Borneo Metro kadang saya sampai larut malam pulang dari kantor redaksi di Jalan Purnama Dalam karena ketika awal belajar nulis berita, kadang satu judul berita memerlukan waktu satu setengah jam atau 2 jam untuk menyelesaikannya dan itu masih banyak yang dipertanyakan oleh redaktur karena tidak jelas pokok pembahasannya. Rumahku yang di Sungai Ambawang Desa Mega Timur Parit Lambau sangat jauh dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, apalagi ketika musim hujan yang otomatis jalan masuk dari Jalan 28 Oktober Pontianak sejauh 4 kilo meter pasti becek, sedangkan esok paginya harus kuliah mulai jam 07.30. Maka, untuk mendapatkan keduanya yakni bisa kuliah tidak terlambat masuk dan menulis berita tetap lancer, maka alternativnya saya memutuskan menginap di kelas KPI semester satu tempat yang sehari-hari saya dan kawan gunakan untuk proses kuliah. Di sudut kelas gedung dakwah lantai dua, dengan ber-alaskan koran yang memang sengaja dari kantor Borneo Tribune saya bujurkan tubuh hitam ini dengan tanpa beban karena telah dihantui rasa ngantuk. Pada awalnya saya tidak menggunakan kain penutup untuk selimut, sehingga ketika paginya bangun, tubuhku yang tidak terkena tutup baju dan celana tampak bentol-bentol oleh jarum suntik nyamuk-nyamuk lapar yang haus akan darah. Malam pertama terkaparku di pojok kelas sedikit menderita dan tak enak tidur oleh nyanyian sayap nyamuk yang naksir dengan darahku, karena nyamuk itu, tidurku terganggu karena harus garuk-garuk bagian yang gatal oleh sengatannya. Namun, oleh karena mata yang sudah tak mampu bertahan untuk terbelalak, meski nyamuk berkaraoke di telingaku, dan menari di tubuh mulus hitamku serta mencium bagian sensitifku yang mudah ditembus oleh jarum suntiknya untuk bertahan hidup, saya tetap tidur pulas sampai dengan jam enam pagi.
Ketika ku terbangun, selain merasakan gatal dan bagian tubuhku bengkak kecil, aku dikejutkan oleh binatang yang berasal dari jentik yang bertengger di dinding kelas dekat tempat saya membaringkan badang tadi malam. Meski tidak membentuk lukisan yang biasa dipajang di rumah-rumah, namun nyamuk yang bertengger di sekitar tidurku sangat banyak sekali, perkiraanku nyamuk itu berjumlah lebih dari seratus dengan perut yang berisi tanda kekenyangan. Dalam benakku, ini pasti mengisap darah saya, karena tak ada lagi manusia yang ada di ruangan tersebut malam itu. Meski ia bertengger dengan perut yang berat dan dihasilkan dari badanku, namun saya enggan menggilasnya untuk wafat sampai hari kiamat, hatiku hanya berkata pada nyamuk-nyamuk kenyang itu bahwa darahku yang telah ia hisap anggaplah sebagai shadaqahku yang nanti akan aku tagih di hari kiamat untuk meringankanku dari panas api neraka.
Namun untuk kedua kalinya, sebelum saya berangkat ke kampus untuk kuliah, saya siapkan seuntai kain yang berjahit menjadi bulat (sarung) dan dimasukkan ke dalam tas bersama buku pelajaran dan juga kadang dengan pakaian ganti untuk persiapan esok harinya. (Bersambung)Untuk keduakalinya saya tidur di sudut kelas yang kadang terbujur di atas bangku dosen (Kepada Dosen, maaf saya telah tidak sopan dengan tempat kekuasaan anda, itu ku lakukan karena ku menjaga pakaian saya agar tidak kotor dan supaya saya mudah bangun). Saya sedikit terlindung dari dinginnya angin malam dan juga gigitan kecil makhluk Tuhan penghisap darah yang bernama nyamuk.

Catatan ini belum diedit dari aslinya yang ditulis sekitar awal 2010.

Tuesday 3 July 2012

Catatan Untuk Ibu


Catatan Untuk Ibu

Oleh Ubay KPI

Ibu, ibu masih mengkhawatiriku meski telah dewasa ini.
Ibu masih belum lesu tuk memberi kasih sayang kepadaku.
Ibu masih saja mengingatku meski laut memisahkan kita.
Terima kasih ibu, ibu adalah satu-satunya saat ini yang kumiliki.
Ibu, maaf anak bungsumu belum bisa pulang. Mungkin tanggal 5 Juli ini baru pulang ke Pontianak kembali bersama ibu. Saat ini anakmu ini masih di Jakarta, menunggu kawan-kawan yang akan ke Jakarta setelah kegiatan di Solo.
Ibu tentu khawatir penuh akan saya yang sejak tanggal 22 Juni lalu meninggalkan rumah. Iya bu. Anakmu yang menyusu hingga enam tahun ini rindu ibu. Anakmu ini tetap ingat ibu. Ibu pasti merasa kesepian setelah ditinggal saya ke Bekasi beberapa waktu lalu yang hingga kini belum pulang. Dan ditinggal kakak juga yang sibuk di acara Rema Muda sejak 26 Juni lalu.
Anak bungsumu ini betul-betul mengerti bu. Sebenarnya anakmu ini ingin segera pulang. Namun apalah daya, saya belum bisa pulang bu. Terlebih lagi, sejak 9 Juni lalu kita sudah ditinggal selamanya oleh bapak. Anakmu ini kini hanya punya ibu.
Saya tak punya siapa-siapa lahi selain ibu. Saya berjanji akan membahagiakan ibu. Saya berjanji akan sepenuhnya berbakti untuk ibu. Insya Allah bu, doakan anakmu ini.
Tadi anakmu yang kuliah sambil bekerja ini begitu kaget dan haru dengan sikap ibu yang terus mengkhawatirkan saya. sampai ibu meminta keponakan untuk menghubungiku. Saya tahu, ibu pasti khawatir dan tak ingin terjadi apa-apa pada anak bungsumu ini. mungkin juga ibu rindu pada saya. saya juga demikian bu. Semoga ibu baik-baik saja di rumah.
Oh iya, kemarin saya juga sudah hubungan abang untuk melihat belanjaan di rumah takut ada yang kurang. Tapii semoga saja kebutuhan di rumah cukup.
Anakmu ini baru sadar, kalau selama ini belum sedikit pun berbakti untuk ibu. Apalagi pada bapak yang tlah berpulang ke haribaan Tuhan.
Anakmu ini berjnaji bu. Tak akan mengecewakan ibu. Anakmu ini akan berusaha membahagiakan ibu. Akan saya pertaruhkan kebahagian saya pribadi demi ibu. Meski pun nanti anakmu yang sejak kecil bersama ibu ini telah berkeluarga. Ibu akan menjadi yang utama. Ibu akan menjadi yang terbaik. Anakmu ini akan manut segalanya pada ibu.
Mungkin anakmu ini tak akan mampu memblas kasih sayang yang sampai saat ini ibu curahkan kepada saya meski saya telah dewasa seperti ini. Saya janji, akan tetap bersama ibu meskipun nanti ibu punya menantu dari anak terakhirmu ini.
Saya akan tetap bersama ibu, saya tetap akan selalu menemani ibu. Saya berjanji tak akan pulang malam demi ibu. Saya janji tak akan lagi meninggalkan ibu terlalu lama setiap hari. Anakmu ini berjanji pada ibu, tak akan lagi ibu bekerja seperti dulu. Cukup sejak mulai sakit ibu bekerja. Ibu tak boleh lagi bekerja. Ibu harus bisa jaga kesehatan dan saya janji bu akan menjaga kesehatan ibu.
Saya hanya punya ibu, saya saat ini hanya punya ibu. Tak ada yang lain bu.

Di Kamar Kost Pacar
Selasa, 3 Juli 2012, 21.37

Forkomnas, Tantangan Meraih Lebel Resmi


Forkomnas, Tantangan Meraih Lebel Resmi

Oleh Ubay KPI

Tanpa ikut berpartisipasi pada Kongres III Forkomnas KPI yang dilaksanakan di UIN Surakarta, Solo. Yang digelar 30 Juni-3 Juli 2012. Saya merasa ikut bangga dengan keberhasilan Kongres yang berjalan lancar meski harus usai larut malam. Bahkan dini hari.
Saat bersamaan, saya berada di Jakarta untuk suatu urusan. STAIN Pontianak sendiri diwakili oleh tiga mahasiswa. Bambang Eko, Anwar, dan Haris. Mereka bertiga menjadi penyampai aspirasi dari Pontianak.
Pada awalnya saya ingin datang pada kongres tersebut. Saya juga telah sampai ke Semarang dengan maksud menunggu kedatangan tiga rekan saya dari Pontianak di Tanjung Emas. Namun saya harus kembali ke Jakarta.
Saya mengikuti perjalanan kongres hanya melalui telepon seluler. Beberapa kali saya menghubungi kawan yang ada di forum. Bahkan, saya mendengarkan secara live via telepon pembicaraan di dalam forum. Seperti saat usulan Pontianak yang berkeinginan pindah ke wilayah II. Begitu juga bakal calon dipilih. Saya hubungi kawan di dalam forum yang juga kandidat Ketua Umum Forkomnas 2012-2013. Akrin Nur Huda.
Saya mendengarkan suara dalam forum kongres. Dan ada empat bakal calon yang akhirnya hanya tiga calon yang bisa menjadi calon. Ialah Rizal dari UIN Bandung, Maulana Saif dari Unsiq Wonosobo, dan Akrin dari Insuri Ponorogo.
Dari awal saya sudah kontakan via telepon dengan mereka bertiga. Bahkan sempat men-setting ketiganya untuk aklamasi dengan kelapangan dan keterbukaan dari mereka. Namun settingan itu tak bisa, akhirnya ditentukan dengan polling.
Sebelumnya, via telepon juga saya menanyakan akan keinginan yang dicapai bila mereka jadi orang nomor satu di organisasi mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam tersebut. Rata-rata mereka sama, melanjutkan estafet Forkomnas yang sampai saat masih abu-abu tanpa kejelasan statusnya. Serta memperbaiki sistem organisasi yang belum berjalan dengan baik.
Begitu juga dengan kelegalan organisasi. Menurut Rizal di kepungurusan saat ini, Forkomnas KPI harus punya baju, atau dengan kata lain seluruh persyaratan sebagai organisasi setingkat nasional keberadaannya diketahui dan punya cirri dn khas.
Yah, memang menurut pandangan saya kelegalan itu sangat penting. Di kepengurusan yang dipimpin Fathur Ridwan sebelumnya, Forkomnas hanya baru memiliki akte notaries. Bermodal itulah dan semangat kawan-kawan KPI, Forkomnas tahun ini punya nama dan legal. Organisasi “abu-abu” ini memang belum punya nama di tingkat nasional dan warna, maklum saja ini adalah organisasi baru. Akan tetapi, organisasi ini telah berjalan dengan ragam kegiatannya. Termasuk pertemuan nasional yang selalu dilakukan setiap tahun.
Tantangan lain yang dihadapi kepengurusan dan anggota ke depan selain kelegalan, adalah bagaimana berperan serta menentukan kurikulum yang tepat untuk mahasiswa. Sudah menjadi wacana hampir 99 persen perwakilan kampus. Bahwa kurikulum yang diberikan akademik kepada mahasiswa masih berkutat soal kedakwahan. Itu mungkin wajar saja. Sebab KPI rata-rata di Indonesia berada di bawah Fakultas Dakwah. Akan tetapi, bila melihat lagi ke dalam. Banyak kampus yang menggaungkan kompetensi KPI pada jurnalistik, public relation, broadcasting, dan photografi. Namun, isi di dalamnya kebanyakan di kampus-kampus penyelenggara KPI mata kuliah yang mengarah ke bidang itu sangatlah minim sekali.
Saat ini, melalui Kongres III di Solo telah terpilih Ketua Umum yang baru untuk satu setengah tahun ke depan. Mas Rizal dari UIN Bandung. Sekretaris Akrin Nurhuda dari Insuri Ponorogo. Bendahara Dhika dari  STAIN Palangkaraya. Sedangkan Maulana Saif duduk manis di Ketua I Bidang Keorganisasian. Dan saya sendiri yang tak hadir pada Kongres dipercaya oleh kawan-kawan team formatur duduk nungging di Ketua III Bidang Kehumasan. Mungkin saya ada muka-muka humas kali’ ya? Hahahahhaha.
Yah, selama kita yakin berusaha apa yang kita inginkan insya Allah terwujud. Begitu juga dengan organisasi kita ini kawan. Bila kita ingin dan berbuat insya Allah bisa. Yakin kan dengan grup di FB kita tuh “KPI Juga Bisa”. Asyiiiikkkkkkkkkkkkkkkkk.
So, mari kita berbuat dan cepat bergerak. Kalau bukan kita yang memperhatikan, siapa lagi? Ayoooo.
Andai masih jaman penjajah, mungkin kita juga akan sama menggunakan motto “KPI Harga Mati”. Hahahah.
Selamat buat Mas Rizal. Anda ujung  tombak selanjutnya Forkomnas KPI, dan saya yakin, Akrin dan Saif yang nyungsep suaranya saat pemilihan karena sampeyan memborong 25 suara tetap akan mendukung setiap kebijakan dan terobosan. Begitu juga saya yang berada di “Borneo Barat” Pontianak. Akan menjalankan kepercayaan kawan-kawan yang menempatkan saya di kepengurusan.
Dan untuk pengetahuan, bagi saya pribadi. KPI akan tetap ada bersamaku dan dalam jiwaku. Itu pasti. Karena KPI saya jadi begini hidup bisa mandiri. Serta KPI akan terus melekat dalam nama penaku yang telah paten. So, ingat Ubay KPI Semali yah.
Wasaalam.

Di Kost Kawan Daerah Kalimalang Jakarta Timur
3 Juli 2012 pukul 10.00