Ubay dengan Sakeranya |
Darah dan Lingkunganku
Oleh UBAY KPI
Beberapa kali, saya sempat heran pada orang yang baru saya
kenal. Herannya bukan orang itu kadang terlalu takdzim, bukan pula karena
mereka sedikit segan. Tapi ada beberapa rekan dan orang baru saya kenal mengira
saya orang Jawa. Yah, bisa jadi sebab saya memang keturunan dari pulau Jawa. Tapi
mereka menganggap saya Jawa tulen. Mungkin karena mungkin saat bercakap logat
saya agak kejawaan. Padahal kalau dilihat dari wajah saja mungkin orang akan
bisa menebak.
Bahkan ada pula yang mengira saya orang Melayu Ketapang.
Sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang memang banyak dihuni orang Melayu. Itu
perkiraan orang yang hanya kenal via telepon. Mungkin karena nama saya yang
agak mirip Uray. Biasanya di Kalbar, orang yang namanya Uray adalah asal
Ketapang. (untuk mengenai nama, anda bisa membaca pada postingan khusus,
silahkan cari saja di blog ini)
Padahal, dan padahal. Saya keturunan orang Madura asli. Meski
kedua orang tua saya kelahiran di Pontianak. Bapak saya dari kampung Pirem,
salah satu kampung di Kabupaten Sampang. Kalau tidak salah dekat dengan pasar
Tamblengan. Begitu juga ibu saya, juga asli Madura. Keturunan tanah Lar-Lar,
sebuah kampung yang tak jauh dari desa bapak. Aneh, aneh.
Logat saya berbicara memang kadang bisa dipoles. Ketika saya
bicara di forum resmi memang logat saya memang kadang hilang Maduranya. Sebab lebih
banyak menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga saat komunikasi dengan
kawan-kawan di Jawa, kadang logat saya ke-Jawa-an. Tapi kalau ngomong lepas
bersenda gurau. Itu pasti logat Maduranya pasti kentara.
Tanpa memungkiri dan mengelak sedikit pun, saya tetap bangga
menjadi keturunan Madura. Karena itulah darah keturunanku. Saking bangganya
dengan Madura, saya sejak kecil berniat harus menjejakkan kaki di tanah Madura.
Dan Alhamdulillah itu terwujud di tahun 2011 lalu.
Ubay KPI bersama Rosalinda saat menjadi pembaca nominator Borneo Tribune Award 2010 di Hotel Mercure Pontianak |
Nah yang bikin saya heran lagi adalah ketika saya bicara
menggunakan bahasa Madura yang halus “parbesan”. Itu saya lakukan ketika saya
bicara dengan orang lebih sepuh. Baik di lingkungan saya sendiri, maupun di
luar. Kejadian ini tak hanya terjadi di luar Pontianak, namun sampai keluar
daerah. Dalam tugas sehari-hari di lapangan, kerap saya berjumpa dengan orang Madura.
Katakan saja itu pebisnis, politisi, atau pejabalah.
Saya tak segan bicara dengan bahasa ibu ketika bertemu
dengan mereka. Ketika demikian, kadang lawan bicara saya bertanya. Kok bisa
bahasa halus. Enteng saja saya jawab, bahwa lingkungan saya masih kental dengan
bahasa tersebut. Bahkan dari mereka kadang masih bertanya mungkin saya pernah
mondok ke Madura.
Oh tidak sama sekali. Saya hanya belajar di surau dekat
rumah.
Sobat semua. Khususnya anak-anak generasi muda Madura. Saat ini
memang kita dihadapkan pada persoalan bagaimana tetap melestarikan bahasa itu. Khususnya
yang di luar Madura. Seperti di Pontianak. Untuk lingkungan kota bahasa halus
sangat jarang digunakan, kecuali mereka yang pernah dari pondok Jawa, Madura,
atau mereka memang belajar di pendidikan yang dikelola orang Madura. Atau dalam
lingkungan keluarga tetap membudayakan bahasa halus “Parbesan”.
Parbesan untuk di Pontianak memang sudah turun darastik
pelestariannya. Tapi di pedalaman Kalbar seperti Kubu Raya, Ketapang, Mempawah
masih banyak yang menggunakan bahasa halus ini.
Nah uniknya lagi. Pengalaman perjalanan saya ketika ke luar
Kalbar, saat saya di Jakarta saya bertemu dengan orang Madura juga, kalau tidak
salah di daerah Rawamangun. Kebetulan saya membeli sesuatu di warungnya. Secara
tak sengaja saya mendengar percakapan antara penjual itu dengan anaknya. Ia menggunakan
bahasa Madura. Tanpa segan saya langsung ngomong menggunanakan bahasa Madura.
Ia bertanya pada saya. “Derih dimmah be’nah lek, macem
anyar ekantoh” (Dari mana kamu dik, seperti baru di sini). “Derih
Pontianak buk” (dari Pontianak Buk). Jawab saya.
Ia mulai heran pada saya. Dan bertanya kok bisa bahasa Madura.
Dengan rinci saya jelaskan bahwa di Pontianak, Kalimantan Barat banyak sekali
orang Madura. Sampai titik daerah yang banyak orang Maduranya saya jelaskan
pada ibu tersebut.
Ubay KPI dan Dr. Yusriadi, MA. Dosen sekaligus redaktur yang mengajarkanku ilmu jurnalistik pertama kali. Dia tak hanya dosen, namun juga orang tua sekaligus kawan bagi saya. I Love Yusriadi Ebong |
Mungkin ia mengira Madura hanya ada di Jawa dan Sampit. Padahal
di Kalimantan Barat sangat berjibun. Bahkan, orang Madura di Kalbar pernah
menjabat sebagai Bupati. Yakni di Kabupaten Sanggau. Dan saat ini Wakil
Walikota Pontianak, Paryadi merupakan asli keturunan Madura. Saat ini juga, ada
orang Madura di Kalbar yang ikut mencalonkan jadi Wakil Walikota lagi, di Kota
Singkawang, yakni H. Mutholib.
Di Pontianak, yang namanya Siantan bahkan dikenal sangat
padat dengan orang Madura.
Cukup sekian celotehan saya pagi menjelang sahur ini. Mator
sekelangkong taretan.
Di Ruang Tamu Rumah
Kamis, 26 Juli 2012. 03.25 menjelang sahur.
No comments:
Post a Comment