Curhatan Anak pada Bapak
Oleh UBAY KPI
Suatu pagi, saat itu Saya baru saja selesai salat Subuh, saya
di kamar diam sendiri dengan sebuah laptop. Saat itu almarhum bapak bersama ibu
di dapur. Entah apa mereka keluhkan, yang jelas kedengaran bapak saya mengeluh
karena suatu belanjaan.
Saat itu juga bersamaan dengan musim hujan. Ibu dan ayah pekejaannya
hanya noreh karet, sehingga menggantungkan pekerjaannya ketika cuaca cerah. Seingat
saya musim hujan saat itu sangat lama, sampai belasan hari. Dengan nada tinggi
bapak berkata, bingung tak ada belanjaan, uang pun tak ada.
Mendengar kata-kata itu, saya begitu tersentak, Saat itu mugkin
saya masih awal-awal bekerja di Borneo Tribune, hanya sebagai kontributor
berita. Peghasilannya hanya meggantungkan
berita yang saya kirim, itu pun dihitung berita yang dimuat saja.
Di dalam kamar saya begitu sedih, sedih sekali, orang tua saya
mengeluh seperti itu. Orang tua yang sudah lanjut usia. Bapak sudah tak kuat
lagi bekerja sejak penyakit rematiknya parah sekali.
Dalam hati saya, saya ingin membantu, tapi bagaimana
caranya? Gaji saya saja hanya cukup untuk kebutuhan saya sehari-hari. Utk biaya
kuliah, jajan, bensin, dan kebutuhan lainnya. Yah mugkin waktu itu gaji saya hanya
sekitar 600-an.
Saya begitu menangis, menangis sesenggukan di kamar. Meksi saya
tahan untuk tidak menangis, meski saya tahan untuk tidak tangis itu tak bersuara,
tapi saya tak bisa. Air mata ini mangalir. Mengalir.
Saya merasa usia saya yang sudah di atas 20 tahun, belum memberikan
manfaat kepada kedua ortu, sehingga orang tua yang sudah lansia, sudah 60 tahun
ke atas. Harus bekerja sendiri untuk hidup, untuk makan saya, makan kakakku, juga
ayah dan ibu.
Bagaimana saya tidak meringis. Anak yang sudah seusia saya,
anak yang sudah seusia saya tak mampu memberi sumbangih kepada keluarga. Dalam
hati saya hanya menangis, menangis sangat parah, penuh berlinang air mata.
Deraian air mata mungkin tak seberapa, tapi hati saya. Saya yang sudah berusia
tidak bisa bermanfaat, tidak bisa mengabdi kepada orang tua, dengan membantu kebutuhan-kebutuhan.
Sejak itu say berjanji, akan berusaha.
Kerja saya memang tak seberapa, gajinya tak seberapa. Tapi cukup
untuk saya. Saya kuliah alhamdulillah tidak meminta uang jajan untuk sehari-hari.
Dan sejak semester 2 pun saya sudah bisa membayar uang daftar ulang sendiri. Tapi
itulah, ketidakpuasan saya, saya tidak bisa membantu untuk keperluan dapur.
Saya menangis, sungguh menangsis. Apalagi mengingat saat ini bapak telah tiada.
Ayah yang dulu membesarkan saya kini
kini telah tiada.
Bapak tercinta, Semali bin Diman |
Waktu itu, saat bapak tidak ada di rumah, dan ibu tidak ada
di rumah, saya diam-diam melihat tempat
beras yang ibu simpan di dapur. Tak ada beras sama sekali. Saya pun waktu
itu tidak memegang uang sama sekali. Hatiku semakin menangis, menangis sekali.
Bahkan, saya sampai nelpon kepada abang saya yang ada di Jawa, bahwa di rumah
lagi tak ada beras. Setelah bapak tahu saya kasi tahu saudara saya, bapak begitu
marah kepada saya. Menurutnya amat memalukan. Padahal niat saya ingin berbagi. Entah
kenapa saat itu saya hanya memikirkan untuk memberitahu. Padahal ketika sadar
saat ini, itu amatlah sikap yang bodoh sekali. Bodoh, dan bodoh.
Sejak itu, saya mulai niat untuk membantu kedua orang tua. Meskipun
hingga satu tahun kemudian saya masih
belum bisa membantu, karena tidak cukup untuk kbtuhan. Untuk kebutuhan saya
sehari-hari di lapangan. Saya baru bisa mewujudkan itu ketika bapak terbaring
sakit. Stroke yang dideritanya awal tahun ini. Yah, sejak bapak stroke itu, dan
hanya bisa terbaring, sedang ibu tak bisa apa-apa. Ibu hanya menjaga bapak.
Sejak itulah, baru kesadarankku muncul. Sadar begitu sadar,
di sinilah tempat untuk mewujdukan pagi itu. Sejak itu semua untuk keperluan di
dapur semua saya atur. Semua saya cukupi dengan gaji yang pas-pasan. Tapi tak
ada sedikit penyesalan. Tak ada penyesalan dalam diri saya meski saya harus
mengorbankan kebutuhan pribadi. Bahkan sampai bapak tiada pun. Saya menangis,
karena tidak bisa berbakti lebih kepadanya di masa hidup.
Padahal, saat sakit. Saya senantiasa berada di sisinya
ketika malam hari. Bahkan ketika bapak untuk pindah tempat pun sekedar utk
buang air dan mengambil wudlu’. Sering saya yang mengangkatnya. Tapi pengabdian
itu belum cukup sama sekali. Saya ingin berbakti lebih. Namun terlambat untuk
bapak tercinta.
Saat ini saya hanya punya ibu, dan kakak satu-satunya yang masih
belum berkeluarga. Saat ini, Saya menjadi orang yang dituakan, karena laki-laki
tertua di rumah. Sekaligu menjadi imam dan kepala keluarga. Ada beban dan tanggung jawab untuk mngurusi keluarga,
mengurusi ibu, kakak dan mencukupi untuk kebutuhan sehari. Ini yang bisa
kuberikan saat ini.
Saya juga ingin membahgiakan ibu, membagiakan ibu, yah
membahagiakan ibu.
Ibu Tercinta, Tarsia bin Tarki |
Bapak, semoga bapak berada di tempat yang indah di sisi
Allah. terima kasih bapak. Terima kasih. Bapak telah menjadi guru, guru bagi
saya. Bagi anak bungsumu. Dan maafkan, maafkan saya belum bisa berbuat banyak
kepada bapak ketika masih hidup.
Bapak, saat ini saya hanya ada ibu, anak bungsumu ini
berjanji akan membahagiakan ibu, janji tidak akan membiarkan ibu pontang-panting
seperti dulu untuk mencukupi kebutuhan dapur. Ibu akan Saya tempatkan di paling
utama dalam pengabdian ini. Tak akan saya biarkan ia bekerja keras. Saya akan
wujudkan ia duduk manis menikmati usia lanjut sembari tetap beribadah.
Anak bungsumu ini berjanji akan menjaga ibu. Pak. Anak bungsumu
ini semoga menjadi anak bermanfaat. Semoga menjadi pengayom. Anak bungsumu akan
berusaha ibu tak seperti dulu. Kerja setiap hari tanpa kenal waktu.
Kakak Tersayang, Nursiti Yinwana |
Ketika Saya mengingat bapak, mengingat penderitaan dulu.
Sungguh, sungguh saya orang yang tak berguna, tidak berguna sama sekali untuk
bapak. Meski pun saya sudah bekerja. Tidak berguna bagi keluarga, anak seusia saya
belum mampu membantu.
Bapak. I love you, I love yuu. Semoga kita dipertemukan. Maafkan
anakmu.
Keterangan:
Tulisan ini kuucapkan dan direkam saat perjalanan pulang
kerja. Dan waktu bersamaan saya sedang ada masalah dengan orang yang saya
harapkan menjadi pendamping hidup suatu saat nanti “Setiawati”.
Foto hasil photohop ini dulu hanya berandai-andai. Namun kini saya menjalin hubungan meski sebatas ta'arufan. Sebuah pengaharapan, wanita ini menjadi pelengkap tulang rusuk yang kurang |
Rekaman dari tulisan ini saya beri nama “Ubay untuk Bapak”.
Tak hanya sebatas kata dari apa yang saya ucapkan, namun deraian air mata juga
ikut mengiringi dari setiap kata yang terucap. Terutama saat di penghujung
curatan ini.
Bertepatan dengan malam Jumat, sebelum saya naik ke rumah. Saya
terlebih dahulu bersimpuh di depan nisan kuburan bapak yang di makamkan di
depan rumah. Dengan penuh air mata penyesalan karena sangat belum cukup
memberikan pengabdian di masa hidup bapak, saya haturkan juga alfatihah dan
ayat-ayat suci untuk bapak. Serta doa untuk kebaikannya di alam kubur.
Jumat, 27 Juli 2012, Dini Hari
Tetap semangat. Yakin, Ayah Ubay, bangga sama Ubay....
ReplyDeleteIya kak. Makasih. AMin ya robbal 'alamin
ReplyDeleteKnp blog kak tuh dh lma tak update?