Tugas awalku menjadi reporter olahraga. Nyaris setiap hari ke gedung olahraga untuk liputan sebuah event di tingkat Kota Pontianak dan atau Kalimantan Barat. Foto. Budi Rahman |
Bimillahirrahmanirrahim
Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi
“Tak ada rotan, akar pun jadi” suatu ungkapan yang sering terlontar kala
pilihan utama tidak ada atau selalu menjadi alternative kedua dalam kebutuhan.
Dalam bagian cerita ini, ungkapan itu saya kaitkan dengan alternative kedua
saya ketika saya awal-awal menjadi wartawan dan masih belajar menulis berita
untuk dikirim ke Borneo Tribune dan atau Borneo Metro.
Sebagaimana judul di atas, pepatah itu saya renovasi menjadi “Tak ada
tikar, koran pun jadi.”
Seperti biasa orang kelas mengenah ke bawah, alas tidurnya ialah tikar
atau orang yang berpunya, alas tidurnya menggunakan kasur atau sprim bead, saya
kalau di rumah juga menggunakan alas tikar untuk tidur karena masih belum mampu
untuk membeli kasur, dan karena sudah terbiasa menggunakan tikar, malah kadang
susah tidur kalau berbaring di kasur empuk apalagi yang sampai bertingkat dua
atau tiga.
Pada awal saya mengirim berita ke Borneo Tribune atau Borneo Metro
kadang saya sampai larut malam pulang dari kantor redaksi di Jalan Purnama
Dalam karena ketika awal belajar nulis berita, kadang satu judul berita
memerlukan waktu satu setengah jam atau 2 jam untuk menyelesaikannya dan itu
masih banyak yang dipertanyakan oleh redaktur karena tidak jelas pokok pembahasannya.
Rumahku yang di Sungai Ambawang Desa Mega Timur Parit Lambau sangat jauh dan
membutuhkan waktu yang tidak sebentar, apalagi ketika musim hujan yang otomatis
jalan masuk dari Jalan 28 Oktober Pontianak sejauh 4 kilo meter pasti becek,
sedangkan esok paginya harus kuliah mulai jam 07.30. Maka, untuk mendapatkan
keduanya yakni bisa kuliah tidak terlambat masuk dan menulis berita tetap
lancer, maka alternativnya saya memutuskan menginap di kelas KPI semester satu
tempat yang sehari-hari saya dan kawan gunakan untuk proses kuliah. Di sudut
kelas gedung dakwah lantai dua, dengan ber-alaskan koran yang memang sengaja
dari kantor Borneo Tribune saya bujurkan tubuh hitam ini dengan tanpa beban
karena telah dihantui rasa ngantuk. Pada awalnya saya tidak menggunakan kain
penutup untuk selimut, sehingga ketika paginya bangun, tubuhku yang tidak
terkena tutup baju dan celana tampak bentol-bentol oleh jarum suntik
nyamuk-nyamuk lapar yang haus akan darah. Malam pertama terkaparku di pojok
kelas sedikit menderita dan tak enak tidur oleh nyanyian sayap nyamuk yang
naksir dengan darahku, karena nyamuk itu, tidurku terganggu karena harus
garuk-garuk bagian yang gatal oleh sengatannya. Namun, oleh karena mata yang
sudah tak mampu bertahan untuk terbelalak, meski nyamuk berkaraoke di
telingaku, dan menari di tubuh mulus hitamku serta mencium bagian sensitifku
yang mudah ditembus oleh jarum suntiknya untuk bertahan hidup, saya tetap tidur
pulas sampai dengan jam enam pagi.
Ketika ku terbangun, selain merasakan gatal dan bagian tubuhku bengkak
kecil, aku dikejutkan oleh binatang yang berasal dari jentik yang bertengger di
dinding kelas dekat tempat saya membaringkan badang tadi malam. Meski tidak
membentuk lukisan yang biasa dipajang di rumah-rumah, namun nyamuk yang bertengger
di sekitar tidurku sangat banyak sekali, perkiraanku nyamuk itu berjumlah lebih
dari seratus dengan perut yang berisi tanda kekenyangan. Dalam benakku, ini
pasti mengisap darah saya, karena tak ada lagi manusia yang ada di ruangan
tersebut malam itu. Meski ia bertengger dengan perut yang berat dan dihasilkan
dari badanku, namun saya enggan menggilasnya untuk wafat sampai hari kiamat,
hatiku hanya berkata pada nyamuk-nyamuk kenyang itu bahwa darahku yang telah ia
hisap anggaplah sebagai shadaqahku yang nanti akan aku tagih di hari kiamat
untuk meringankanku dari panas api neraka.
Namun untuk kedua kalinya, sebelum saya berangkat ke kampus untuk
kuliah, saya siapkan seuntai kain yang berjahit menjadi bulat (sarung) dan
dimasukkan ke dalam tas bersama buku pelajaran dan juga kadang dengan pakaian
ganti untuk persiapan esok harinya. (Bersambung)Untuk keduakalinya saya tidur
di sudut kelas yang kadang terbujur di atas bangku dosen (Kepada Dosen, maaf
saya telah tidak sopan dengan tempat kekuasaan anda, itu ku lakukan karena ku
menjaga pakaian saya agar tidak kotor dan supaya saya mudah bangun). Saya
sedikit terlindung dari dinginnya angin malam dan juga gigitan kecil makhluk
Tuhan penghisap darah yang bernama nyamuk.
Catatan ini belum diedit dari aslinya yang ditulis sekitar awal 2010.
No comments:
Post a Comment