Matoro’ Oca’
Oleh Ubay KPI
Matoro’ oca’ dapat diartikan menitipkan perkataan. Kalimat
ini dalam konteks umum bisa dimaksudkan sebuah titipan. Misalnya menitipkan
sebuah pesan kepada seseorang melalui perantara orang lain. Persamaan dari
kalimat ini ialah nyabe’ oca’.Menurut buku Manusia Madura yang ditulis Mien
Ahmad Rifai pada bab Tatan Kekeluargaan, sub bab Perkawinan Dua Insan pada halaman
89 memiliki arti menempatkan kata.
Merujuk pada pengertian itu, catatan ini akan mengarah pada
soal perkawinan. Khususnya dalam etika orang Madura dan pengalaman saya
sendiri.
Matoro’ oca’ atau nyabe’ oca’ merupakan salah satu rentetan
dalam proses perkawinan di masyarakat Madura. Merujuk pada buku Mien Ahmad
Rifai, nyabe’ oca’ merupakan langkah kelima dalam proses pencarian jodoh.
Pertama adalah nyelaber (menyebarluaskan) atau ngin-nganginaghi
(mengangin-anginkan), kedua nyareng bhekal binih (menyaring calon istri),
ketiga narabhes jhalen (menerbas jalan), keempat nangghuk (menepuk). Baru yang
kelima matoro’ oca’.
Dari beberapa langkah di atas tentu anda sangat menemukan
perbedaan yang sangat dengan apa yang terjadi saat ini, khususnya di lingkungan
Madura sendiri. Betapa sangat menemukan proses yang panjang bila menganut
budaya asli di atas. Akan tetapi, bukanlah hal itu suatu yang sulit dapat
dilakukan saat ini. Sebab beberapa
langkah di atas barangkali pembaca menemukan pada sosok seseorang yang mencari
cinta.
Mungkin anda akan sepaham dengan saya, yang terjadi saat ini
dalam mencari jodoh, umumnya hanya melewati empat langkah saja sampai pada akad
nikah. Khususnya mereka yang mencari jodoh sendiri atau tanpa metode Siti
Nurbaya.
Pertama umumnya kawan-kawan adalah kenalan, kemudian pacaran.
Dilanjutkan dengan meminang, terus akad nikah. Bukannya demikian yang kerap
kita temui bukan?
Bahkan, matoro’ oca’ kerap ditinggalkan dan tidak dilakukan
oleh anak remaja sekarang. Tak hanya terjadi pada anak Madura, namun mungkin
juga pada etnis lain. Padahal, matoro’ oca’ adalah suatu pembuktian keberanian
atau proses. Saya katakan pembuktian bila itu dilakukan sendiri oleh si cowok.
Saya katakana keberanian, karena si cowok betul-betul memiliki I’tikad baik
terhadap keluarga, dan terbuka akan niat tulusnya dalam menjalin hubungan
pacaran dengan si cewek. Bukannya demikian kawan?
Matoro’ oca’ adalah proses prameminang. Nah, suatu ajakan
yang ingin saya kepada kawan-kawan, jika anda betul-betul memiliki niat baik
dan memiliki pandangan yang sama dengan si cewek, maka anda harus berani duduk
menghadap kepada orangtua si cewek untuk menyampaikan maksud dari hubungan yang
kalian jalin dengan si cewek. Misalnya mengatakan demikian. “Mohon maaf pak,
saya sudah beberapa bulan mengenal anak bapak, maksud saya saat ini ingin
menyampaikan kalau saya ingin menjalin hubungan yang serius,”.
Cukup itu saja, selanjutnya nanti orang tua si cewek akan
lebih banyak bicara. Saya yakin demikian karena saya sudah beberapa melakukan
hal demikian terhadap orang tua pacar saya. Gugup? Ya pasti kita gugup sebab
umumnya pacaran saat ini lebih banyak akrab dengan si cewek, sedang dengan
orang tuanya sangatlah jarang.
Hal demikian dapat dilakukan sebagai mantra dalam mengais
restu orang tua. Kenapa saya sampaikan demikian, karena bisa jadi karena
keberanian itu hati orang tua tambah terbuka dan menerima anda. Kalau orang tua
terlebih dahulu diketahui tidak merestui hubungan anda, cukup matoro’ oca’
sebagai tanda keseriusan anda. Masalah orang tua tidak merestui, itu anda bisa
pikirkan di kemudian hari. Dan bagi saya bila terjadi seperti itu, adalah
sebuah sifat gentle sebagai laki-laki. Misal tiada restu, kalau bagi saya
adalah sebuah kepuasan ketika orang tua menyampaikan kepada kita sendiri, sehingga
tak hanya mendengar dari pacar kita sendiri.
Saya ingin berbagi cerita sedikit kepada anda. Ini adalah
cerita nyata karena terjadi pada diri saya. Ketika saya pacaran sama cewek yang
kini menjadi tunangan saya. Kedekatan mungkin dianggap oleh orang tua tunangan
sebagai kawan dekat. Masih ingin menjalani masa pacaran atau bisa punya
anggapan lain. Meskipun respon kedua orang tua tunangan saya sangat baik, namun
kami sama-sama tidak berani pada awalnya untuk berkata langsung kalau kami
sedang pacaran. Yah otomatis malu. Namun sebagai laki-laki, saya harus punya
sifat terbuka juga kepada kedua orang tua. Suatu sore entah saya datang ke
rumah tunangan saya, selesai salat Magrib, saya langsung menyampaikan maksud
kedatangan saya. Pendek sekali pertama kali saya menyampaikan maksud itu. Yakni
dengan perkataan, “Bah, ada perlu pada Abah dan Umy,” hanya itu.
Kemudian Abah memanggil Umy yang ada di kamar. Langsung saya
duduk di hadapan mereka berdua dan membuka pembicaraan langsung ke tujuan.
Dengan bahasa Madura saya sampaikan kepada Abah dan Umy kalau saya ingin
menjalin hubungan yang serius dengan anaknya yang bernama Tiya. Saya sampaikan
juga bahwa saya mengenalnya sekitar tahun lebih dan bersama (pacaran) dia
sekitar lima bulan.
Itu saja, tapi apa respon dari keduanya. Cukup panjang lebar
dengan suatu nasihat dan gambaran bagaimana ke depannya. Pokok saya tak bisa
menggambarkan suasana saat itu di sini. Sebab sangat panjang, panjang. Banyak
yang mereka ucapkan. Keterbukaan, nasihat, perasaan dan sebagainya mereka
luapkan. Yang terjadi apa, malah mereka yang sepertinya punya ke-perlu-an. Saat
itu saya hanya bisa berkata ia, ia, ia, dan ia.
Cukup sekian coretan saya subuh ini. Semoga ada hikmah dan
bermanfaat bagi anda.
Ngonjed pao asambih kardus
Pao ejuwel sampe’ ke oloh
Mon andi’ hajed ngabinah senga’ jhe’ todus
Tako’ egelluin oreng pas adengngal tak meloh
Di Kamar Pondok Kelahiran
Bersamaan Fajar Subuh
Sabtu, 29 Desember 2012. Pukul 04.39