Karapan Sapi dan Sapi Sonok
Oleh Subro
Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut
perlombaan pacuan sapi
yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur.
Hiburan rakyat ini berawal dari seorang raja Sumenep yang bernama Raden
Temor bergelar Raja Socadiningrat III yang merasa simpati kepada ketekunan para
petani dalam membajak sawahnya.
Ketika Raden Temor diangkat menjadi Raja Sumenep, seluruh rakyat sangat mendukung
dengan suka cita dan sungguh-sungguh. Sang Raja kemudian berkeinginan
memakmurkan hidup dan memberi kebahagiaan kepada rakyatnya.
Untuk tujuan mulianya itu selanjutnya beliau melakukan perjalanan ke
seluruh negeri untuk melihat keadaan rakyatnya secara langsung dan sambil
memikirkan sesuatu untuk mereka.
Suatu hari mulailah Sang Raja melakukan perjalanan keliling ke segenap
penjuru Madura dengan dikawal oleh Senapati Sumenep, Banyak Tantra, dan
diiringi oleh sepasukan kecil bayangkara. Sang Raja mengendarai kereta kerajaan
yang ditarik oleh seekor kuda yang gagah.
Desa dan kota dikunjungi satu persatu. Setelah cukup jauh berjalan, dan
Raja terkagum-kagum melihat kerja keras rakyatnya yang tak kenal putus asa
dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Raja juga bertemu dengan beberapa orang
rakyatnya. Bahkan Raja juga membangun perkemahan yang letaknya di batas desa
agar bisa melihat rakyatnya lebih dekat.
Setelah beristirahat malamnya, maka pada pagi harinya Raja mengajak
Senapati kembali berjalan-jalan dengan menunggangi kuda. Dalam perjalanannya
dengan berkuda Raja tertarik ketika melihat sebagian penduduk sedang mengolah
tanahnya menggunakan bajak yang ditarik oleh sepasang sapi yang kuat. Kebetulan
ketika itu akhir musim kemarau. Tidak cukup hanya dengan melihat, Raja
tampaknya ingin naik di atas bajak yang ditarik sapi tersebut.
Ketika sedang asik berkuda sambil melihat-lihat keadaan rakyatnya, Raja
tiba-tiba melihat seekor sapi yang lepas. Sapi itu melintasinya dan berlari
dengan cepat. Dibelakangnya pemilik sapi itu mengejar dengan menunggangi kuda.
Melihat pemiliknya kesulitan menangkap sapi itu, maka Raja ikut membantu
mengejarnya dengan berkuda sampai dapat. Setelah Raja dan Senapati mencoba dan
merasakan membajak sawah, serta melihat
kecepatan sapi itu berlari, Raja kemudian berfikir betapa lambat sapi itu
berjalan dengan membawa bajak tetapi alangkah cepatnya sapi itu berlari tanpa
membawa bajak.
Raja juga berfikir betapa pekerjaan membajak itu lama-lama membosankan, dan
untuk itu para petani juga perlu hiburan.
Selanjutnya raja berfikir membuat semacam pacuan sapi dengan tidak
menyertakan mata bajak, cukup dengan memakai kleles (tempat kusir
bediri).
Awalnya Raja mencoba mengadu kecepatan dengan Senapati. Para rakyat yang
melihat pun takjub dengan permainan itu. Bahkan banyak dari mereka yang ingin
mencobanya.
Setelah dilihat banyak peminatnya, Raja kemudian mengumpulkan penduduk dan
juga para pengawal. Kemudian Raja menginstruksikan agar selain bekerja rakyat
juga harus mendapat hiburan. Maka jadilah hiburan itu, Karapan Sapi. Karapan
berasal dari kata Korab yang dalam bahasa Madura berarti pekerjaan
mengolah tanah, atau membajak tanah. Kemudian Raja juga meminta persetujuan
rakyatnya agar hiburan ini dilakukan setelah musim membajak usai. (Disarikan
dari buku: Cerita Rakyat MADURA, Asal Mula KARAPAN SAPI di Madura. Penulis,
Yuliadi Sukardi. CV Pustaka Setia Bandung. 2006).
Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu, kleles
(tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam
lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut
biasanya sekitar 100 meter
dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh sampai lima belas detik. Beberapa kota di Madura
menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus
dan September
setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober
di kota Pamekasan
untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Di Kalimantan Barat karapan sapi pernah juga diadakan walaupun tidak semeriah
di Pulau Madura.
Kerapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi
arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura
yang dinamakan saronen. Babak pertama adalah penentuan kelompok menang
dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah, sedang
babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden
hanya diberikan pada juara kelompok menang. Harga sapi yang menang kemudian
melonjak tinggi, bahkan belipat ganda tetapi pemiliknya kebanyakan enggan
menjualnya. Karena secara sosial pemilik sapi karapan akan naik status
sosialnya.
Sehari sebelum karapan sapi diadakan, biasanya juga diadakan lomba kontes sapi
sonok. Perlombaan sapi
sonok ini cukup menarik perhatian penonton. Sapi-sapi yang dilombakan
adalah sapi betina yang seluruh tubuhnya diberi hiasan atau semacam pakaian
bangsawan.
Kalau
sapi-sapi betina mampu berlenggak-lenggok atau bahkan seperti berjoget bak
permaisuri, akan diberikan skor penilaian yang tinggi. Tetapi, penilaian yang
lebih penting justru pada bagian akhir perlombaan, saat sapi-sapi tersebut
diharuskan memasuki sebuah ruangan cermin. Banyak sapi yang takut memasuki
ruangan cermin, makanya banyak yang gagal menjadi juara. Hanya sapi-sapi yang
sudah terlatihlah yang bisa memasuki ruangan cermin tersebut.
Karapan
sapi merupakan acara yang prestisius bagi masyarakat Madura, pemilik sapi karapan
akan merasa status sosialnya terangkat apabila sapinya bisa menjadi juara.
Kejuaraan dimulai dari tingkat Kecamatan dilanjutkan ke tingkat Kabupaten dan
diteruskan sampai ketingkat Karesidenan. Sistim perlombaan karapan sapi cukup
unik yaitu adanya juara kalah dan menang.
Karapan
Sapi awalnya merupakan
hiburan bagi para petani yang tekun mengolah (membajak) sawahnya, sementara Sapi
Sonok merupakan hiburan bagi para peternak sapi yang dengan gigih merawat
sapi-sapinya.
Walaupun
awalnya karapan sapi ini dilakukan seusai musim membajak, tapi saat ini
perlombaan tersebut sudah menjadi agenda wisata yang bisa dilaksanakan kapan
saja.
Karapan
Sapi merupakan kontes
ketangkasan sapi jantan, sementara Sapi Sonok merupakan kontes
kecantikan sapi betina. Pada keduanya terkandung makna yang luhur dalam menjaga
keseimbangan alam dan kehidupannya.
Penulis adalah Budayawan Madura dari Kalbar dan Ketua III (Bidang Sosial Budaya) Ikatan
Keluarga Besar Madura (IKBM) Kalbar.
No comments:
Post a Comment