Wednesday 30 March 2011

Setiawati

 Setiawati
 Oleh Ubay KPI
Sabar, ikhlas, dan terus berusaha, itulah yang ada dalam benak sosok kelahiran Pontianak, 12 Maret 1989 ini. Sosok yang begitu mudah bergaul dengan siapa yang ia jumpai.
Sifat itu ia pendam bersama dengan sebuah cita-cita demi masa depan. Rela jauh dari orang tua merantau ke negeri ‘Abang None’. Meski begitu amat terasa rindu yang ada, namun ia terus kubur rasa itu. Bukan berarti tak peduli dengan orang yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya sedari kecil, namun karena suatu hal yang nantinya sampai juga kepada sebuah persembahan kebahagian untuk kedua orang tuanya, gelar sarjana keperawatan yang ia bawa dari Sekolah Tinggi Keperawatan Istara Nusantara Jakarta. Katanya.
Lika-liku derita hidup jauh dari orang tua telah beberapa tahun ia lewati, hingga hampir tiga tahun jarang bersua dengan sanak keluarga, merasakan bingkaian tawa bersama. Akan tetapi itulah bukan sebuah arti dalam masa muda yang masih memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu.
Gadis lulusan SMAN 6 Pontianak tahun 2007 ini juga memiliki sifat pantang menyerah, baginya putus asa adalah musibah, dan mengeluh adalah sebuah awal dari kegagalan.
Lain lubuk, lain airnya, lain pula ikannya, begitulah sebuah dendang yang dilantunkan Bung Haji Rhoma Irama. Begitu juga dengan Setiawati, lain cita-cita, lain juga masalah cinta. Soal cinta, sesuai dengan namanya, Setiawati, gadis blasteran Madura-Chines ini memiliki kesetian yang amat kuat selama ia tidak dikhianati. Kenapa tidak, terbukti kala ia bersama seorang yang ia anggap akan menjalin hubungan yang serius, dan bahkan ia sangat mengharap sebab kedua orang tua masing-masing telah sama-sama mengetahui, namun apalah yang terjadi, sebuah perselingkuhan dilakukan pria yang ia amat sayang dan cintai. Oleh karenanya, ia tak tahu harus berkata apa. Dan ia harus merelakan kepergiannya untuk orang lain. Suatu sikap yang perlu menjadi teladan, suatu sikap yang jarang sekali dapat orang lakukan.
Sejak itulah ia masih trauma dengan namanya cinta. Bukan berarti ia tidak percaya dengan cinta, namun masih berpikir 100 kali untuk percaya lagi. Sejarah itu mengantarkan ia pada pelarian, ia lari sejauh-jauhnya, ia mengejar pesangon, ia mengejar sebuah baying-bayang ilusi yang ingin ia buktkikan di kemudian hari.
Pelariannya, ia berkiblat pada ilmu Allah. Berkiblat mengais kasih sayang Tuhan untuk dibawa pada gumpalan darah di rusuk sebelah kiri.
Saat ini, pelarian itu hampir berhasil. Barakallahu fiik, raih cita-citamu dengan penuh percaya diri dan keyakinan yang hakiki. (

No comments:

Post a Comment