Friday, 25 May 2012

Awas TV Langganan dan Kabel!


Idy Muzayyad

Awas TV Langganan dan Kabel!
Oleh Ubay KPI

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Idy Muzayyad memperingatkan masyarakat untuk mewaspasai peredaran TV kabel dan langganan yang marak dalam beberapa tahun terakhir. Karenya, televise tersebut dapat menangkap berbagai siaran dari luar negeri yang sudah pasti tak sesuai dengan siaran televisi Indonesia.
Hal itu disampaikan KPI Pusat pada seminar terbuka bersama mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam beberapa waktu lalu.
TV langganan dan kabel saat ini memang marak dilakukan. Namun control yang kurang kadang memjadi pemicu kelalaian konsumen serta kurangnya informasi yang disampaikan oleh kontributer atau penyedia jasa tersebut.
Siaran berbau seks dan di luar norma-norma ketimuran mewabah melalui film-film mancanegara yang bisa disaksikan kapan saja oleh masyarakat. Khwatirnya menurut Idy, siaran tersebut disaksikan oleh anak-anak yang lepas dari control orang tua.
Dijelaskan oleh Idy, TV kabel dan langganan sebenarnya harus melalui izin penyiaran, dan penyedia layanan tersebut seharusnya memutus siaran yang berbahaya terhadap generasi muda terlebih lagi anak-anak.
Seperti film barat yang banyak menampilkan peran fulgar serta adegan berbahaya seperti smack down dan lainnya.
“Memang kita susah mengontrol itu, sebab banyak penyedia yang tidak menggunakan izin alias illegal,” tutur Idy.


Wednesday, 16 May 2012

Benarkah Itu Monas?


Benarkah Itu Monas?
Oleh Ubay KPI

Seakan tak percaya, seakan dalam mimpi, seakan dalam hayalan, seakan suatu yang bukan sebenarnya. Siang itu, entah tanggal berapa, yang pasti bertepatan dengan hari Minggu. Setelah dari Dufan Ancol Jakarta pagi menjelang siang itu saya mengikuti busway. Kendaraan yang menurut orang lebih efektif dan menghemat waktu karena memiliki jalur tersendiri di Jakarta. Tujuan saya dari Ancol ingin menuju Gelora Senayan Jakarta. Entah berganti busway berapa kali perjalanan saya waktu itu. Yang kuingat hanyalah selalu bertanya tujuan Gelora Senayan kepada satpam atau kernit di setiap terminal busway untuk ganti busway. Maklum saja, ini adalah perjalanan pertama ke ibukota Indonesia. Katrok wal kampungan melekat dalam diri ini. Malu bertanya sesat di jalan, dari pada sesat lebih baik sering-sering bertanya. Malu? No way coy.
Sambil menyaksikan gedung tinggi bertingkat seperti yang saya lihat dalam sebuah sinetron di televise. Tak kulepas pandangan saya ke setiap bangunan tinggi menjulang itu melalui kaca busway, meskipun kadang sesekali saya berpaling memperhatikan penumpang lain. “Siapa tahu ada yang cantik dan mau dengan saya,” hehehe.
Dengan selembar kertas yang berlukiskan rute perjalanan busway, sembari saya simak suara rekaman nama-nama terminal busway yang selalu tersiar ketika hampir sampai ke terminal. Setiap pemberitahuan dari operator selalu saya lihat lembaran kertas itu, karena khawatir lepas dari tujuan saya, Gelora Senayan.
Lima terminal busway telah saya lewati, Pademangan, Gunung Sahari Mangga Dua, Jembatan Merah, Pasar Baru Timur, dan Budi Utomo. Sampai saya di terminal Sentral Senen. Di terminal itu saya ganti busway ikut jalur kuning di rute perjalanan yang finish di Pecenongan yang kemudian berganti busway lagi untuk menuju Gelora Senayan mengikuti jalur merah. Sontak saya berubah tujuan ketika berhenti di terminal kedua dari Sentral Senen, yakni di terminal Gambir 2. Di terminal itu saya melihat moncong emas di atas menara tinggi yang tak lain adalah mascot Indonesia (Monas). Tanpa pikir menyesal tidak sampai ke Gelora Bung Karno, kubuka kembali lembaran peta busway, tertera tinggal dua terminal lagi saya bisa sampai ke Monas. Ialah terminal Balai Kota dan Monas. Terasa ingin meloncat ketika busway berhenti di terminal Monas. Nampak jelas mascot itu ketika saya keluar busway.
Kusempat tergumam ketika berada di luar terminal. Seakan tak percaya kalau saya betul-betul ada di Jakarta. Kota yang dulu ketika saya kecil sangat saya impikan dan sangat mustahil bisa saya jejaki. Dulu saya sangat bermimpi bisa ke Monas yang berada di kota metropolitan itu. Setiap kali ada tayangan televisi memperlihatkan Monas, impian itu selalu ada. Namun bagi saya, dulu mimpi hanyalah mimpi, dan sangat mustahil bagi saya mewujudkan. Sebab saya hanyalah anak desa yang hanya kerja noreh getah dan menjual es manis keliling kampung sebelum berangkat sekolah, dan menjual kedondong ke sekolah ketika pohon kedondong di rumah telah berbuah.
Masih berada di luar kawasan Monas, saya masih terdiam berdiri. Masih kagum dan terenyak seakan mimpi. Benarkah ini Monas yang sering saya lihat di TV dulu? seakan tak percaya, namun kutelah berada di dekatnya. Ingin sekali berteriak ketika kusaksikan Monas, namun aku malu pada orang sekitar yang pada pagi menjelang siang itu sangatlah ramai karena bertepatan dengan hari Minggu.
Entah saya masuk dari arah mana ke kawasan Monas itu. Yang pasti saya masuk ke kawasan Monas melewati celah pagar besi yang terbengkas di dekat stasiun Gambir tepatnya di bawah tol rel kereta api. Nampak gagah, besar, tinggi, dan kokoh bangunan itu dalam pandangan saya. Setelah kuberada dalam kawasan Monas, baru kurasakan mimpi waktu kecil dulu terwujud. Kubetul-betul berada di Jakarta, tanah Abang dan None, tanah kota metropolitan, tanah banyak artis bertumpuk, dan politisi beradu argument. Kulangkahkan kaki menuju mascot Indonesia sembari mengeluarkan kamera dari tas murahan souvenir dari Yamaha. Terasa bangunan itu dekat, namun begitu lama saya untuk sampai ke pelatarannya.
Begitu saya dekat, kulepaskan blit kamera saya mengarah ke Monas. Beberapa foto telah ku dapat. Foto Monas hasil jepretan sendiri. Amat bangga rasanya bisa memotret monas dan memiliki koleksi gambar Monas hasil jepretan sendiri meski tak sebagus foto koleksi saya yang diunduh melalui om google.
Bangga dengan jepretan hasil karya sendiri. Saya mulai bingung sendiri di halaman Monas itu. Bingung karena saya ke Monas hanya sendiri. Sebab mengajak kawan-kawan di camp Ragunan tak ada yang mau. Kurang puas rasanya bila tidak memiliki foto berlatar belakang Monas. Bingung mau minta bantu siapa untuk memotret. Sebab orang-orang yang ada sibuk dengan refresingnya sendiri. Mataku terpandang kepada dua anak yang mengarah ke pelataran Monas. Langsung kudekati dua anak itu sambil menanyakan mau kemana. Basa-basi komunikasi dengan mereka berdua, tujuan saya tak ada lain, kecuali mereka bisa membantu saya untuk memotret. Beberapa menit komunikasi dan saya menyampaikan bahwa saya baru pertama kali sampai ke Jakarta dan asal saya dari Pontianak. Mereka berdua langsung akrab dengan saya. dan saya minta tolong untuk memotret saya.

Untuk yang di Gang Baru


Untuk yang di Gang Baru
Oleh Ubay KPI

Selamat malam Yan, moga malam ini Yani tetap semangat dalam melaksanakan aktifitas, baik kuliah, organisasi, atau lainnya.
Sebelumnya Emji mohon maaf telah menuangkan ungkapan kata ini melalui radio Primadona lewat suara Bang Aris yang memancar mengikuti angin malam ini. Yang pastinya, ungkapan ini adalah bagian dari perjalanan kita.
Emji masih ingat Yan, pertama kali kita bertemu, pertengahan tahun lalu di kegiatan Opak STAIN Pontianak, Yani sebagai peserta, dan Emji datang untuk membuat liputan kegiatan itu. Emji yakin Yani pasti masih ingat memori itu, menjelang sore di bulan Ramadan, Emji minta no mor HP Yani, dan kemudian sampai ke rumah Emji telepon Yani, begitulah seterusnya Emji dan Yani berkomunikasi yang akhirnya kita bertemu di Idukfitri tahun lalu bersama kita ke Sungai Nipah tempat Syarifah Syahara, dan di sanalah kita berdua mengikat kata, kita mulai pacaran.
Patut Emji katakan maaf pada Yani, karena selama kita menjalin hubungan seakan Emji lebih mencintai profesi kerja Emji,  sehingga Emji kadang tak sempat untuk menanyakan kabar.
Di ruangan kampus dakwah STAIN Pontianak, dua bulan yang lalu kan Yan. Kita menyatakan menyudahi hubungan kita. Sebenarnya Emji tak tega pada perasaan Yani yang pastinya masih mencintai Emji, tapi Emji tak mau menyiksa Yani menjalin hubungan tapi kenyataannya sendiri.
Jujur, Emji masih ada rasa cinta, apalagi Yani seringkali datang ke kantor menunggu Emji menyelesaikan tulisan meskipun sampai dengan pukul 10 malam. Jujur Yan, emji sebenarnya tidak tega melihat harapan Yani yang begitu amat mengharap kita kembali seperti dulu menjalin hubungan kasih. Tapi,apakah Yani sanggup dengan kesibukan Emji, apa Yani sanggup menahan diri lantaran kurang peduli Emji, dan apakah Yani sanggup untuk kecewa kembali. Yan, tolong fikirkan kembali?
Bukan maksud Emji untuk mempermainkan dan memberikan harapan kepada Yani, meskipun kita seringkali makan di kantin kampus, santai di café GOR Pangsuma, dan jalan malam meski hanya sebatas makan bakso jumbo.
Yan, Emji harap Yani mengerti dengan kebutuhan Emji saat ini, bukan berarti Emji tak mau pacaran, dan bukan berarti Emji tak mau menghargai Yani? tapi Emji khawatir kuliah Emji terganggu, dan kerja Emji juga terganggu. Yani sudah tahukan, kalau Emji kuliah dengan kemandirian, makanya, emji lebih prioritaskan kerja dan kuliah, sebab itu adalah masa depan Emji, dan mungkin kalau kita dipertemukan kembali, itu adalah masa depan kita.
Tang terakhir dari Emji, terimakasih ya Yan, dalam beberapa minggu ini sejak Emji tak pulang ke rumah di Sungai Ambawang dan tinggal nginap di kantor Jalan Purnama, Yani telah bersedia membantu Emji meski hanya sebatas mengambil baju dan melipat dalam keadaan bersih dan dikembalikan ke Emji. Semoga saja pengharapan Yani tidak sia-sia di kemudian hari. Untuk pengetahun Yani, Emji masih cinta pada Yani tapi Emji masih ingin fokus kuliah dan kerja.

Yang masih mencintaimu,
Emji 2187  


Catatan. Surat Cinta ini diikutsertakan dalam lomba menulis surat kasih sayang Rasio Primadona, Pontianak.

Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi


Bimillahirrahmanirrahim
Tak Ada Tikar, Koran pun Jadi
Oleh Ubay KPI

“Tak ada rotan, akar pun jadi” suatu ungkapan yang sering terlontar kala pilihan utama tidak ada atau selalu menjadi alternative kedua dalam kebutuhan. Dalam bagian cerita ini, ungkapan itu saya kaitkan dengan alternative kedua saya ketika saya awal-awal menjadi wartawan dan masih belajar menulis berita untuk dikirim ke Borneo Tribune dan atau Borneo Metro.  
Sebagaimana judul di atas, pepatah itu saya renovasi menjadi “Tak ada tikar, koran pun jadi.”
Seperti biasa orang kelas mengenah ke bawah, alas tidurnya ialah tikar atau orang yang berpunya, alas tidurnya menggunakan kasur atau sprim bead, saya kalau di rumah juga menggunakan alas tikar untuk tidur karena masih belum mampu untuk membeli kasur, dan karena sudah terbiasa menggunakan tikar, malah kadang susah tidur kalau berbaring di kasur empuk apalagi yang sampai bertingkat dua atau tiga.
Pada awal saya mengirim berita ke Borneo Tribune atau Borneo Metro kadang saya sampai larut malam pulang dari kantor redaksi di Jalan Purnama Dalam karena ketika awal belajar nulis berita, kadang satu judul berita memerlukan waktu satu setengah jam atau 2 jam untuk menyelesaikannya dan itu masih banyak yang dipertanyakan oleh redaktur karena tidak jelas pokok pembahasannya. Rumahku yang di Sungai Ambawang Desa Mega Timur Parit Lambau sangat jauh dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, apalagi ketika musim hujan yang otomatis jalan masuk dari Jalan 28 Oktober Pontianak sejauh 4 kilo meter pasti becek, sedangkan esok paginya harus kuliah mulai jam 07.30. Maka, untuk mendapatkan keduanya yakni bisa kuliah tidak terlambat masuk dan menulis berita tetap lancer, maka alternativnya saya memutuskan menginap di kelas KPI semester satu tempat yang sehari-hari saya dan kawan gunakan untuk proses kuliah. Di sudut kelas gedung dakwah lantai dua, dengan ber-alaskan koran yang memang sengaja dari kantor Borneo Tribune saya bujurkan tubuh hitam ini dengan tanpa beban karena telah dihantui rasa ngantuk. Pada awalnya saya tidak menggunakan kain penutup untuk selimut, sehingga ketika paginya bangun, tubuhku yang tidak terkena tutup baju dan celana tampak bentol-bentol oleh jarum suntik nyamuk-nyamuk lapar yang haus akan darah. Malam pertama terkaparku di pojok kelas sedikit menderita dan tak enak tidur oleh nyanyian sayap nyamuk yang naksir dengan darahku, karena nyamuk itu, tidurku terganggu karena harus garuk-garuk bagian yang gatal oleh sengatannya. Namun, oleh karena mata yang sudah tak mampu bertahan untuk terbelalak, meski nyamuk berkaraoke di telingaku, dan menari di tubuh mulus hitamku serta mencium bagian sensitifku yang mudah ditembus oleh jarum suntiknya untuk bertahan hidup, saya tetap tidur pulas sampai dengan jam enam pagi.
Ketika ku terbangun, selain merasakan gatal dan bagian tubuhku bengkak kecil, aku dikejutkan oleh binatang yang berasal dari jentik yang bertengger di dinding kelas dekat tempat saya membaringkan badang tadi malam. Meski tidak membentuk lukisan yang biasa dipajang di rumah-rumah, namun nyamuk yang bertengger di sekitar tidurku sangat banyak sekali, perkiraanku nyamuk itu berjumlah lebih dari seratus dengan perut yang berisi tanda kekenyangan. Dalam benakku, ini pasti mengisap darah saya, karena tak ada lagi manusia yang ada di ruangan tersebut malam itu. Meski ia bertengger dengan perut yang berat dan dihasilkan dari badanku, namun saya enggan menggilasnya untuk wafat sampai hari kiamat, hatiku hanya berkata pada nyamuk-nyamuk kenyang itu bahwa darahku yang telah ia hisap anggaplah sebagai shadaqahku yang nanti akan aku tagih di hari kiamat untuk meringankanku dari panas api neraka.
Namun untuk kedua kalinya, sebelum saya berangkat ke kampus untuk kuliah, saya siapkan seuntai kain yang berjahit menjadi bulat (sarung) dan dimasukkan ke dalam tas bersama buku pelajaran dan juga kadang dengan pakaian ganti untuk persiapan esok harinya. (Bersambung)Untuk keduakalinya saya tidur di sudut kelas yang kadang terbujur di atas bangku dosen (Kepada Dosen, maaf saya telah tidak sopan dengan tempat kekuasaan anda, itu ku lakukan karena ku menjaga pakaian saya agar tidak kotor dan supaya saya mudah bangun). Saya sedikit terlindung dari dinginnya angin malam dan juga gigitan kecil makhluk Tuhan penghisap darah yang bernama nyamuk.

Apes Melulu


Apes Melulu
Oleh Ubay KPI

Ini kisah terjadi ketika saya memulai sesuatu yang menurut saya awal atau embrio dari profesiku saat ini. Dua kisah yang amat saya senangi dan ikhlas melaksanakan dan menerima meski ada kekesalan sedikit dalam diri.
Pertama terjadi pada awal tahun 2009 atau di awal Januari, saya pertama kali memutuskan kerja sebagai pengecer Koran di perempatan Jalan Gusti Situt Mahmud-Sultan Hamid 1-28 Oktober-Selat Panjang Pontianak Utara. Di situ pertama kali saya memampangkan muka di depan khalayak ramai, anggap saja perempatan itu adalah media bagi saya sebab di situ saya banyak dikenal orang terutama pengguna jalan khususnya pelanggan koran.
Di hari pertama saya mengecer koran, saya tempatkan motor saya pas di sudut jalan atau tikungan dari arah Siantan ke Jalan 28 Oktober. Di situ saya parkir motor. Alasan saya parkir di situ agar mudah dipantau khawatir dipinjam orang tanpa izin alias dicuri. Pagi itu juga sekitar pukul setengah tujuh, ada polisi lalu lintas yang bertugas, saya tetap saja menikmati profesi baruku menawarkan Koran kepada pengguna jalan ketika lampu lintas menstruasi atau berwarna merah. Sekitar pukul setengah delapan saya dikagetkan dengn motor saya yang sudah tidak ada di tempat semula. Bergegas saya tengok dan ternyata motor dipindahkan polisi ke depan ruko yang tak jauh dari persimpangan. Setelah saya ketahui motor KTM butut saya tetap utuh  dengan tonggak penahannya, saya lanjutkan kembali menjual Koran. Awalnya tidak ada curiga motor saya akan diseret oleh polisi dan firasat saya mungkin agar tidak mengganggu pengguna jalan. Namun saya sontak kaget ketika saya hendak pulang kala itu Koran saya banyak belum laku terjual karena panas saya memutuskan untuk pulang yang masalah Koran sisa biar diretur pada agen. Kagetnya bukan main, motor saya hanya meninggalkan bekas tonggaknya, raib tanpa kabar.
Persaannku motor hilang, motor hilang. Kemudian saya tanya pada paman yang kerja becak di perempatan itu juga, namun paman juga tidak tahu dan tak melihat siapa yang membawanya. Dan bahkan paman seolah-olah menyalahkan saya karena tidak memarkir motor di warung dekat keponakan saya yang berdempetan dengan pangkal ojek juga tepatnya di sudut Jalan Selat Pangjang-Sultan Hamid I. “kenapa tidak dititipkan di warung sana, kan banyak orang di warung, lagian di sana juga banyak keluargamu ,“ kata paman sambil meembantu mencari motor saya.
Saya kala itu tidak menitipkan motor di warung keponakan saya itu karena saya merasa malu sebab sebagai penjual koran. Mau ketemu saja rasanya malu apalagi sampai mau nitip motor dengan alasan mau jualan Koran.
Apes memang apes! Setealh sekitar setengah saya cari di sekitar tempat motor atau di depan ruko itu, kemudian paman meminta saya mengecek ke kantor Polsek Utara yang jaraknya sekitar 300 meter dari simpang itu, dengan jalan kaki sambil menjinjing Koran saya ke Polsek, dan melihat motor saya yang berwarna krim ternyata sudah ada disana bergabung dengan motor yang terjaring razia. Melihat motorku masih ada saya sedikit tenang meskipun saya sudah yakin harus berurusan dengan polisi. Bingungnya kala itu, motor saya blong banget bukan hanya remnya, namun surat-suratnya juga tidak ada, jangankan STNK, BPKB-pun saya tak pegang. STNK motor saya tinggal di daerah Sungai Kunyit dekat Sungai Duri Bengkayang di sebuah kios bensin ketika saya kehabisan bensin habis pulang dari Sungai Duri’ dan tak sempat ambil selama dua bulan sehingga STNK itu setelah mau diambil sudah tidak ada. Sedangkan BPKB-nya saya gadaikan ke agen counter pulsa elektrik di daerah Siantan ketika saya butuh modal untuk berjualan pulsa, yang akhirnya bisnis kecilan itu bangkrut dan gulung tikar dengan modalnya dan tak sempat tebus BPKB.
Di kantor polisi saya tanyakan baik-baik kepada anggota yang ada di situ, kenapa motor saya dibawa tanpa izin? Salah satu polisi bertanya mana motornya? Saya tunjuk motor saya. Saya sempat bersitegang dengan polisi kala itu yang berjumlah tiga orang, saya selalu menyudutkan polisi dengan alasan membawa tanpa izin, tapi yang namanya polisi pasti tak mau kalah dengan begitu saja karena seragamnya. Setelah saya sudutkan terus kemudian ada mimic wajah polisi itu marah dan membentak saya. Namun saya tetap saja melawan dengan dalih kalau saya kena razia tak mungkin kunci motor itu masih ada dengan saya.
Setelah polisi itu tahu kalau kuncinya masih dengan saya, kemudian marahnya sedikit berkurang namun tetap saja mempertahankan dirinya benar. Karena polisi tak ada alasan lagi dan saya memang yang benar polisi membawa motor saya tanpa izin, kemudian polisi meminta surat-surat motor saya, dengan blak-blakan saya bilang tak ada suratnya, “STNK saya hilang, dan BPKB saya gadaikan dan belum diambil, serta kaca spion memang saya tidak pasanga,” kata saya kepada polisi.
Akhirnya, motor saya tidak bisa dibawa sebelum surat-surat khususnya BPKB-nya ada. Dengan itu saya pulang dengan jalan kaki ke Gang Blitar I tempat sepupu yang saya jadikan tempat menginap di Siantan. Selam tujuh hari atau satu minggu motor saya di Polsek karena saya belum bisa menebus BPKB saya. Setelah hari ke delapan, saya baru bisa tebus BPKB, dan meminta tolong anggota polisi yang kebetulan kenal dengan sepupu saya untuk mengeluarkan dengan membawa BPKB, tujuannya agar saya tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk sopui anggota polisi.
Akhirnya sore harinya bisa keluar motor saya, kepada polisi temannnya sepupu yang membantu saya, saya kasikan uang, namun ia tidak mau dan bilang suruh beli rokok Dji Sam Soe saja satu bungkus untuk penjaga malam, saya belikan rokok dan saya kasikan ke satpam, begitu juga saya paksa polisi temannya sepupu itu untuk menerima namun tetap tidak mau. Akhirnya saya isikan ia pulsa sepuluh ribu sebagai ucap terima kasih. Selama motor saya berdomisili di Polsek, selama tujuh hari saya minjam motor kawan untuk mengambil Koran subuh hari ke Plamboyan. Setelah itu kemudian saya pakai motor saya lagi. Apes ya apes bener berjualan Koran yang kali pertama.
Apes juga saya rasakan ketika pertama kali saya belajar meliput berita waktu itu saya belum wartawan namun mulai suka dengan profesi sebagai wartawan sehingga saya belajar meliput meski belum tahu bagaimana cara menulis berita.
Pada waktu itu saya meliput partai final futsal piala KORPRI yang diadakan di lapangan futsal Andaria Jalan 28 Oktober. Kejuaraan antar pegawai kala itu juara pertama diraih tim Soedarso yang mengalahkan tim PU di final.
Waktu itu saya lupa bulan apa, namun yang pasti akhir tahun 2009. Waktu liputan saya tinggalkan helm GM saya di kursi penonton, dan setelah saya pindah helm yang saya simpan awalnya di dekat saya itu ketingggalan karena saya lupa karena mau menyaksikan pertandingan dari tempat yang bagus yakni sebelah tepi barat lapangan, sedangkan awalnya saya duduk di sebelah tepi utara lapangan.
Saya lupa benar dengan helm itu, dan baru saya ingat ketika saya hendak pulang, setelah dilihat ke tempat semula raib tanpa bekas, kala itu memang masih ngetrennya helm GM dan tidak boleh simpan disembarang tempat sebab rawan pencurian. Kala itu juga masih belum ada helm KYT yang lebih negtren setelah beberap bulan GM laris.
Apes lagi, apes lagi. Namun meski helm saya hilang, saya tidak terlalu memikirkan dan saya mengikhlaskan betul kehilangan itu. Seakan tiada nyesal atau berat. Dan saya meniatkan dalam hati helm itu saya sedekahkan pada orang yang mengambil. Entah kenapa kala itu saya ingat pada pelajaran Alquran Hadis ketika aliyah, pernah saya mendengarkan penjelasan dari bapak guru amat besar orang mengikhlaskan dengan menganggap menjadikan sedekah apabila kehilangan sesuatu. Dan bahkan kala itu saya yakin, dan sangat yakin bahwa Allah akan memberi yang lebih kepada ketimbang jumlah helm saya yang hilang. Apes ya tetap apes.
Sampai di rumah, setelah ibu tahu helm saya hilang beliau sedikti ngomel, “nyimpan gimana, tidak hati-hati, bukan murah harga helmnya,” begitulah omelan itu kala itu. Namun saya tetap saja diam dan lebih mengikhlaskan.
Syukurnya, meski sampai kehilangan helm, berita olahraga itu yang saya kirim pada bang Yus (Redaktur Borneo Metro) diterbitkan. Saya tahu karena beliau mengirim SMS kepada saya pada seok paginya. Setelah saya beli Koran dan ada nama Ubay KPI sebagai penulis, saya sangat merasa bangga karena telah punya karya yang dibaca banyak orang meskipun itu kala pertama nama saya tercantum di media massa. Terharu, bangga, dan sangat senang. Sampai-sampai tulisan itu saya kasi tahukan kepada kawan-kawan sekelas waktu itu masih semester pertama. Saking senengnya sampai saya kliping dan foto kopi berita itu dan saya tempelkan di madding dakwah di kantor Jurusan Dakwah STAIN Pontianak.
Keyakinan saya bahwa Allah akan memberi lebih dari nilai kehilangan helm saya ternyata betul. Sat ini bukan hanya mampu untuk kembali membeli helm GM atau KYT, namun sekarang sudah mampu kredit note book, belii kamera, biaya kuliah sendiri, dan bantu biaya sekolah keponakan. Alhamdulillah, ternyata musibah itu datang hanya sebagai ujian atau cobaan. Dan saya berharap kebahagian yang saya terima saat ini bukanlah suatu suapan dari Allah.
Al Yakiinu la yuzaku bissyak “Keyakinan yang kuat tidak bisa dihapus oleh keraguan”  alhadis aukama qol.

6 Bulan Mengecer Koran


Bismillahirrahmanirrahim
6 Bulan Mengecer Koran
Oleh Ubay KPI

Sebelumnya saya ingin mengingat kembali masa-masa sebelum saya memutuskan untuk menjadi pengecer koran. 4 tahun lamanya saya hidup tanpa kepastian, dalam artian kadang saya hidup dengan hasil keringat sendiri, dan kadang saya hidup dengan hasil keringat saya sendiri. Dalam empat tahun, satu tahun setelah saya lulus dari Madrasah Aliyah di sebuah sekolah baru di desa yang berada di perbatasan antara Kota Pontianak dan Kubu Raya, di Parit Na’im Desa Mega Timur Kecamatan Sungai Ambawang. Yang mana saya merupakan siswa pertama bersama 8 kawanku yang terdiri dari 4 cowo’ dan 4 cewe’, usai lulus Madrasah Aliyah, satu tahun saya masih berada di penjara suci (pondok pesantren) Sayyidul Qura dengan pengasuh KH. Mubarok dan Pengasuh Harian Ustadz Musyauwir HM.
Di pesantren itu, selama satu tahun dari tiga tahun sebelumnya saya belajar agama dengan sambil membantu mendidik adik-adik belajar Alquran juga ilmu agama. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk keluar meskipun, dalam keluarnya saya dari pesantren itu sangat tidak terhormat, namun dalam hal ini saya tidak ingin menceritakan di sini sebab terlalu rahasia masalah ini bagi saya. Yang jelas masalahnya bukan hal negatif.
Setelah saya memutuskan untuk keluar dari pesantren yang memberikan aku tahu akan ilmu agama, bahkan saya sampai sedikit bisa membaca kitab kuning (klasik). Aktifitasku kadang di kampung dan kadang di luar. Waktu itu  aku berusaha untuk mandiri, namun aku belum bisa. Aku seringkali menadahkan uang kepada orangtuaku untuk kebutuhan sehari-hariku, meski kadang aku malu untuk terus-terusan seperti itu. Aku mencoba untuk merubah takdir Tuhan dengan sambil menoreh getah di kebun milik orangtuaku yang tak jauh dari rumah. Dari hasil menoreh itu kadang aku punya uang yang dihasilkan dari keringatku dan sedikit meringankan beban orang tuaku.
Tabiatku yang susah sekali kala itu aku rubah yakni aku sering kali bosan dengan apa yang saya perbuat terutama dalam bekerja. Kumelakoni kerja sebagai penoreh hanya sekitar 5 bulan setelah itu aku tinggalkan kebun bapak dan menganggur kembali. Saat itu, aku mulai kesusahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Karena tak ada penghasilan untuk jajan, jalan-jalan dan pastinya untuk merokok juga. Keseharianku kembali bergantung kepada kedua orangtuanku yang telah lanjut usia.
Aku masih ingat bulan Ramadlan, kala itu meski kebutuhanku tidak terlalu banyak hanya untuk beli rokok dan jajan untuk buka puasa saja. Aku merasa sangat menderita karena tidak ada pemasukan tetap, kadang untuk beli rokok aku menahan malu minta kepada saudara-saudaraku sebagian pelarian karena tak tahan malu untuk meminta uang kepada orang tua. Begitulah sepanjang bulan puasa sampai hari ke 18.
Memikirkan kebutuhan Idul Fitri yang saat itu pakaianku sudah tak ada yang baru lagi, didorong keinginan untuk tidak meminta kepada ibu dan bapak guna membeli pakaian di Idul Fitri, aku mencoba mencari pekerjaan keluar. Usai salat Tarawih kucoba ke daerah terminal Siantan, kutemui seorang pemilik warung yang menjual makanan pecel lele dan nasi goreng, saat itu pakaianku masih tetap menggunakan sarung lengkap dengan kopiah. Dengan rasa sedikit malu aku temui pemilik warung itu yang namanya lupa, dan menanyakan apakah disini butuh pekerja baru? Pemilik warung itu menjawab, “Saat ini memang butuh, soalnya pekerja saya berhent karena tak betah,” jawab sang pemilik warung saat itu. Mendengar jawaban itu, aku langsung menawarkan diri untuk bekerja membantu warungnya. Pada awalnya dia enggan untuk menerima karena bulan puasa udah hampir usai, sambil berbincang panjang, akhirnya aku diterima dengan hitungan gaji satu hari 15.000 rupiah. Mulai hari ke-20 bulan Ramadlan aku bekerja. Pekerjaannya tidak berat, memasak rempah untuk pecel lele dan nasgor mulai jam tujuh pagi sampai jam 11 siang, setelah itu istirahat dan mulai bekerja lagi jam 4 sore.

Rak Jurnalistik menjadi Tujuan Utama


Rak Jurnalistik menjadi Tujuan Utama
Oleh Ubay KPI

Selasa, 11 Mei 2010 sekitar pukul 12 siang ba’da shalat Dzuhur, hari ini memang sengaja saya sempatkan untuk ke Perpustakaan kampus untuk mencari bahan tulisan tugas mata kuliah BPKI yang diampu Yusriadi sebagai tugas masuk pada hari Rabu (12/5) siang.
Sebenarnya tugas ini tidak begitu berat, hanya saja kadang saya tidak ada mau ke perpustakaan, akan tetapi kali ini sengaja memang kuluangkan waktu, seperti biasanya, setiap saya masuk ke perpustakaan pasti yang akan saya jambangi pertama kali adalah rak yang tersusun buku-buku jurnalistik yang berada di sebelah kanan tengah dari pintu masuk.
Sepertinya saya tidak terlepas dari rak itu, rak itu seperti telah menjadi satu dengan ruhku, seperti bercampurnya air dan khamar yang tak mampu dipisahkan karena memeliki dzat yang sama. Aku seperti terhipnotis oleh tumpukan buku yang memang menjadi kesukaanku sejak saya masuk di KPI Dakwah.
Di sinag itu, aku hanya melihat sebaian buku jurnalistik, baik jurnalistik media cetak dan atau elektronik, namun yang pasti sangat saya perhatikan adalah buku jurnalistik media cetak, karena buku itu sesuai dengan profesiku saat ini sebagai wartawan.
Pertama kali yang ku pegang adalah buku “Kiat menjadi Penulis Sukses”, namun saya lupa siapa yang menciptakan buku itu, aku tak terfikir untuk melihat pengarangnya padahal itu merupakan hal yang sangat penting dalam membaca dan untuk mengutip isi bukunya. Aku tertarik dengan buku itu karena saya punya angan-angan dalam waktu dekat akan merancang sebuah buku, akan tetapi, mungkin rencana ini sedikit tertunda karena ada sebuah saran yang masuk dari seorang dosen, yang mana dosen tersebut boleh dikatakan dosen kontrofersi dikalangan mahasiswa STAIN, ada yang menganggap ia otoriter, menyebelkan karena banyaknya tugas yang diberikan, dan selalu mengotak-atik kepribadian mahasiswa, namun ada sebagian mahasiswa yang sangat menyukai, dan kebanyakan mereka-mereka (mahasiswa) yang menyukai pribadi dosen itu, sukses setelah lulus kuliah. Dosen itu yakni Yusriadi sang anak hulu yang sukses dengan karya tulisnya.
Saran Yusriadi supaya saya menyelesaikan dulu tugas kuliah, baru nantinya  membuat buku.
Kurasakan, setiap kali ku berpandang dengan buku jurnalistik, ku selalu teringat dengan beliau, namun penuh pertanyaan, apakah saya mampu meniru titah tapak beliau yang telah banyak menelurkan banyak lembaran dalam jilidan buku?
Setelah ku selesai dari rak yang bersusunkan buku jurnalistik, ku mencari buku untuk tugas lainnya, yakni buku tentang ilmu komunikasi khususnya yang berisi tentang prinsip-prinsip komunikasi yang dipaparkan oleh Dedy Mulyana, namun ku tak menemukan buku itu. Di perpustakaan saya hanya sekitar 20 menit dan setelah itu saya turun kembali ke kelas KPI II dan tak lama kemudian bumi tersiram oleh air hujan.
Begitu pula ketika saya ke toko buku Gramedia Mega Mall, sudah pasti yang menjadi sasaran langkahnku yakni rak jurnalistik meskipun kadang isi buku di rak tersebut tidak terdapat buku baru, namun saya begitu sangat suka di rak itu.
Akhir-akhir ini setelah ada tugas dari Yusriadi saya memang masih belum sempat ke toko buku, hanya saja pada tanggal 2 Mei lalu, saya sempat kesana dengan Jumita sekaligus belanja beli perlengkapan mandi dan juga pada waktu itu saya juga bertemu degan pak Pimred BOM.
Selain untuk beli perlengkapan mandi, saat itu juga saya ada janji dengan seorang cewek yang bernama Puji Fatimah Azzahra salah seorang dosen honor di Universitas Muhammadiyah Pontianak Fakultas Kesehatan.
Sesampainya di Gramedia, sembari menghubungi puji, ku sambil membaca buku di rak jurnalistik sedangkan Jumita mencari buku di rak lain, buku yang ku baca berjudul Wartawan Esek-esek. Aku tak sampai satu lembar membaca buku itu, ada SMS dari Puji kalau dia berada di rak Alquran, langsung saja kutemui dia dan ngobrol sebentar serta kuperkenalkan dia dengan Jumita, tak lama kemudian kubawa dia ke rak jurnalistik, kebetulan ia juga suka dengan tulis menulis, jadi sedikit nyambung ketika membicarakan tumpukan buku yang ada di hadapan.
Di Gramedia hanya sekitar 40, saat itu aku bermaksud untuk membeli sebuah buku tentang kewartawanan yang judul bukunya saya lupa, namun itu aku urungkan karena uang yang kubawa pas-pasan, namun niatku masih tetap ingin membeli buku itu, dan niat itu tidak boleh tidak (wajib) bulan depan harus kesampaian.
Setelah meneliti satu persatu buku yang ada dan sedikit membacanya, kemudian saya bergegas pergi dengan Jumita dan juga Puji keluar Gramedia, serta meninggalkan Mega Mall.
Yang ku peroleh dari dua tempat yang saya kunjungi yakni, ku dapatkan sebuah pengalaman serta ilmu dari buku yang telah ku baca, serta yang sangat kurasakan adalah menambahkan kecintaan saya terhadap dunia jurnalistik dan memberi motivasi kepada saya untuk lebih profesional, dan punya kredebilitas yang tinggi dalam menjalani profesi sebagai kuli tinta.
Selain itu, juga angan untuk mengarang sebuah buku semakin tertanam dan serasa itu adalah sebuah kewajiban untuk pribadiku.
Terima kasih Yusriadi sang bapak jurnalistik Jurusan Dakwah, dosen yang mengerti dan sayang dengan mahasiswanya, dan sang penulis yang enggan menempelkan gelarnya di ujung dan atau di awal namanya. 
     

Wednesday, 9 May 2012

Pusat Aksesoris Pontianak-Kalbar


Nah, catatan anak desa kami ingin memberikan informasi ke kalian semua yang belum pernah atau pernah ke Pontianak namun bingun untuk mencari oleh-oleh khas Pontianak atau Kalimantan Barat.
Di sini loh tempatnya, di mana yah? di Jalan Pattimura. Atau di pertokoan Padang Ball Keboen Sajoek Pontianak. Yang biasa orang kenal dengan PSP. 
Di sana, banyak aksesoris khas Pontianak atau Kalimantan Barat. Kalian bisa memilihnya. Mulai dari kaos, batik, kain, atau manik-manik khas Kalimantan Barat. 
Tempatnya berjejer. Tak perlu jauh anda melangkah bila satu toko tak cocok dengan apa yang anda inginkan. Nah, yang sreg ke saya sendiri, adalah kawasan bebas parkirnya. Yah, di lokasi tersebut bebas parkir asal rapi. Tak ada petugas parkir di sana.
Atau alternatif lain kalau tak bisa ke pertokoan PSP, kalian bisa mencari kerajinan Kalimantan Barat di lokasi pusat kerajinan yang ada di samping Museum Kalbar di Jalan Ahmad Yani Pontianak. Apa yah namanya, aduh lupa banget. Pokok di depan rumah rakyat, Pendopo Gubernur Kalbar.
Sekian Catatan Anak Desa kali ini. Semoga bermanfaat.

Tuesday, 8 May 2012

Bunga di Taman Rumah

Bunga di Taman Rumah

Bunga-bunga ini hasil jepretan saya di halaman rumah kakak yang tak jauh dari rumah saya pada suatu sore di awal bulan Mei 2012. Waktu itu saya tak berniat untuk mengambil foto. Sebab kurang biasanya mengeluarkan kamera saat berada di rumah. Namun saya sontak kaget dengan bunga-bunga kakak yang ada di depan rumahnya, serentak dari beberapa bunga berkembang. Indah saya lihat dari teras rumah kakak. Kebetulan kamera saya masih ada di tas. Meski hari sudah mulai agak gelap saya paksa untuk mengambil foto-foto itu. Khawatir tak ada lagi kesempatan di kemudian hari.
Saya paksa memainkan diafragma dan speed serta ISO kamera untuk mendapatkan bunga tampak di waktu siang. Yah, hasilnya cuma seperti itu. Maklum saja, saya belum paham betul dengan photograpy. 
Niat saya, hanya untuk koleksi foto saja. Kawan-kawan, meski bunganya jelek atau hasil jepretannya kurang bagus. Jangan mingkem yah. Yang suka, semoga terhibur.

Narasi & Foto: Ubay KPI

Entah ini bunga apa. Saya tak hapal nama-nama bunga. Inisiatip saya mengambil gambar ini  karena masih sangat segar meski seharian bunga ini tersinar matahari. Mungkin cocok untuk cewek atau yang lagi kasmaran. Warna pink, simbol percintaan. 

Yang ini juga, saya tak tahu namanya. Bunga ini pas berada di samping bunga di atas di taman rumah kakak. Agak sedikit layu. Yang suka warna kuning, moga terhibur hatinya melihat bungan hasil jepretanku meski kurang cerah karena fokus kamera yang kurang tepat.

Nah, yang ini lagi. Saya juga tak tahu bungan apa. Sepintas bunganya kurang teratur. Tapi yang saya sukai dari bunga ini adalah putiknya yang putih hampir layu. Pencahayaan kurang cerah, maklum sudah mulai petang. 

Dari empat ini, foto ini peringkat kedua yang saya sukai. Yang pertama tentu yang paling atas sana. Tapi ini tak kalah indah lho. Kuningnya sangat cocok tak terlalu norak. 

Friday, 4 May 2012

Anak Desa Bersama Hakim Kasus Wisma Atlet Palembang


Sudharmawati Ningsih

Anak Desa Bersama Hakim Kasus Wisma Atlet Palembang
Oleh Ubay KPI

Pagi yang cerah. Begitulah yang saya rasakan saat ini. Jumat (4/5) di teras rumah. Masyarakat di desa tempat saya tinggal sibuk dengan aktifitas rutinnya. Sebagian jadi kuli bangunan yang harus berangkat sejak pukul 6.30. Sebagian pula ada rutinitas lain seperti bertani, berdagang, dan lainnya. Sangat kecil warga di sini sebagai pekerja kantor atau PNS. Yang paling besar dari status sosial masyarakat Parit Lambau, Desa Mega Timur, sekitar 7 kilo meter dari Kota Pontianak adalah penoreh getah. Maklum saja, kampung tempat saya tinggal masih sejuk dengan pepohonan getah yang hampir menutupi seluruh kawasan.
Sambil menikmati music dangdut suara Bung Haji Rhoma Irama, dan sebatang rokok pagi ini saya menikmati sajian tulisan di koran Kompas edisi 3 Mei 2012. Dengan hembusan asap rokok yang menyepul dari mulut dan sesekali sedotan kopi manis yang setia menemani pagi, saya membaca dan membuka lembaran-lembaran kertas koran itu, dan menemukan kembali berita tentang kasus korupsi wisma atlet.
Dalam catatan pagi ini, saya tak akan menjamah mengenai Nazarudin atau Angie, biarkan mereka diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan kesalahan yang dibuat sesuai buktinya. Lagian saya tidak kenal dengan mereka, saya tahu mereka karena sebatas public figure.
Sejak kasus tersebut menyeruak ke public. Kerap menjadi perhatian saya di saat persidangan adalah hakim ketua yang menangani kasus tersebut. Kalau tidak salah tulis namanya Dr. Sudharmawati Ningsih, SH. M. Hum. Meski tak kerap disorot kamera saat saya menyaksikan berita, saya kerap memutar kembali ingatan saya terhadap sosok tersebut. Siapa dan siapa, dimana dan kapan saya pernah bertemu dengan sosok hakim itu. Setelah sekian hari saya mengingat kembali sosok itu. Saya baru ingat. Satu kali saya bertemu dengan ibu itu. Yah, saat di Hotel Aston Pontianak pada acara pisah sambut beberapa jajaran fungsional di pemerintahan Kota Pontianak.
Sudhramwati Ningsih pernah menjabat sebagai Kepala Kejasaan Negeri Pontianak selama sekitar tiga tahun. Saya memang tidak kenal dekat dengan Dia, karena saya memang jarang menggunakannya sebagai narasumber. Maklum saja, khususnya di Pontianak, wartawan yang kerap beriteraksi pejabat-pejabat seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan tinggi, dan sejenisnya adalah wartawan yang memang khusus meliput criminal. Sedangkan saya, tak pernah di posisi tersebut.
Bukan maksud memberikan pencitraan kepada Sudharmawati Ningsih, namun melihat sosoknya ia termasuk orang yang berwibawa. Dalam pergaulan maupun pembicaraan. Tak mau disanjung berlebihan.
Pada kesempatan pisah sambut tahun 2011 sekitar bulan September dulu, Walikota Pontianak Sutarmidji mengatakan kepindahan Sudhamawati Ningsih tak perlu dirisaukan akan kerinduannya. Sebab Sudharmawati Ningsih menurut Sutarmidji akan sering nongol di TV. Perkataan itu memang terbukti. Kerinduan beberapa orang kenal dengannya mungkin bisa lega dengan menyaksikan di TV saat persidangan yang diliput oleh TV swasta dan nasional.
Satu hari sebelum meninggalkan Pontianak saya sempat menelpon Dia untuk melengkapi tulisanku yang akan dimuat di harian Borneo Tribune Pontianak di kolom Buah Bibir. Low profile, begitulah yang saya rasakan saat ia menyambut telepon saya. Dan bertanya apa yang bisa dia bantu.  Dia tak bertanya nama dan dari mana saya, sebab sebelum saya telepon, terlebih dahulu saya SMS dia sekaligus memberi tahu nama dan tempat saya bekerja untuk konfirmasi.
Lembut dan pasti ia menjawab setiap pertanyaan yang saya sampaikan.
Dari perkenalan itu, setiap saya menyaksikan Sudharmawati Ningsih memimpin sidang selalu berharap ia tidak terlena dengan bisikan yang dapat melunturkan hukum. Sebagai hakim yang pernah bertugas di Pontianak, pengharapan selalu ada dalam diri saya, Sudharmawati Ningsih dapat memberikan putusan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Seperti yang pernah Dia katakana kepada saya yang banyak mendapatkan ilmu saat berada di Pontianak karena berinterkasi dengan masyarakat yang multi etnis.
Yah, semoga saja Sudhamawati Ningsih tak tetap bertegang teguh pada panduan hukum dalam memutuskan suatu perkara. Terlebih lagi, kasus yang ditangani saat ini adalah kasus besar di negeri Indonesia. Kasus yang menyeret banyak personal. Bahkan sepertinya sampai ke pejabat menteri. Harapan saya pula, Dia tidak mengkhianati negeri dengan memberikan keputusan yang tak sesuai, mengamalkan ilmu dari setiap pendidikan yang Dia tempuh di pendidikan sarjana, megister, dan doctoral.
Membongkar dan menetapkan setiap orang yang terlibat dalam kasus wisma atlet Sea Games Palembang. Sudharmawati Ningsih, di tanganmu jutaan rakyat Indonesia mengharapkan dari sebagian keadilan dan ketegasan hukum.

Teras rumah, 4 Mei 2012