Benarkah Itu
Monas?
Oleh Ubay KPI
Seakan tak
percaya, seakan dalam mimpi, seakan dalam hayalan, seakan suatu yang bukan
sebenarnya. Siang itu, entah tanggal berapa, yang pasti bertepatan dengan hari
Minggu. Setelah dari Dufan Ancol Jakarta pagi menjelang siang itu saya
mengikuti busway. Kendaraan yang menurut orang lebih efektif dan menghemat
waktu karena memiliki jalur tersendiri di Jakarta. Tujuan saya dari Ancol ingin
menuju Gelora Senayan Jakarta. Entah berganti busway berapa kali perjalanan
saya waktu itu. Yang kuingat hanyalah selalu bertanya tujuan Gelora Senayan kepada
satpam atau kernit di setiap terminal busway untuk ganti busway. Maklum saja,
ini adalah perjalanan pertama ke ibukota Indonesia. Katrok wal kampungan
melekat dalam diri ini. Malu bertanya sesat di jalan, dari pada sesat lebih
baik sering-sering bertanya. Malu? No way coy.
Sambil menyaksikan
gedung tinggi bertingkat seperti yang saya lihat dalam sebuah sinetron di
televise. Tak kulepas pandangan saya ke setiap bangunan tinggi menjulang itu
melalui kaca busway, meskipun kadang sesekali saya berpaling memperhatikan
penumpang lain. “Siapa tahu ada yang cantik dan mau dengan saya,” hehehe.
Dengan
selembar kertas yang berlukiskan rute perjalanan busway, sembari saya simak
suara rekaman nama-nama terminal busway yang selalu tersiar ketika hampir
sampai ke terminal. Setiap pemberitahuan dari operator selalu saya lihat
lembaran kertas itu, karena khawatir lepas dari tujuan saya, Gelora Senayan.
Lima
terminal busway telah saya lewati, Pademangan, Gunung Sahari Mangga Dua,
Jembatan Merah, Pasar Baru Timur, dan Budi Utomo. Sampai saya di terminal Sentral
Senen. Di terminal itu saya ganti busway ikut jalur kuning di rute perjalanan
yang finish di Pecenongan yang kemudian berganti busway lagi untuk menuju
Gelora Senayan mengikuti jalur merah. Sontak saya berubah tujuan ketika
berhenti di terminal kedua dari Sentral Senen, yakni di terminal Gambir 2. Di
terminal itu saya melihat moncong emas di atas menara tinggi yang tak lain
adalah mascot Indonesia (Monas). Tanpa pikir menyesal tidak sampai ke Gelora
Bung Karno, kubuka kembali lembaran peta busway, tertera tinggal dua terminal
lagi saya bisa sampai ke Monas. Ialah terminal Balai Kota dan Monas. Terasa
ingin meloncat ketika busway berhenti di terminal Monas. Nampak jelas mascot
itu ketika saya keluar busway.
Kusempat
tergumam ketika berada di luar terminal. Seakan tak percaya kalau saya
betul-betul ada di Jakarta. Kota yang dulu ketika saya kecil sangat saya
impikan dan sangat mustahil bisa saya jejaki. Dulu saya sangat bermimpi bisa ke
Monas yang berada di kota metropolitan itu. Setiap kali ada tayangan televisi
memperlihatkan Monas, impian itu selalu ada. Namun bagi saya, dulu mimpi
hanyalah mimpi, dan sangat mustahil bagi saya mewujudkan. Sebab saya hanyalah
anak desa yang hanya kerja noreh getah dan menjual es manis keliling kampung
sebelum berangkat sekolah, dan menjual kedondong ke sekolah ketika pohon
kedondong di rumah telah berbuah.
Masih berada
di luar kawasan Monas, saya masih terdiam berdiri. Masih kagum dan terenyak
seakan mimpi. Benarkah ini Monas yang sering saya lihat di TV dulu? seakan tak
percaya, namun kutelah berada di dekatnya. Ingin sekali berteriak ketika
kusaksikan Monas, namun aku malu pada orang sekitar yang pada pagi menjelang
siang itu sangatlah ramai karena bertepatan dengan hari Minggu.
Entah saya
masuk dari arah mana ke kawasan Monas itu. Yang pasti saya masuk ke kawasan
Monas melewati celah pagar besi yang terbengkas di dekat stasiun Gambir
tepatnya di bawah tol rel kereta api. Nampak gagah, besar, tinggi, dan kokoh
bangunan itu dalam pandangan saya. Setelah kuberada dalam kawasan Monas, baru
kurasakan mimpi waktu kecil dulu terwujud. Kubetul-betul berada di Jakarta,
tanah Abang dan None, tanah kota metropolitan, tanah banyak artis bertumpuk,
dan politisi beradu argument. Kulangkahkan kaki menuju mascot Indonesia sembari
mengeluarkan kamera dari tas murahan souvenir dari Yamaha. Terasa bangunan itu
dekat, namun begitu lama saya untuk sampai ke pelatarannya.
Begitu saya
dekat, kulepaskan blit kamera saya mengarah ke Monas. Beberapa foto telah ku
dapat. Foto Monas hasil jepretan sendiri. Amat bangga rasanya bisa memotret
monas dan memiliki koleksi gambar Monas hasil jepretan sendiri meski tak
sebagus foto koleksi saya yang diunduh melalui om google.
Bangga
dengan jepretan hasil karya sendiri. Saya mulai bingung sendiri di halaman
Monas itu. Bingung karena saya ke Monas hanya sendiri. Sebab mengajak
kawan-kawan di camp Ragunan tak ada yang mau. Kurang puas rasanya bila tidak
memiliki foto berlatar belakang Monas. Bingung mau minta bantu siapa untuk
memotret. Sebab orang-orang yang ada sibuk dengan refresingnya sendiri. Mataku
terpandang kepada dua anak yang mengarah ke pelataran Monas. Langsung kudekati
dua anak itu sambil menanyakan mau kemana. Basa-basi komunikasi dengan mereka
berdua, tujuan saya tak ada lain, kecuali mereka bisa membantu saya untuk
memotret. Beberapa menit komunikasi dan saya menyampaikan bahwa saya baru
pertama kali sampai ke Jakarta dan asal saya dari Pontianak. Mereka berdua
langsung akrab dengan saya. dan saya minta tolong untuk memotret saya.
No comments:
Post a Comment