Wednesday 16 May 2012

Benarkah Itu Monas?


Benarkah Itu Monas?
Oleh Ubay KPI

Seakan tak percaya, seakan dalam mimpi, seakan dalam hayalan, seakan suatu yang bukan sebenarnya. Siang itu, entah tanggal berapa, yang pasti bertepatan dengan hari Minggu. Setelah dari Dufan Ancol Jakarta pagi menjelang siang itu saya mengikuti busway. Kendaraan yang menurut orang lebih efektif dan menghemat waktu karena memiliki jalur tersendiri di Jakarta. Tujuan saya dari Ancol ingin menuju Gelora Senayan Jakarta. Entah berganti busway berapa kali perjalanan saya waktu itu. Yang kuingat hanyalah selalu bertanya tujuan Gelora Senayan kepada satpam atau kernit di setiap terminal busway untuk ganti busway. Maklum saja, ini adalah perjalanan pertama ke ibukota Indonesia. Katrok wal kampungan melekat dalam diri ini. Malu bertanya sesat di jalan, dari pada sesat lebih baik sering-sering bertanya. Malu? No way coy.
Sambil menyaksikan gedung tinggi bertingkat seperti yang saya lihat dalam sebuah sinetron di televise. Tak kulepas pandangan saya ke setiap bangunan tinggi menjulang itu melalui kaca busway, meskipun kadang sesekali saya berpaling memperhatikan penumpang lain. “Siapa tahu ada yang cantik dan mau dengan saya,” hehehe.
Dengan selembar kertas yang berlukiskan rute perjalanan busway, sembari saya simak suara rekaman nama-nama terminal busway yang selalu tersiar ketika hampir sampai ke terminal. Setiap pemberitahuan dari operator selalu saya lihat lembaran kertas itu, karena khawatir lepas dari tujuan saya, Gelora Senayan.
Lima terminal busway telah saya lewati, Pademangan, Gunung Sahari Mangga Dua, Jembatan Merah, Pasar Baru Timur, dan Budi Utomo. Sampai saya di terminal Sentral Senen. Di terminal itu saya ganti busway ikut jalur kuning di rute perjalanan yang finish di Pecenongan yang kemudian berganti busway lagi untuk menuju Gelora Senayan mengikuti jalur merah. Sontak saya berubah tujuan ketika berhenti di terminal kedua dari Sentral Senen, yakni di terminal Gambir 2. Di terminal itu saya melihat moncong emas di atas menara tinggi yang tak lain adalah mascot Indonesia (Monas). Tanpa pikir menyesal tidak sampai ke Gelora Bung Karno, kubuka kembali lembaran peta busway, tertera tinggal dua terminal lagi saya bisa sampai ke Monas. Ialah terminal Balai Kota dan Monas. Terasa ingin meloncat ketika busway berhenti di terminal Monas. Nampak jelas mascot itu ketika saya keluar busway.
Kusempat tergumam ketika berada di luar terminal. Seakan tak percaya kalau saya betul-betul ada di Jakarta. Kota yang dulu ketika saya kecil sangat saya impikan dan sangat mustahil bisa saya jejaki. Dulu saya sangat bermimpi bisa ke Monas yang berada di kota metropolitan itu. Setiap kali ada tayangan televisi memperlihatkan Monas, impian itu selalu ada. Namun bagi saya, dulu mimpi hanyalah mimpi, dan sangat mustahil bagi saya mewujudkan. Sebab saya hanyalah anak desa yang hanya kerja noreh getah dan menjual es manis keliling kampung sebelum berangkat sekolah, dan menjual kedondong ke sekolah ketika pohon kedondong di rumah telah berbuah.
Masih berada di luar kawasan Monas, saya masih terdiam berdiri. Masih kagum dan terenyak seakan mimpi. Benarkah ini Monas yang sering saya lihat di TV dulu? seakan tak percaya, namun kutelah berada di dekatnya. Ingin sekali berteriak ketika kusaksikan Monas, namun aku malu pada orang sekitar yang pada pagi menjelang siang itu sangatlah ramai karena bertepatan dengan hari Minggu.
Entah saya masuk dari arah mana ke kawasan Monas itu. Yang pasti saya masuk ke kawasan Monas melewati celah pagar besi yang terbengkas di dekat stasiun Gambir tepatnya di bawah tol rel kereta api. Nampak gagah, besar, tinggi, dan kokoh bangunan itu dalam pandangan saya. Setelah kuberada dalam kawasan Monas, baru kurasakan mimpi waktu kecil dulu terwujud. Kubetul-betul berada di Jakarta, tanah Abang dan None, tanah kota metropolitan, tanah banyak artis bertumpuk, dan politisi beradu argument. Kulangkahkan kaki menuju mascot Indonesia sembari mengeluarkan kamera dari tas murahan souvenir dari Yamaha. Terasa bangunan itu dekat, namun begitu lama saya untuk sampai ke pelatarannya.
Begitu saya dekat, kulepaskan blit kamera saya mengarah ke Monas. Beberapa foto telah ku dapat. Foto Monas hasil jepretan sendiri. Amat bangga rasanya bisa memotret monas dan memiliki koleksi gambar Monas hasil jepretan sendiri meski tak sebagus foto koleksi saya yang diunduh melalui om google.
Bangga dengan jepretan hasil karya sendiri. Saya mulai bingung sendiri di halaman Monas itu. Bingung karena saya ke Monas hanya sendiri. Sebab mengajak kawan-kawan di camp Ragunan tak ada yang mau. Kurang puas rasanya bila tidak memiliki foto berlatar belakang Monas. Bingung mau minta bantu siapa untuk memotret. Sebab orang-orang yang ada sibuk dengan refresingnya sendiri. Mataku terpandang kepada dua anak yang mengarah ke pelataran Monas. Langsung kudekati dua anak itu sambil menanyakan mau kemana. Basa-basi komunikasi dengan mereka berdua, tujuan saya tak ada lain, kecuali mereka bisa membantu saya untuk memotret. Beberapa menit komunikasi dan saya menyampaikan bahwa saya baru pertama kali sampai ke Jakarta dan asal saya dari Pontianak. Mereka berdua langsung akrab dengan saya. dan saya minta tolong untuk memotret saya.

No comments:

Post a Comment