Wednesday 16 May 2012

6 Bulan Mengecer Koran


Bismillahirrahmanirrahim
6 Bulan Mengecer Koran
Oleh Ubay KPI

Sebelumnya saya ingin mengingat kembali masa-masa sebelum saya memutuskan untuk menjadi pengecer koran. 4 tahun lamanya saya hidup tanpa kepastian, dalam artian kadang saya hidup dengan hasil keringat sendiri, dan kadang saya hidup dengan hasil keringat saya sendiri. Dalam empat tahun, satu tahun setelah saya lulus dari Madrasah Aliyah di sebuah sekolah baru di desa yang berada di perbatasan antara Kota Pontianak dan Kubu Raya, di Parit Na’im Desa Mega Timur Kecamatan Sungai Ambawang. Yang mana saya merupakan siswa pertama bersama 8 kawanku yang terdiri dari 4 cowo’ dan 4 cewe’, usai lulus Madrasah Aliyah, satu tahun saya masih berada di penjara suci (pondok pesantren) Sayyidul Qura dengan pengasuh KH. Mubarok dan Pengasuh Harian Ustadz Musyauwir HM.
Di pesantren itu, selama satu tahun dari tiga tahun sebelumnya saya belajar agama dengan sambil membantu mendidik adik-adik belajar Alquran juga ilmu agama. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk keluar meskipun, dalam keluarnya saya dari pesantren itu sangat tidak terhormat, namun dalam hal ini saya tidak ingin menceritakan di sini sebab terlalu rahasia masalah ini bagi saya. Yang jelas masalahnya bukan hal negatif.
Setelah saya memutuskan untuk keluar dari pesantren yang memberikan aku tahu akan ilmu agama, bahkan saya sampai sedikit bisa membaca kitab kuning (klasik). Aktifitasku kadang di kampung dan kadang di luar. Waktu itu  aku berusaha untuk mandiri, namun aku belum bisa. Aku seringkali menadahkan uang kepada orangtuaku untuk kebutuhan sehari-hariku, meski kadang aku malu untuk terus-terusan seperti itu. Aku mencoba untuk merubah takdir Tuhan dengan sambil menoreh getah di kebun milik orangtuaku yang tak jauh dari rumah. Dari hasil menoreh itu kadang aku punya uang yang dihasilkan dari keringatku dan sedikit meringankan beban orang tuaku.
Tabiatku yang susah sekali kala itu aku rubah yakni aku sering kali bosan dengan apa yang saya perbuat terutama dalam bekerja. Kumelakoni kerja sebagai penoreh hanya sekitar 5 bulan setelah itu aku tinggalkan kebun bapak dan menganggur kembali. Saat itu, aku mulai kesusahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Karena tak ada penghasilan untuk jajan, jalan-jalan dan pastinya untuk merokok juga. Keseharianku kembali bergantung kepada kedua orangtuanku yang telah lanjut usia.
Aku masih ingat bulan Ramadlan, kala itu meski kebutuhanku tidak terlalu banyak hanya untuk beli rokok dan jajan untuk buka puasa saja. Aku merasa sangat menderita karena tidak ada pemasukan tetap, kadang untuk beli rokok aku menahan malu minta kepada saudara-saudaraku sebagian pelarian karena tak tahan malu untuk meminta uang kepada orang tua. Begitulah sepanjang bulan puasa sampai hari ke 18.
Memikirkan kebutuhan Idul Fitri yang saat itu pakaianku sudah tak ada yang baru lagi, didorong keinginan untuk tidak meminta kepada ibu dan bapak guna membeli pakaian di Idul Fitri, aku mencoba mencari pekerjaan keluar. Usai salat Tarawih kucoba ke daerah terminal Siantan, kutemui seorang pemilik warung yang menjual makanan pecel lele dan nasi goreng, saat itu pakaianku masih tetap menggunakan sarung lengkap dengan kopiah. Dengan rasa sedikit malu aku temui pemilik warung itu yang namanya lupa, dan menanyakan apakah disini butuh pekerja baru? Pemilik warung itu menjawab, “Saat ini memang butuh, soalnya pekerja saya berhent karena tak betah,” jawab sang pemilik warung saat itu. Mendengar jawaban itu, aku langsung menawarkan diri untuk bekerja membantu warungnya. Pada awalnya dia enggan untuk menerima karena bulan puasa udah hampir usai, sambil berbincang panjang, akhirnya aku diterima dengan hitungan gaji satu hari 15.000 rupiah. Mulai hari ke-20 bulan Ramadlan aku bekerja. Pekerjaannya tidak berat, memasak rempah untuk pecel lele dan nasgor mulai jam tujuh pagi sampai jam 11 siang, setelah itu istirahat dan mulai bekerja lagi jam 4 sore.

No comments:

Post a Comment