Bismillahirrahmanirrahim
6 Bulan Mengecer Koran
Oleh Ubay KPI
Sebelumnya saya ingin mengingat
kembali masa-masa sebelum saya memutuskan untuk menjadi pengecer koran. 4 tahun
lamanya saya hidup tanpa kepastian, dalam artian kadang saya hidup dengan hasil
keringat sendiri, dan kadang saya hidup dengan hasil keringat saya sendiri.
Dalam empat tahun, satu tahun setelah saya lulus dari Madrasah Aliyah di sebuah
sekolah baru di desa yang berada di perbatasan antara Kota Pontianak dan Kubu
Raya, di Parit Na’im Desa Mega Timur Kecamatan Sungai Ambawang. Yang mana saya
merupakan siswa pertama bersama 8 kawanku yang terdiri dari 4 cowo’ dan 4
cewe’, usai lulus Madrasah Aliyah, satu tahun saya masih berada di penjara suci
(pondok pesantren) Sayyidul Qura dengan pengasuh KH. Mubarok dan Pengasuh
Harian Ustadz Musyauwir HM.
Di pesantren itu, selama satu tahun
dari tiga tahun sebelumnya saya belajar agama dengan sambil membantu mendidik
adik-adik belajar Alquran juga ilmu agama. Sampai akhirnya saya memutuskan
untuk keluar meskipun, dalam keluarnya saya dari pesantren itu sangat tidak
terhormat, namun dalam hal ini saya tidak ingin menceritakan di sini sebab
terlalu rahasia masalah ini bagi saya. Yang jelas masalahnya bukan hal negatif.
Setelah saya memutuskan untuk keluar
dari pesantren yang memberikan aku tahu akan ilmu agama, bahkan saya sampai
sedikit bisa membaca kitab kuning (klasik). Aktifitasku kadang di kampung dan
kadang di luar. Waktu itu aku berusaha
untuk mandiri, namun aku belum bisa. Aku seringkali menadahkan uang kepada
orangtuaku untuk kebutuhan sehari-hariku, meski kadang aku malu untuk
terus-terusan seperti itu. Aku mencoba untuk merubah takdir Tuhan dengan sambil
menoreh getah di kebun milik orangtuaku yang tak jauh dari rumah. Dari hasil
menoreh itu kadang aku punya uang yang dihasilkan dari keringatku dan sedikit
meringankan beban orang tuaku.
Tabiatku yang susah sekali kala itu
aku rubah yakni aku sering kali bosan dengan apa yang saya perbuat terutama
dalam bekerja. Kumelakoni kerja sebagai penoreh hanya sekitar 5 bulan setelah
itu aku tinggalkan kebun bapak dan menganggur kembali. Saat itu, aku mulai
kesusahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Karena tak ada penghasilan
untuk jajan, jalan-jalan dan pastinya untuk merokok juga. Keseharianku kembali bergantung
kepada kedua orangtuanku yang telah lanjut usia.
Aku masih ingat bulan Ramadlan, kala
itu meski kebutuhanku tidak terlalu banyak hanya untuk beli rokok dan jajan
untuk buka puasa saja. Aku merasa sangat menderita karena tidak ada pemasukan
tetap, kadang untuk beli rokok aku menahan malu minta kepada saudara-saudaraku
sebagian pelarian karena tak tahan malu untuk meminta uang kepada orang tua.
Begitulah sepanjang bulan puasa sampai hari ke 18.
Memikirkan kebutuhan Idul Fitri yang
saat itu pakaianku sudah tak ada yang baru lagi, didorong keinginan untuk tidak
meminta kepada ibu dan bapak guna membeli pakaian di Idul Fitri, aku mencoba mencari
pekerjaan keluar. Usai salat Tarawih kucoba ke daerah terminal Siantan, kutemui
seorang pemilik warung yang menjual makanan pecel lele dan nasi goreng, saat
itu pakaianku masih tetap menggunakan sarung lengkap dengan kopiah. Dengan rasa
sedikit malu aku temui pemilik warung itu yang namanya lupa, dan menanyakan
apakah disini butuh pekerja baru? Pemilik warung itu menjawab, “Saat ini memang
butuh, soalnya pekerja saya berhent karena tak betah,” jawab sang pemilik
warung saat itu. Mendengar jawaban itu, aku langsung menawarkan diri untuk
bekerja membantu warungnya. Pada awalnya dia enggan untuk menerima karena bulan
puasa udah hampir usai, sambil berbincang panjang, akhirnya aku diterima dengan
hitungan gaji satu hari 15.000 rupiah. Mulai hari ke-20 bulan Ramadlan aku
bekerja. Pekerjaannya tidak berat, memasak rempah untuk pecel lele dan nasgor
mulai jam tujuh pagi sampai jam 11 siang, setelah itu istirahat dan mulai
bekerja lagi jam 4 sore.
No comments:
Post a Comment