Berkubang di pantai Pasir Panjang, Singkawang. Dari kiri, Jumita, Mahmudah, dan Ubay KPI (memegang kayu). Di belakang, pasangan suami istri, Supriadi dan Ayu. @Mahmud Alfikri |
Mbutakkan Pak Tua
Oleh Ubay KPI
Ada
bpak2 udh uban pngen duduk dpling dkt kaca bus.
Llu naik si anak
muda ke bus itu.
Kursi pling smping
sblm'y msh ad pnumpang, stlh trun tuh pnumpang, bpk yg uban itu lgsung geser ke
tepi. Tp si anak muda blg, "pak boleh sy d stu".
Bpak uban jwb,
"kan byran'y sm".
Si muda ngmong lg,
"sy suka mabuk pak".
Tk ad jwbn, si bpk
yg uban lgsung pndh.
Apelah sbnr'y,
trnyta si anak muda tuh tk prnh mbuk naik bus. Alsan die jak pngen hmpasan udra
dri luar bus.
"cerita Ubay
dalam bus"
Dua paragraph itulah yang saya tulis pada
dinding facebook-ku saat berada di bus tujuan Singkawang-Pontianak, Minggu
(3/6) sore lalu. Status itu tak ada yang mengomentari, hanya ada empat teman di
jejaring sosial facebook-ku yakni Nabila Caiank Edo', Jumita Kpi, Shasa Iliana, dan Novie Susandt Nindita Syahara. Me-like
status itu.
Tulisan memang nampak
tak dimengerti, maklum saja saya bergelut tawa dalam hati seraya merasa
bersalah karena telah membohongi si Pak Tua itu.
Saya naik ke bus dari
arah Kabupaten Sambas. Saat saya naik, bus itu memang telah terisi penuh. Namun
si kernet bus tetap memintaku naik sebab aka nada 3 penumpang yang akan turun
tak jauh dari lokasi tempatku menunggu bus. Betul sekali, sekitar 15 menit,
tiga penumpang turun. Dan tiga kursi di paling belakang itu kosong hanya ada Pak Tua itu. Sebelumnya Pak Tua
yang saya “mbutakkan” itu duduk di kursi kedua dari jendela.
Semenjak saya naik ke
bus itu, sasaran saya memang kursi paling tepi, sebab bisa melihat dengan
leluasa pemandangan di luar dari dalam bus. Melihat laut yang jauh dari sungai
raya. Dan melihat gunung-gunung, serta abrasi yang sedang dikerjakan di bibir
laut.
15 menit saya berdiri di
bus itu saya sempatkan menulis berita untuk dikirim ke redaktur si kantor
Borneo Tribune. Saya menulis berita pada jejaring FB-ku agar mudah ditarik oleh
redaktur dari kantor. Maklum saja, HP yang saya gunakan bisa membuka email. Satu-satunya
untuk tetap mengisi halaman Koran menulis di dinding FB itu.
Sebelumnya, FB-ku sudah
saya setting untuk setiap status yang saya tulis. Yakni hanya akun FB redaktur
saya, Aulia Marti yang bisa membaca status itu. Jadi tak akan ada yang tahu
tentang berita yang tulis di dinding FB itu.
Satu berita hampir
selesai, sekitar menyisakan satu alenia. Lalu tiga penumpang itu turun. Saya mendapat
kesempatan untuk duduk. Tapi apa dikata, seperti pada ceritaku di atas, si Pak
Tua itu ternyata pengen juga duduk di samping. Tapi dengan muka yang bisa
dipercaya, saya katakan sama Pak Tua itu, kalau saya mudah mabuk. Dengan tak
ada niko-niko Pak Tua itu mempersilahkan saya lewat di depannya.
Tak ada lain saya meminta
duduk paling dekat jendela bus selain ingin menikmati desiran angin dan
pemandangan. Padahal, tak ada cerita pada saya mabuk saat naik bus.
Bus terus berlanjut, dan
saya melanjutkan beritaku yang menyisakan satu alenia. Setelah selesai, saya
tetap mengaktifkan FB-ku sambil kirim dna balas pesan dengan kawanku, dan
komentar di status rekan-rekanku.
Sepanjang perjalanan,
tak ada rasa jemu. asyik dan seru meski duduk berhimpitan. Perjalanan Singkawang-Pontianak
ditempuh dalam waktu 3 jam. Sempat saya tidur saat perjalanan. Bahkan, saya
tidak tahu saat Pak Tua itu turun dari bus. Tujuan Pak Tua itu memang lebih
dulu dari saya, yakni di Jungkat. Sebelum Kota Pontianak.
Sekitar jam 7 malam, bus
sudah masuk Kota Pontianak. di persimpangan lampu merah Siantan, tempat saya
dulu mengecer Koran, saya meminta kernet berhenti. Huuppppz, saya sampai
Pontianak. dan selanjutnya mengambil motor bututku di parkiran ojek dekat
perempatan itu. Tancpa gas ke kawasan Budi Utomo menemui rekan di sebuah warung
internet.
Jam sepuluh malam, saya
pulang ke rumah dan tanpa mandi terlebih dahulu, saya langsung menemani bapak
yang telah dua hari saya tak melihatnya.
Catatan:
Mbuttakkan dapat diartikan membohongi
No comments:
Post a Comment