Pemilik Sapi Karapan: Gubernur Jatim Ingkar Janji
Penulis : Kontributor Pamekasan, Taufiqurrahman
Selasa, 17 September 2013 | 19:50 WIB
PAMEKASAN, KOMPAS.com -
Pemilik sapi karapan empat kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan
dan Sumenep) yang tergabung dalam Jet Matic Foundation (JMF) --sebuah
organisasi yang bergerak di bidang kebudayaan karapan sapi-- menilai, Gubernur
Jawa Timur, Soekarwo ingkar janji untuk menggelar karapan sapi dengan
kekerasan.
Amirusi, Sekretaris Jenderal JMF kepada Kompas.com, Selasa (17/9/2013) mengatakan, Gubernur Jawa Timur pada tanggal 4 September 2012 lalu, mengundang seluruh pemilik sapi karapan se-Madura untuk merumuskan karapan sapi Piala Presiden tanpa kekerasan. Pertemuan itu disepakati membentuk tim kecil untuk merumuskan sistem baru dalam karapan sapi. Selain itu, tim kecil itu diberikan waktu tiga sampai lima tahun untuk merumuskan sistem karapan yang baru, sekaligus menosialisasikan kepada masyarakat.
"Tiba-tiba tahun ini Soekarwo menyampaikan bahwa pelaksanaan karapan sapi Piala Presiden tanpa kekerasan. Itu keputusan yang menyalahi kesepakatan antara Soekarwo sendiri dengan para pemilik sapi karapan," kata Amirusi.
Dia mengatakan, mandat yang diberikan kepada tim kecil itu sampai saat ini masih sedang dirumuskan. Sebab, kata Amirusi, tidak mudah mengubah sistem kebudayaan yang sudah lama melekat di masyarakat. Maka dibutuhkan waktu sambil sosialisasi.
"Ini seakan-akan ada konspirasi untuk menghapus kebudayaan karapan sapi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Padahal pemilik sapi karapan tidak antikekerasan dalam karapan. Namun kriteria kekerasan itu yang harus dibicarakan secara arif dari semua pihak yang berkepentingan," tandasnya.
Pemilik sapi karapan sendiri tidak mau berselisih pendapat dengan Majelis Ulama Indonesia yang sudah mengeluarkan fatwa haram soal kekerasan dalam karapan sapi. Menurutnya, pemilik sapi karapan memiliki kriteria sendiri tentang kekerasan. Sapi dilukai saat dikarap itu untuk menegaskan keberingasan dan kejantanan sapi di arena pacuan. Namun setelah dikarap, secepat mungkin sapi diobati dan dirawat dengan harga yang mahal.
"Pemilik sapi karapan itu sangat mencintai sapi, bahkan melebihi istrinya. Sampai saat ini belum ada sejarahnya sapi mati karena dikarap. Jadi jangan sepihak mengartikan kekerasan," ungkapnya.
Jadi, Amirusi menekankan bahwa tahun ini sistem kekerasan dalam karapan sapi harus tetap digelar. Apalagi di semua Kabupaten, seleksinya sudah hampir selesai dan tinggal menunggu waktu penentuan juara di masing-masing kabupaten sebelum dilombakan dalam Piala Presiden.
Amirusi, Sekretaris Jenderal JMF kepada Kompas.com, Selasa (17/9/2013) mengatakan, Gubernur Jawa Timur pada tanggal 4 September 2012 lalu, mengundang seluruh pemilik sapi karapan se-Madura untuk merumuskan karapan sapi Piala Presiden tanpa kekerasan. Pertemuan itu disepakati membentuk tim kecil untuk merumuskan sistem baru dalam karapan sapi. Selain itu, tim kecil itu diberikan waktu tiga sampai lima tahun untuk merumuskan sistem karapan yang baru, sekaligus menosialisasikan kepada masyarakat.
"Tiba-tiba tahun ini Soekarwo menyampaikan bahwa pelaksanaan karapan sapi Piala Presiden tanpa kekerasan. Itu keputusan yang menyalahi kesepakatan antara Soekarwo sendiri dengan para pemilik sapi karapan," kata Amirusi.
Dia mengatakan, mandat yang diberikan kepada tim kecil itu sampai saat ini masih sedang dirumuskan. Sebab, kata Amirusi, tidak mudah mengubah sistem kebudayaan yang sudah lama melekat di masyarakat. Maka dibutuhkan waktu sambil sosialisasi.
"Ini seakan-akan ada konspirasi untuk menghapus kebudayaan karapan sapi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Padahal pemilik sapi karapan tidak antikekerasan dalam karapan. Namun kriteria kekerasan itu yang harus dibicarakan secara arif dari semua pihak yang berkepentingan," tandasnya.
Pemilik sapi karapan sendiri tidak mau berselisih pendapat dengan Majelis Ulama Indonesia yang sudah mengeluarkan fatwa haram soal kekerasan dalam karapan sapi. Menurutnya, pemilik sapi karapan memiliki kriteria sendiri tentang kekerasan. Sapi dilukai saat dikarap itu untuk menegaskan keberingasan dan kejantanan sapi di arena pacuan. Namun setelah dikarap, secepat mungkin sapi diobati dan dirawat dengan harga yang mahal.
"Pemilik sapi karapan itu sangat mencintai sapi, bahkan melebihi istrinya. Sampai saat ini belum ada sejarahnya sapi mati karena dikarap. Jadi jangan sepihak mengartikan kekerasan," ungkapnya.
Jadi, Amirusi menekankan bahwa tahun ini sistem kekerasan dalam karapan sapi harus tetap digelar. Apalagi di semua Kabupaten, seleksinya sudah hampir selesai dan tinggal menunggu waktu penentuan juara di masing-masing kabupaten sebelum dilombakan dalam Piala Presiden.
No comments:
Post a Comment