Friday, 28 February 2014

Weisha, Malam Pertama di Ruang Nifas

Weisha, Malam Pertama di Ruang Nifas

Catatan Papa untuk Weisha

Koleksi foto ini diambil papa saat Weisha baru saja lahir. Dari ruangan bidan, dipindah ke ruangan nifas di RS Bhayangkara.

Sunday, 23 February 2014

Weisha Kecil Pandai Jijik



Weisha sama Mama kompak tidur. Papa begadang. Heheheh

Weisha Kecil Pandai Jijik

Catatan Papa untuk Weisha

Sejak malam pertama di rumah sakit RS Anton Soedjarwo (Bhayangkara), Weisha kerap merengek bila bedongnya sudah basah oleh air kencing. Kakinya diangkat, dan tangannya tak pandai diam. Awalnya, Papa, Mama, dan Mbah yang menjaga mengira haus mau nyusu, eh ternyata bukan.
Bila kaki sudah sering gerak, dan tangan kesana kemari, serta mata kadang pejam dan terbuka. Itu tandanya, Weisha udah buang air. Weisha tak bisa tidur kalau bedongnya sudah basah. Kecil-kecil sudah pandai jijik sampai tak bisa tidur. Apalagi sampai buang air besar. Pasti Weisha tak bisa tidur.

Asupan Minum Ibu Menyusui Pengaruhi Kondisi Anak



Weisha Zahira berusia 10 hari, baru nyenyak tidur. FOTO: Papa



















Asupan Minum Ibu Menyusui Pengaruhi Kondisi Anak

Catatan Papa untuk Weisha

Tepat malam ke sepuluh, tepatnya Sabtu,22 Februari 2014 malam. Sekitar lepas tengah malam, Weisha muntah. Kejadian tersebut amat mengejutkan saya dan mamanya. Sebab siangnya kesehatan Weisha baik-baik saja. Pasca muntah yang agak banyak tersebut, Weisha jadi susah tidur. Kalau pun tidur, cepat terbangun.

Friday, 21 February 2014

Panggul Sempit Sebabkan Operasi



Panggul Sempit Sebabkan Operasi

Catatan Buah Hati

Tak hanya operasi yang menjadi kekhawatiran saya. Namun, soal suburnya kandungan turut menjadi kekhawatiran sejak awal.
Pada awalnya, saya khawatir. Mamanya Weisha tak bisa memberikan buah hati bagi papa. Sebab, sejak masih gadis, mama mengalami kelainan dalam haid. Terutama, tidak teraturnya darah haid setiap bulannya. Karena alasan itulah, kadang saya khawatir istri tidak bisa memberikan kebahagian di tengah kami.
Namun kekhawatiran itu sirna, setelah enam minggu pernikahan. Melalui tes sederhana menggunakan air kencing, ternyata mama positif hamil. Informasi itu disampaikan mama ke papa dari klinik, saat itu papa sedang berada di kamar bersiap-siap untuk salat Jumat.
Satu kekhawatiran hilang. Mama mengandung Weisha. Kekhawatiran lain, yakni soal persalinan. Papa sejak awal pula khawatir, mama tidak bisa bersalin dengan normal. Nah, kekhawatiran ini ternyata benar. Weisha lahir harus dengan operasi. Weisha tak bisa tercipta ke dunia melalui proses normal. Meskipun proses persalinan sudah melewati setengah jalan, yakni sudah bukaan ke tujuh dalam istilah persalinan.
Namun, untuk Weisha. Papa dan Mama terus kuat. Mama berusaha dapat melakukan dengan normal. Namun upaya tersebut gagal. Menurut dokter, panggul sempit menjadi alaan. Sehingga Weisha harus lahir dengan operasi.
Weisha sayang, ingatlah perjuangan mama dalam proses persalinan. Papa berharap, Weisha tidak menyakiti hati mama. I Love You sayang. Selamat datang di tengah antara Mama dan Papa.

Di Teras Rumah
Rabu, 19 Februari 2014

Weisha Zahira Nufus Semali



Foto saat Weisha usia 4 hari

Weisha Zahira Nufus Semali

Catatan Papa untuk Weisha

Tidak ada satu pun nama yang papa dan mama siapkan untuk Weisha saat masih dalam kandungan. Begitu pula saat Weisha lahir. Bukan Papa dan Mama tidak siap menerima Weisha, namun Papa dan Mama telah niat ingin member nama pada hari ke tujuh setelah kelahiran Weisha, bersamaan dengan akikah Weisha.
Namun, rencana tersebut harus dibatalkan. Lantaran Papa harus segera mengurus kepindahan Papa ke Kota Pontianak dari Kubu Raya. Sebab, setelah menikah dengan mama, pada 15 Mei 2013 lalu, sampai Zahira lahir, papa belum sempat membuat surat pindah dan KK, meskipun papa dan mama tinggal di Kota Pontianak.
Pagi-pagi sekali, usai salat Shubuh. Papa ke rumah Pak De Abdurahman di Gang Rintis. Pertama membicarakan soal acara akikah, kedua sekaligus meminta nama untuk Weisha.
Ada dua pilihan yang diberikan Pak De Abdurahman kepada Papa. Pertama Zahrotul ‘Ayisyah. Kedua Shofiyatun Nufus. Namun, kedua nama tersebut tidak satu pun Papa dan Mama pilih. Sebab ada kesamaan dengan sepupu Zahira. Zahrotul adalah nama Jayo, anak Paman Madan. Sedangkan Shofiyatun, nama sepupu Zahira  anaknya pak de Alm. Yusman.
Itulah alasan kenapa mama dan papa mencari nama lain. Namun, Mama dan Papa setuju dengan kata “Nufus”. Akhirnya, papa dan mama berembuk mengganti kata “Shofiyatun” menjadi “Zahira”.
Kata asalnya adalah “Zahirah” yang bermakna “Berkilau”. Jadilah “Zahiratun Nufus” yang bermakna Jiwa yang berkilau. Menjadi Zahira Nufus karena telah di Indonesiakan.
Dua kata lain yang mengapit nama asli Zahira. Pertama adalah “Weisha”. Kata ini merupakan gabungan dari tiga nama.
We, asal huruf “W” yang dituliskan dengan “E”. Artinya huruf pertama nama Mbah Ummi, yakni “Wati”
“I” setelah “We” salah satu huruf nama Mama, “Sett(i)yawati”. Dengan harapan Weisha menjadi anak yang setia.
“Sha” adalah nama depan Mbah Abah, “Shaleh”.
Sedangkan kata Semali di akhir nama Zahira, adalah nama Almarhum Kakek Weisha dari Papa. Kakek bukan hanya tak bisa melihat, membelai, menggendong, dan mengajak main Weisha. Namun, kakek juga tak pernah melihat Mama. Papa dan Mama menikah setelah Kakek tiada. Jadi, pernikahan papa dan mama tanpa didampingi dan disaksikan kakek. Satu pesan papa, sempatkanlah mengirimkan doa untuk kakek, juga mama dan papa bila suatu saat nanti kami telah tiada.

Di Teras Rumah
Sambil Begadang Jagain Weisha
Rabu, 19 Februari 2014. Pukul 22.57 

Mbah Abah dan Mbah Ummi Turut Gelisah




Mbah Abah dan Mbah Ummi Turut Gelisah

Catatan untuk Weisha Zafira Nufus Semali

Weisha sayang. Saat mama Weisha mengalami pendarahan sedikit rumah, siapa yang papa telepon pertama kali? Ialah Mbah Abah. Papa memberitahu kalau mama Weisha sedang sakit perut dan harus dibawa ke rumah sakit.
Mbah Abah dengan cepat dari rumah Gang Bersama ke istana kita untuk melihat kondisi mama. Sekaligus membawa kunci mobil persiapan membawa mama melakukan persalinan Zafira ke rumah sakit. Sesampainya di rumah, Mbah Abah langsung memanaskan mobil dan menunggu Abah Ummi.
Kamis, 13 Februari, sekitaran jam 12 siang, Mama langsung dibawa ke RS Bhayangkara. Masuk ke ruangan persalinan sekitar jam satu siang. Dengan sekuat tenaga mama berusaha dapat melahirkan Weisha. Lafadz istighfar, lafadz Allah kerap terdengar dari mulut mama seiring dengan rasa sakit yang mama rasa.
Badan penuh keringat, rambut sudah acak-acakan. Tenaga mama cukup terkuras dalam berjuang. Namun mama tak patah semangat. Demi Weisha mama berjuang sekuat raga. Dari samping, Papa menemani mama member semangat dan mendorong bahwa mama bisa, mama kuat dalam melewati persalinan.
Papa dan Mbah Ummi bergantian menemani mama saat proses persalina normal yang gagal. Nampak sekali raut wajah Mbah Ummi yang gelisah dan cemas, namun wajah Mbah Ummi tersirat, ia akan terwujud menimang Weisha. Sedangkan Mbah Abah, menunggu di luar ruangan. Kadangkala, Papa juga ajak  Mbah Abah masuk ke ruangan untuk memberi semangat kepada Mama yang tengah berjuang dengan Weisha.
Mbah Abah, selain menemani Mama, juga bolak balik pulang ke rumah mengambil perlengkapan dan sarat kepada seorang ustadz. Sampai sore, Mbah Abah empat kali mondar-mandir rumah sakit ke rumah. sedangkan Mbah Ummi tetap berada di rumah sakit untuk menemani mama bergantian dengan papa.
Jam 2 siang, belum ada tanda-tanda proses persalinan normal akan berhasil. Mbah Abah dan Mbah Ummi bergantian salat Dzuhur, kemudian papa meninggalkan mama ketika Mbah sudah selesai salat.
Jam 3, belum ada tanda-tanda. Hanya air ketuban yang pecah. Darah terus mengalir, mama terus berjuang mengatur nafas dan mencoba mengeluarkan Weisha. Namun selalu gagal. Sampai pukul 4 sore. Belum ada perubahan. Kondisi mama sudah mulai menurun. Mama tak lagi kuat seperti saat awal. Bahkan, sempat keluar ucapan “saya tak sanggup” dari mulut mama. Namun Papa yang menemani terus member semangat di samping mama, kalau “Mama Kuat dan Bisa”.
Jam setengah 5 sore. Mbah Abah dan Mbah Ummi pulang untuk ambil air doa. Tak lama berselang saat Mbah pulang, dokter kandungan datang. Setelah memeriksa kondisi mama dan keberadaan Weisha, dokter menyimpulkan, Zafira tidak bisa lahir secara normal. Sehingga harus operasi.
Setelah bicara dengan mama, terkait keadaan tersebut. Mama setuju untuk operasi. Papa langsung menuju ruang bidan untuk menandatangani surat pernyataan operasi, termasuk sharing biaya. Tanpa memberitahu lebih dulu kepada Mbah Abah dan Mbah Ummi, Papa tanda tangani surat persetujuan operasi. Sekitar jam 5 sore, mama di bawa ke ruang bedah. Baru kemudian Papa member tahu Mbah yang sedang perjalanan kembali ke rumah sakit. Sesampainya Mbah di rumah sakit yang hanya bisa menunggu di luar, Papa bergegas ke musolah untuk salat Ashar.
Sekembali ke rumah sakit, Mbah berada di kursi tanpa banyak kata-kata. Abah dan Ummi cemas, namun selalu berharap operasi berhasil dengan baik. Tak lama berselang sekembali papa dari musolah, adzan Maghrib, bersamaan dengan adzan Maghrib itu, seorang perawat memanggil Papa. “Keluarga Ibu Settiyawati”. Kata perawat.
Papa bergegas masuk dan mendapatkan Weisha telah dibedong dalam gendongan seorang dokter yang mengenakan jilbab. Alhamdulillah papa berucap.
Suara adzan Maghrib masih berkumandang di luar. Dokter yang menggendong Weisha kemudian memberikan Weisha kepada Papa. Dengan sangat rasa syukur dan bahagia, Papa adzanin Weisha di telingan kanan, dan iqomah di telingan bagian kiri Weisha. Semoga Weisha menjadi anak yang taqwa pada Allah. Menjaga kehormatan dirinya.
Setelah itu, Weisha kembali Papa serahkan kepada dokter, dan Papa keluar memberitahu Mbah Abah dan Mbah Ummi di luar. Seraya mencium tangan Mbah, papa mengucap terima kasih atas doanya Mbah. Terucap pula dari lisan Mbah, lafadz syukur.
Weisha Sayang. Jadilah anak tertua yang baik, menjaga adiknya nanti. Dan dapat mendidik adik-adik Weisha. Mampu menjadi teladan bagi adik Weisha, kawan. Dan bisa menggapai cita-cita yang tinggi.

Di Teras Rumah
Sambil Sesekali Lihatin Weisha yang Sedang Tidur di Samping Mama
Rabu, 19 Februari 204. Pukul 22.30

Adzan Maghrib Sambut Tangis Weisha



Dedek Masih Dibedong

Adzan Maghrib Sambut Tangis Weisha

Oleh Ubay KPI

Langit Pontianak masih seperti hari biasanya. Berasap dan lebih satu bulan tak ada mengguyur Kota ini. Sore itu, selepas menyelesaikan administrasi sekaligus pernyataan setuju  untuk dilakukan operasi. Saya meninggalkan istri yang tengah berada di ruang bedah. Di ruang tunggu RS Bhayangkara hanya Abah dan Umi yang menunggu. Saya ke musolah di kantor DPRD Kota Pontianak untuk menunaikan salat Ashar.
Istri dibawa ke ruang bedah sekitar jam 5 sore lantaran panggul sempit, sehingga janin yang dikandungnya tak bisa lahir dengan normal. Padahal, proses persalinan sudah sampai ke bukaan tujuh. Bersama Abah dan Umi, saya terus mendampingi selama proses persalinan, kecuali di ruang operasi.
Meski keadaan jiwa berkecamuk dengan tekanan, namun saya tetap berusaha membawa diri ini tenang. Walaupun, saya sadar keadaan istri jauh lebih tidak tenang karena proses persalinan yang sulit. Ditambah rasa sakit yang ia tahan.
Salat Dzuhur tetap saya dirikan, begitu juga Ashar. Selepas salat Ashar, saya kembali ke rumah sakit. Abah dan Umi masih berada di ruang tunggu. Saya ikut bergabung duduk sembari menunggu kabar dari dokter terkait operasi persalinan istri saya.
Langit Pontianak kian gelap sedikit demi sedikit. Lampu rumah sakit terlihat sudah mulai dihidupkan. Hilir mudik keluarga pasien sore itu cukup ramai. Tak lama berselang, adzan Maghrib pun berkumandang. Cemas, dan tak sabar ingin tahu kabar dari dokter. Begitu juga terkait hasil operasi. Lafadz adzan belum selesai dikumandangkan, seorang perawat dari pintu rumah sakit bersuara “keluarga ibu Settiyawati”.
Langsung saya berdiri dan mengikuti perawat tersebut. “ia ,” jawab saya.
Sembari menanyakan hasil operasi, perawat melangkah ke dalam dan diikuti oleh saya. “anak bapak sudah lahir,” ujarnya.
Puji sukur saya lafadzkan dalam hati. Sesampainya di ruang bedah, seorang dokter perempuan dengan kerudung dan menggunakan masker mulut menyerahkan seorang bayi yang telah dibedong. “Anaknya cewek, beratnya 2,6 kilo gram,” kata dokter tersebut.
Tanpa kata-kata yang terucap dari mulut saya. Saya langsung mengumandangkan adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir ini. Saat lafadz adzan berkumandang dari lisan saya, terdengar pula suara adzan dari pengeras masjid dan musolah di sekitaran rumah sakit. Dengan penuh rasa syukur dan khusu’. Lafad demi lafad adzan saya kumandangkan. Dua dokter yang mengantar bayi kepada saya tadi, tetap tak beranjak dari tempat semula. Mendengarkan dan menunggu sampai adzan selesai dikumandangkan.
Selepas iqomah, saya menyerahkan kembali kepada dokter dan dibawa masuk. Tak lupa, saya menanyakan kondisi mamanya yang masih di dalam. “Ibunya baik-baik saja, masih proses penjahitan,” kata dokter.
Saya meninggalkan ruang bedah, menyampaikan kalau proses operasi berjalan dengan baik dan berhasil. Langsung saya cium tangan mertua, Abah dan Umi yang ada di teras rumah sakit. “Sekelangkong Bah, Umi. Alhamdulillah”.
Setelah kabar tersebut, baru saya mengabari keluarga saya di kampong. Memberitahu kalau istri sudah melahirkan lewat operasi. SelepasMaghrib, keluarga dari istri berdatangan.  Selepas Isya’, ibu saya dari kampong datang bersama saudara datang ke rumah sakit. Kemudian kakak dan keponakan juga turut datang.
Di Ruang Tamu, Menjaga Si Kecil
Rabu, 19 Februari 2014. Pukul 03.48