Nyenyaknya Si Dedek Tidur |
12
Februari, Cuti Melahirkan
Oleh
Ubay KPI
Semenjak
usia kandungan masih usia 8 bulan, istri telah memberitahu kepada bos tempat ia
bekerja. Di usia kandungan Sembilan bulan, ia akan mengambil cuti untuk
persiapan melahirkan. Hasil USG yang dilakukan di Rumah Bersalin Jeumpa,
diperkirakan istri saya akan melahirkan pada tanggal 22 Februari.
Sebagaimana
disampaikan sejak kandungan 8 bulan, istri saya akan memilih cuti sementara
waktu di bulan dua. Tepatnya tanggal 12 Februari. Pilihan itu untuk lebih
mempersiapkan persalinan. Meskipun, dr. Ester Selawa, pemilik Klinik tempat
istri bekerja memintanya untuk menambah tiga hari, namun istri tetap berikukuh,
mengambil cuti di tanggal 12 Februari bertepatan dengan hari Rabu.
Kamisnya,
13 Februari. istri tidak masuk kerja meski telah diminta untuk masuk kerja. Ia
memilih berada dirumah untuk istirahat.
Kami
berpikir, waktu sekitar 9 hari sesuai prediksi dari dokter cukup untuk istirahat.
Namun tidak disangka, ternyata persalinan oleh Allah dipercepat pada tanggal 13
Februari, atau satu setelah terakhir kerja.
Amat
tidak diduga akan melahirkan lebih cepat, bukan masalah financial yang menjadi
persoalan. Namun lebih kepada cepatnya Allah memberikan saya kepercayaan. Dan
yang menjadi amat mengherankan, Allah memberikan kemudahan dalam persalinan.
Tanda-tanda untuk melahirkan sama sekali tidak dirasakan oleh istri. Bukan
hanya sehari sebelum melahirkan, namun
Kamis pagi. Ia hanya merasakan sakit perut yang ia kira hanya sakit
biasa.
Sakit
perut ia rasakan semenjak pagi menjelang siang. Saat itu ia tengah beres-beres
buku milik saya yang dipindah dari kamar kerja, karena kamar itu akan digunakan
keponakan saya bersama istrinya.
Lebarnya Si Dedek Nguap. Padahal Malam Pertama Sampai Ketiga Dedek Jarang Tidok Malam |
Ia merapikan
semua buku-buku, computer, dan lainnya sampai rapi. Tanpa saya ketahui juga, ia
mengangkat meja kaca yang agak berat. Sampai monitor computer ia telah
pindahkan semua yang sebelumnya berada di ruang tamu. Buku-buku semua telah
tertata rapi di rak sederhana di samping kamar menuju arah dapur.
Itu
semua ia lakukan sejak jam tiga dini hari. Saat adzan Subuh tiba, saya lihat
buku-buku hamper semua tersusun rapi, hanya tersisa sedikit saja. Ia masih
menyempatkan salat berjamaah bersama saya. Selepas salat, saya memilih tidur
karena semalaman belum ada tidur. Sedangkan ia melanjutkan berkemas yang
menyisakan computer dan tas-tas yang belum dikemas.
Saya
berpikir, apa istri saya tidak capek. Padahal pada malam Rabu malam selepas
kerja, ia masih mengajak saya ke Mega Mall untuk membeli J-Co untuk ibu di
kampong. Kemudian ba’da Isya’, saya bersama dia ke kampong mengantarkan J-CO
tersebut ke ibu, sekaligus ke rumah Kak Sum yang sedang melakukan persiapan
untuk acara satu tahunnya Alm. Ismail. Malam itu, saya sampai di rumah sekitar
jam 10 malam.
Sesampainya
di rumah, istri langsung tidur, sedang saya masih membuka konter pulsa sampai
subuh. Saya tidak tahu, jam berapa pekerjaan itu ia selesaikan. Saya
dibangunkan oleh istri sekitar jam 11.30. memberitahukan kalau ia sakit perut.
Sontak saya bangun menanyakan keadaannya. Sempat saya menanyakan apakah ia
sudah sarapan. Ternyata belum makan sama sekali sejak pagi. Pikir saya ia sakit
perut karena tidak sarapan, saya merasakan kaget, dan mencoba terus tenang.
Saya coba mengelus perutnya meski muka masih belum dicuci. Bahkan, masih sempat
mengangkat telepon dari kawan.
Saya
melihat istri masih meringis menahan sakit di bagian perutnya. Saya terus
membawa pikiran ini tenang. Sempat saya akan membelikan ia makanan siang itu.
Namun tak lama berselang, dalam keadaan masih di tempat tidur, istri menjerit
dan memberitahu saya ada sesuatu yang keluar. Saya lihat ternyata darah keluar dari kemaluannya. Istri saya
langsung menangis, mungkin tak tahan dengan rasa sakit. Saya terus bersikap
tenang memberitahu kepada mertua kondisi saat itu.
Tak lama
berselang, Abah datang dan langsung menghidupkan mobil di garasi rumah. Istri
saya turunkan dari tempat tidur, dan seseorang menyusul Ummi yang berada tak
jauh dari rumah. jam 12-an lansung tancap gas ke RS Bhayangkara di Jalan KS
Tubun.
Ada 3
orang selain Abah dan Ummi, Bibi’ Tum, Umi, dan Bibi’ Sa’idah yang menemani
istri dalam mobil. Saya memilih pakai motor sendiri, dan berangkat lebih akhir.
Jiwa saya tetap tenang saat itu, meski kondisi istri dalam keadaan akan
mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan si buah hati. Saya berganti pakaian,
dan mempersiapkan segala kemungkinan administrasi yang akan dibutuhkan. KTP,
Kartu Keluarga, kartu BPJS, kartu USG, sampai buku pink dari Puskesmas tempat
istri biasa periksa kehamilan.
Setelah
semuanya dirasa lengkap, saya berangkat menyusul istri yang lebih dulu ke rumah
sakit. Betul saja, di sana istri masih belum ditangani oleh medis. IGD RS
Bhayangkara masih menanyakan surat rujukan dari Puskesmas. Surat itu ditanyakan
lantaran prosedur BPJS memang harus melewati tempat kesehatan terdekat. Tanpa
surat rujukan, biasanya pasien tidak langsung ditangani.
Dengan
alasan yang sangat meyakinkan, saya sampaikan kepada pihak rumah sakit dan
petugas BPJS di rumah sakit tersebut bahwa istri sudah emergency, karena telah
mengeluarkan darah semenjak dari rumah. alasan tersebut kemudian diterima pihak
rumah sakit, dan istri segera dibawa ke ruang persalinan.
Di Teras Rumah Menjaga Counter Pulsa
Senin, 17 Februari 2014. Pukul 2.20
No comments:
Post a Comment