Dedek Masih Dibedong |
Adzan Maghrib Sambut Tangis Weisha
Oleh Ubay KPI
Langit Pontianak masih seperti hari biasanya. Berasap dan
lebih satu bulan tak ada mengguyur Kota ini. Sore itu, selepas menyelesaikan
administrasi sekaligus pernyataan setuju
untuk dilakukan operasi. Saya meninggalkan istri yang tengah berada di
ruang bedah. Di ruang tunggu RS Bhayangkara hanya Abah dan Umi yang menunggu.
Saya ke musolah di kantor DPRD Kota Pontianak untuk menunaikan salat Ashar.
Istri dibawa ke ruang bedah sekitar jam 5 sore lantaran
panggul sempit, sehingga janin yang dikandungnya tak bisa lahir dengan normal.
Padahal, proses persalinan sudah sampai ke bukaan tujuh. Bersama Abah dan Umi,
saya terus mendampingi selama proses persalinan, kecuali di ruang operasi.
Meski keadaan jiwa berkecamuk dengan tekanan, namun saya
tetap berusaha membawa diri ini tenang. Walaupun, saya sadar keadaan istri jauh
lebih tidak tenang karena proses persalinan yang sulit. Ditambah rasa sakit
yang ia tahan.
Salat Dzuhur tetap saya dirikan, begitu juga Ashar. Selepas
salat Ashar, saya kembali ke rumah sakit. Abah dan Umi masih berada di ruang
tunggu. Saya ikut bergabung duduk sembari menunggu kabar dari dokter terkait
operasi persalinan istri saya.
Langit Pontianak kian gelap sedikit demi sedikit. Lampu rumah
sakit terlihat sudah mulai dihidupkan. Hilir mudik keluarga pasien sore itu
cukup ramai. Tak lama berselang, adzan Maghrib pun berkumandang. Cemas, dan tak
sabar ingin tahu kabar dari dokter. Begitu juga terkait hasil operasi. Lafadz
adzan belum selesai dikumandangkan, seorang perawat dari pintu rumah sakit
bersuara “keluarga ibu Settiyawati”.
Langsung saya berdiri dan mengikuti perawat tersebut. “ia ,”
jawab saya.
Sembari menanyakan hasil operasi, perawat melangkah ke dalam
dan diikuti oleh saya. “anak bapak sudah lahir,” ujarnya.
Puji sukur saya lafadzkan dalam hati. Sesampainya di ruang
bedah, seorang dokter perempuan dengan kerudung dan menggunakan masker mulut menyerahkan
seorang bayi yang telah dibedong. “Anaknya cewek, beratnya 2,6 kilo gram,” kata
dokter tersebut.
Tanpa kata-kata yang terucap dari mulut saya. Saya langsung
mengumandangkan adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir ini. Saat
lafadz adzan berkumandang dari lisan saya, terdengar pula suara adzan dari
pengeras masjid dan musolah di sekitaran rumah sakit. Dengan penuh rasa syukur
dan khusu’. Lafad demi lafad adzan saya kumandangkan. Dua dokter yang mengantar
bayi kepada saya tadi, tetap tak beranjak dari tempat semula. Mendengarkan dan
menunggu sampai adzan selesai dikumandangkan.
Selepas iqomah, saya menyerahkan kembali kepada dokter dan
dibawa masuk. Tak lupa, saya menanyakan kondisi mamanya yang masih di dalam. “Ibunya
baik-baik saja, masih proses penjahitan,” kata dokter.
Saya meninggalkan ruang bedah, menyampaikan kalau proses
operasi berjalan dengan baik dan berhasil. Langsung saya cium tangan mertua,
Abah dan Umi yang ada di teras rumah sakit. “Sekelangkong Bah, Umi.
Alhamdulillah”.
Setelah kabar tersebut, baru saya mengabari keluarga saya di
kampong. Memberitahu kalau istri sudah melahirkan lewat operasi.
SelepasMaghrib, keluarga dari istri berdatangan. Selepas Isya’, ibu saya dari kampong datang
bersama saudara datang ke rumah sakit. Kemudian kakak dan keponakan juga turut
datang.
Di Ruang Tamu, Menjaga Si Kecil
Rabu, 19 Februari 2014. Pukul 03.48
No comments:
Post a Comment