Wednesday, 29 August 2012

Surat Buat Saudaraku (baca; MADURA)


Surat Buat Saudaraku (baca; MADURA)

Oleh UBAY KPI

Sabtu lalu, saya mengikuti diskusi kecil tentang kepenulisan, kejurnalistikan, dan kemanusian bersama rekan-rekan pemuda di Pontianak.
Diskusi tersebut menghadirkan Andreas Harsono.
Sedikit mendapat pandangan tentang sebuah hak asasi yang juga menjadi bagian dari soal kemanusian. Begitu juga dalam jurnalistik.
Dari diskusi tersebut saya membuat sebuah tulisan yang kemudian dimuat pada harian Borneo Tribune.
Minggu sorenya, saya mendapat kabar melalui televisi, ada pembakaran di Sampang Madura. Belum tahu pasti apa yang saya dengar dari kasus tersebut.
Saya mulai diselimuti pertanyaan, ada apa lagi di Madura. Maklum saja, meski saya bukan kelahiran Madura, saya ingin Pulau Garam itu tentram dan aman.
Posisi saya waktu itu sedang di warung kopi Aming, di Jalan H. Abbas, Gajah Mada, Pontianak. Saya langsung searching melalui internet mencari kasus terbaru di Sampang, Madura.
Dan, kekerasan kembali terjadi dilakukan saudara saya di Sampang. Sebuah pemukiman warga Syiah rumahnya dibakar, dan sampai ada jatuhnya 2 korban jiwa. Subhanullah pikir saya dalam hati.
Kenapa harus membakar rumah orang lain dan kenapa harus ada tumpahan darah lagi?
Saya betul-betul kecewa dengan apa yang dilakukan saudara saya di sana. Apakah pembakaran dan pembunuhan adalah jalan terakhir?
Tentu saja tidak. Rasul dalam hadits telah menganjurkan untuk bermusyawarah untuk setiap hal.
Dalam kasus tersebut saya langsung terbayang, kasus 1999 di Sambas, Kalimantan Barat. Madura diusir dari tanah Sambas secara total, dan banyak korban saudara saya di sana.
Saya berpikir, bagaimana perasaan saudara saya yang diusir tersebut. Tentu dan pasti mereka tak menerima akan perlakuan itu. Belum lagi sebagian keluarga mereka menjadi korban. Harta habis entah menjadi milik siapa.
Begitu juga dengan di Sampang. Apa yang terjadi di sana juga menghantam jiwa orang yang menjadi korban.
Merupakan sebuah penentangan terhadap hukum dan keadilan bangsa. 
Secara hak asasi, pelaku adalah tak mengenal kemanusian. Itu adalah sebuah pelanggaran besar dalam tatanan kemanusiaan.
Saya sungguh tidak berpikir, kenapa para kiyai yang menjadi pijakan utama di Pulau Garam tak mampu meredam itu semua. Atau apakah saya harus berpikiran bahwa kejadian itu dimotori oleh kiyai di daerah setempat?
Saya tahu, Syiah adalah ajaran yang "sesat" menurut NU. Dan saya tahu di Madura menyuluruh berpaham NU. 
Bicara Syiah dan NU memang bertentangan. Ajaran yang dibawa sangat jauh perbedaannya. Yah mungkin kalau saya lancang keduanya bagai pantat ayam dan langit.
Yah, ingin membasmi Syiah dari tanah Madura mungkin adalah hal positif karena Madura sangat kental akan ke-NU-annya.
Tapi saudara, apakah tak ada jalan lain selain membumihanguskan kediaman mereka dan membunuhnya?
Saya yakin, alasan kalian adalah karena anda NU, saya yakin karena anda tidak ingin anak keturunan anda terkontaminasi oleh ajaran Syiah. Saya yakin juga, apa yang anda lakukan atas suruhan beberapa orang.
Para kiyai di Sampang, jangan hanya belajat ke-NU-an, tapi belajar juga kemanusian. Jangan hanya belitkan surban tapi berpikirlah akan hak dan perasaan. Kiyai, anda adalah pondasi masyarakat Madura.
Saudara saya di Sampang, khususnya yang melakukan kekerasan. Anda semakin menorehkan luka dalam bagi saudara anda sendiri yang ada di perantauan. Masyarakat semakin akan berkeyakinan bahwa Madura itu keras.
Saudara saya yang seketurunan, bagaimana perasaan anda bila hal yang mirip menimpa anda? Bagaimana perasaan anda bila ada kerabat anda yang terbunuh?
Untuk pengetahuan saudara, saya juga tak terima bila Syiah menyebar di Madura. Tapi saya lebih tak terima atas kelakuan anda yang tak berprikemanusian. 

Penulis adalah ETNIS MADURA tinggal di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Menjabata sebagai Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Kalimantan Barat.

Di Pondok Kelahiran,
Selasa, 28 Agustus 2012, Pukul 23.36

Tuesday, 28 August 2012

"Indonesia Negara Korupsi"

"Indonesia Negara Korupsi"

Oleh UBAY KPI

Sepulang dari rumah pacar saya malam ini, Senin (27/8), saya menyempatkan mampir di warung kecil di kawasan Jalan 28 Oktober, Pontianak.
Warung itu merupakan langganan saya membeli bensin. Khususnya ketika saya pulang larut malam dari ngopi atau pulang liputan. Warung itu memang buka 24 jam setiap hari.
Sejak saya sampai, sudah lima orang bermain gaplek. Satu lagi juragan warung itu yang hanya menyaksikan.
Saya langsung membayar uang bensin yang saya isi ke motor beberapa waktu, dan memesan segelas kopi utk menemani ngobrol dengan juragan itu. Sekalian silaturahim mengingat masih nuansa Idulfitri.
Saya duduk di bangku sebelah rombongan orang main kartu itu. Saya dengar dari mereka ada yang menyuarakan lagu-lagu Jawa. Dari lima orang itu, empat orang kupingnya dijepit dengan jepitan yang biasa digunakan untuk pakaian saat menjemur.
Yang paling banyak jepitannya ialah satu orang. Ada delapan jepitan, 3 di telingan kanan dan 5 di telingan kiri.
Sambil bermain, bapak-bapak yang tanpa jepitan satu pun nyeletuk mengatakan "Indonesia Negara Korupsi".
Saya langsung kaget. Apa maksudnya dalam pikirku. Bapak itu hanya mengatakan tiga kata itu. Tak ada penjabaran setelah itu.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, entah apa juga yang mendasarinya berkata seperti itu. Apa mungkin bapak itu sering ikuti informasi baik koran atau media lainnya? Atau mungkin juga melalui obrolan banyak orang? Wallahu a'lam.
Ketidakanehan saya akan perkataan itu benar berdasar. Saya langsung mengawang pada kasus negeri ini yang berjibun dengan kasus korupsi yang hingga saat ini, Senin, 27 Agustus 2012, masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan oleh penegak hukum dan pemerintah. Baik oleh kejaksaan, mahkamah agung, pengadilan, atau KPK.
Yang saya ingat seperti kasus pengadaan Alquran di Kementerian Agama, dana PON di Riau yang masih dalam pengusutan. Kasus Century yang masih nihil, dan yang masih dalam awang-awang penyelesaiannya, kasus wisma atlet di Palembang dan Hambalang.
Itu hanya kasus yang besar, belum lagi kasus-kasus di tingkat provinsi.
Menurut pandangan saya, rakyat kecil saja tahu akan kedzoliman orang yang mendapat kepercayaan dari rakyat, apalagi mereka yang sudah pintar dan berpendidikan.
Anehnya, korupsi juga merambah hingga tingkat RT, bayangkan saja. Raskin saja masih disedot oleh segelintir Pak RT. 
Mungkin benar apa yang dikatakan kawan saya, kita akan berkicau tentang korupsi bila belum punya kesempatan untuk korupsi. Yah, hukum peluang untuk korup bisa saja terjadi dimana dan kapan saja. Mungkin juga saya, akan melakukan hal yang sama bila punya kesempatan. Tapi, naudzubillahi min dzalik.
Mungkin juga benar apa yang dikatakan rekan saya, saya membuat perbandingan dengan cerita kawan saya itu. Ia bercerita tentang ayahnya yang kerap berlaku keras pada anak.
Ia mendefinisikan, perlakuan ayahnya merupakan pendidikan (mengajarkan) pada anaknya untuk berlaku hal yang sama. Meskipun hal itu tak disampaikan secara terang-terangan.
Akan tetapi, itu adalah contoh, begitu juga dengan korupsi yang dilakukan orang pintar di negeri ini, ditiru oleh rakyat lain meski tak diajarkan.
Saya hanya mendamba, saya tak melakukan hal demikian, dan berharap orang yang memiliki jabatan untuk kepentingan rakyat tidak lagi mengulang korupsi.
Namun pertanyaannya, kapan negeri ini bebas dari kasus korupsi?
Saya tak bisa membayangkan, seperti apa kayanya negara bernama Indonesia ini bila korupsi binasa, alam dikelola oleh anak negeri dengan kejujuran, memberdayakan rakyat yang penuh potensi, mengelola keuangan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat?
Tentu pembaca akan bisa membayangkan sendiri bukan?

Catatanku di Warung Kopi
Senin, 27 Agustus 2012, Pukul 23.44

Monday, 27 August 2012

Kupas Kemanusian Bersama Andreas Harsono


Kupas Kemanusian Bersama Andreas Harsono



Mantan penerima  Nieman Fellow on Journalism di Universitas Harvard (Cambridge). USA, Andreas Harsono saat memberikan wejangan tentang kemanusian dan hak asasi bersama lebih dua puluh pemuda di Kota Pontianak yang digelar di Pondok Pesantren Al-Mujtahid, Jalan Parwasal, Pontianak, Sabtu (25/8) lalu.


Oleh UBAY KPI

Belasan pemuda yang berasal dari berbagai latar belakang dan pendidikan yang berbeda, Sabtu (25/8) pagi lalu duduk kursi di pendopo pondok pesantren Al-Mujtahid di Jalan Parwasal, Pontianak Utara. Sebagai dari mereka adalah pemuda yang baru menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, dan sebentar lagi akan mengenyam pendidikan di bangku kuliah.
Mereka berkumpul di pendopo berukuran sekitar delapan meter kali lima meter tersebut sejak pukul 09.00 pagi. Kedatangan mereka di ruang sederhana tersebut ialah untuk sharing komunikasi soal kemanusian bersama Andreas Harsono.
Andreas Harsono adalah pekerja di Human Rights Watch (New York) untuk Indonesia. sebuah lembaga yang memperhatikan tentang kemanusian.
Bersama lebih dari dua puluh pemuda, khususnya yang ada di Kota Pontianak tersebut. Andreas Harsono memberikan pemaparan tentang bagaimana kemanusian itu harus dilindungi. Termasuk dalam hal persoalan konflik yang berujung pada penindasan hak asasi manusia.
Diskusi kecil dan santai tersebut hingga akhirnya menyikap persoalan konflik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat, seperti halnya di Sambas dan daerah lainnya. Andreas Harsono juga memberikan gambaran bagaimana hak kemanusian yang dikebiri oleh sebagian orang seperti di Papua, Aceh, Madura, dan lainnya.
“Saya bukan orang yang rasis, tak memandang agama dan etnis. Tapi bila menyangkut kemanusian, saya akan berusaha membantu. Siapa pun dia, agama pun dia, dan etnis apapun dia,” ungkapnya.
Dihadapan muda-mudi tersebut sosok yang kadang disapa AHA, singkatan dari Andreas Harsono ini mengingatkan untuk tidak memandang kulit, warna, ras, dan golongan. Sebab hal itu akan menjadi taming hubungan antarsesama.
Dari salahsatu peserta yang merupakan korban konflik Sambas tahun 1999 muncul sebuah pertanyaan akan haknya yang  tertindas. Seperti tanah yang sampai dengan saat ini tak dapat kembali lagi.
Banyak persoalan lain yang muncul dalam forum diskusi sederhana tersebut. Termasuk juga soal jurnalistik. Diketahui, Andreas Harsono merupakan wartawan senior yang pernah mendapat  Nieman Fellow on Journalism di Universitas Harvard (Cambridge). Amerika Serikat.
Andreas Harsono dalam hal jurnalisme di Kalimantan Barat menegaskan tak akan mampu berbuat banyak bila SDM yang ada masih tak diberikan pendidikan yang baik.
Pasalnya, Andreas Harsono telah melihat lebih dekat bagaimana media di Kalimantan Barat mengisi kepentingan dan memberikan informasi kepada public. “Cukup lemah sekali, dan jurnalisme di Kalbar belum terasah dengan baik,” ungkapnya.

PT BPK Tak Penuhi Janji pada Warga Desa Enau

PT BPK Tak Penuhi Janji pada Warga Desa Enau


Sudah belasan tahun PT Bumi Pratama Khatulistiwa yang bergerak di perkebunan sawit beroperasi menggarap lahan warga Desa Enau, Kecamatan Kuala Mandor B yang dimasukkan ke wilayah GBU perusahaan. Namun perusahaan sampai dengan saat ini belum memberikan janji yang telah disepakati.


Oleh UBAY KPI


Ratusan hektar tanah warga Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya sejak dulu digarap oleh perusahaan tanpa sepengetahuan. Setelah diketahui oleh warga. Kedua pihak melakukan kesepakatan. Diantaranya akan memperhatikan jalan desa, sarana ibadah, dan ketenagakerjaan.
Namun, buktinya hingga saat ini hal itu hanya janji belaka dari pihak perusahaan.
Dari tanah tersebut, perusahaan hanya memberikan konpensasi kepada warga. Konpensasi diterima warga baru dua kali. Pertama hanya sekitar Rp 400 ribu dan kedua, beberapa waktu lalu diterima warga hanya Rp 1.200.000.
Tak hanya konpensasi itu yang menjadi kesepakatan kedua pihak. Namun perhatian lebih lanjut kepada warga juga menjadi kesepakatan. Sejak beberapa tahun yang lalu, jalan menuju Desa Enau dari perkebunan kelapa sawit Wilmar Group tersebut belum mendapat sentuhan. Alhasil, warga kembali berang dan berencana akan menutup kembali lahan yang dikerjakan oleh pihak PT BPK.
“Kami tunggu setelah H+7 lebaran, kalau dari perusahaan belum ada panggilan terkait I’tikad baik ini, maka kami akan menutup lahan tersebut,” kata salah satu ketua kelompok, H. Sadri saat ditemui di kediamannya di Parit Kongsi, Desa Enau, Jumat (24/8) lalu.
Menurutnya, atas nama masyarakat telah mengirim surat kepada perusahaan, namun sama sekali belum ada tanggapan.
Lahan bermasalah tersebut telah lama terjadi. Masyarakat juga telah memiliki kesepakatan bersama dengan sejumlah pejabat pemerintah seperti Camat, Kepala Desa, Bupati, dan kepolisian terkait kesepakatan tersebut, namun hingga saat ini perjanjian itu tak pernah diindahkan.
Pantauan lapangan Jumat lalu, lahan warga yang diganti konpensasi oleh perusahaan telah digarap atau dibersihkan oleh perusahaan. Meski perusahaan belum memenuhi janji-janjinya.
Berbeda dengan H. Sadri, kelompok yang diketuai H. Ali yang juga memiliki sebidang tanah yang diganti dengan konpensasi oleh perusahaan memilih diam. Kelompok ini memberikan lahan tersebut untuk digarap dengan kesepakatan. “Kami ada sekitar 300 hektar, dan sekarang sudah dibersihkan untuk ditanam ulang,” kata H. Ali.
Mugiyam, salah satu warga yang kesehariannya di lahan tersebut mengutarakan, masyarakat hanya meminta perhatian jalan untuk ditimbus dengan tanah merah agar akses semakin mudah. Juga terhadap sarana ibadah dan pendidikan. Namun semua itu tak pernah masyarakat peroleh. “Dulu ada pembersihan parit, tapi perusahaan hanya menyediakan alat, bahan bakar dan makan untuk pekerja ditanggungkan ke masyarakat,” ujarnya.

Hj. Aisyah MS, SE. MM


Hj. Aisyah MS, SE. MM

Disiplin 


“Klik”. Saya mendengar suara itu di hadapan. Adalah bunyi kunci ruang Purek II Universitas Tanjungpura yang berada di depan ruang tunggu ruangan Rektor Untan lantai II Rektorat Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Oleh UBAY KPI

Pintu itu dibuka dari dalam. Tak lama kemudian, salah seorang staf Purek II menjumpai saya dan memberitahu kalau Ibu Aisyah sudah ada di ruangannya.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 12.30. Saya masuk ke ruangan itu dan melihat ibu Aisyah berada di meja kerjanya.
Dengan wajah senyum Ibu Aisyah menyapa. Tak terlihat sekali wajah letih dari raut wajahnya. Padahal. Sejak pukul 08.00 pagi itu, Kamis (23/8) ia keliling melihat staf di seluruh rektorat Untan. Ia masuk ke setiap ruangan melihat stafnya. Maklum saja, hari itu merupakan hari pertama masuk pasca libur Idulfitri.
Ibu bernama lengkap Hj. Aisyah MS, SE. MM ini menjabat sebagai Purek II sejak akhir 2012 lalu. Meski pendidikannya masih S2, namun ia diberi kepercayaan oleh Rektor untuk melaksanakan tugas di Purek II. “Saya dipercayakan, jadi saya lakukan apa yang menjadi tugas saya. Asalkan jangan menghalangi saya untuk mengajar,” katanya.
Sejak 1980-an, Ibu Aisyah mengajar di Fakultas Ekonomi. Spesialinya ialah pendidikan di awal semester. Dari dulu hingga sekarang. Bahkan, menurut Aisyah pihak fakultas pernah menanyakan apakah masih mau mengajar di Fakultas Ekonomi.
Pertanyaan itu disampaikan pihak fakultas karena mengingat Ibu Aisyah menjabat sebagai Purek II yang pastinya sibuk dengan urusan akademik. Namun tugas ini tak membuat Aisyah menyelesaikan profesi utamanya sebagai dosen. “Saya bilang, saya masih mau ngajar. Saya mau pegang dua kelas, itu kewajiban utama saya, kalau Purek hanya pendukung,” ujarnya kepada saya.
Di Fakultas Ekonomi, Aisyah MS hanya mengajar untuk semester awal yakni pertama dan semester kedua.
Sudah menjadi kebiasaan bagi sosok ini adalah disiplin. Dalam kampus, mahasiswa tidak boleh masuk kelas mata kuliahnya walau hanya terlambat satu menit.
“Ya saya buat kesepakatan seperti itu. Begitu juga saya, kalau saya terlambat 1 menit dari waktunya, tanpa ada pemberitahuan. Maka saya sudah pasti tidak masuk. Namun biasanya saya selalu memberi tahu mahasiswa kalau saya telat dan tidak masuk,” ujarnya.
Disiplin. Itulah yang diterapkan oleh sosok satu ini terhadap mahasiswanya. Meskipun hanya disiplin masuk kuliah. Menurutnya, disiplin mempunyai peran penting dalam kehidupan dan kesuksesan. Terlebih lagi menurur Aisyah, mahasiswa semester awal harus diberi pembinaan yang maksimal. Sebab mereka baru saja selesai dari masa SMA yang penuh ueforia.
“Saya selalu tekankan kepada mahasiswa baru untuk disiplin, disiplin, disiplin. Tanpa disiplin, kita akan kurang maksimal. Akan membuat enteng suatu hal. Dan dalam konteks kuliah, bila mahasiswa diberi kelonggaran terlambat, maka itu memberi peluang untuk berbanyak alasan yang bisa jadi berbohong,” tutur Aisyah.
Perbincangan tentang kedisplinan siang itu cukup menguras waktu. Banyak penjelasan yang disampaikan ibu Aisyah. Waktu yang sudah menunjukkan jam 1 lewat memaksa kami harus mengakhiri perbincangan siang itu. Ibu Aisyah akan segera menunaikan salat Dzuhur yang kemudian katanya mau menghadap ke Rektor untuk laporan dari sidak hari pertama pasca lebaran. 

Lokasi Tugu Khatulistiwa Mulai Dibenahi


Lokasi Tugu Khatulistiwa Mulai Dibenahi
Oleh UBAY KPI

Besi beton dan pondasi di bagian bawah telah dikerjakan untuk pembangunan tribun titik kulminasi di sekitar tugu Khatulistiwa sejak tanggal 27 Juli lalu. Proyek ini merogoh anggaran hampir Rp 1 miliar. FOTO: Ubay KPI
Berapa tahun lalu, Kota Pontianak merencanakan pembenahan lokasi di sekitar tugu Khatulistiwa. Pembenahan itu mencakup fasilitas di sekitar monument tersebut. Hanya saja, pembenahan itu masih tersangkut beberapa hal, termasuk lahan yang sempit dan belum menemukan kesepakatan dengan pemilik lahan di sekitar monument tersebut.
Alhasil, pemerintah Kota Pontianak tak bisa berbuat banyak terhadap monument dunia tersebut. Namun, pada tahun 2012 ini, pembenahan dilakukan sedikit demi sedikit. Pantauan di lapangan, Minggu (26/8) kemarin, di bagian dalam lokasi, tepatnya dekat pesisir sungai Kapuas, sudah terpancang beton untuk sebuah pembangunan. Dari papan nama proyek yang ada di lokasi tersebut. Pembangunan tersebut untuk sebuah tribun.
Meski hanya sebatas besi beton yang masih tertancap. Sepertinya bangunan tersebut akan akan menghadap ke sungai dan ke arah sungai dan tugu Khatulistiwa.
Wakil Walikota Pontianak, Paryadi beberapa waktu lalu mengatakan, pembenahan sedikit demi sedikit di kawasan tugu Khatulistiwa dimulai tahun ini. Pertama akan dimulai dengan pembangunan beberapa fasilitas pendukung, seperti steger.
Papan proyek tertanggal mulai 27 Juli 2012 tersebut bertuliskan program revalitasi objek wisata dengan pekerjaan pembangunan tribun titik kulminasi tugu Khatulistiwa. Tak tanggung-tanggung, proyek yang dikerjakan oleh CV. Surya Balakosa bernilai Rp 914.990.000 dengan 90 hari kerja.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pontianak, Helfira Hamid saat dikonfirmasi via seluler, Minggu (26/8) siang kemarin belum memberikan penjelasan tentang proyek tersebut karena alasan sedang menerima tamu.
Helfira hanya mengatakan, Senin (27/8) pagi ini dirinya akan meninjau pelaksanaan proyek tersebut.
Salah satu warga Kota Pontianak, Zainal mengaku senang dengan rencana pembangunan fasilitas di sekitar tugu Khatulistiwa. Pasalnya, sementara ini pengunjung di lokasi tersebut hanya menikmati tugu yang tegak karena tak ada fasilitas lain. Sehingga berdampak kurangnya daya tarik masyarakat untuk berkunjung ke lokasi tersebut.
“Pembenahan memang harus dilakukan. Agar tidak hanya tugu saja yang ada. Dan di sekitar tak terlihat kumuh karena di sampingnya hanya ada semak,” ungkap Zainal.

Wednesday, 22 August 2012

Ramadan, Ramadhan, Apa Ramadlan?


Ramadan, Ramadhan, Apa Ramadlan?

Oleh Ubay KPI

Saya sempat bingung dengan penggunaan huruf bulan ke sembilan dalam perhitungan tahun hijriyah ini. Mana yang benar, Ramadan, Ramadhan, Apa Ramadlan?
Sepertinya tiga penulisan itu kerap dilakukan oleh banyak orang. Tapi kalau saya pribadi, selalu menggunakan kata “RAMADAN” tanpa huruf “H” atau “L”. Karena pernah suatu hari, ada dosen saya di kampus yang mengajar ilmu jurnalistik menegur tugas mahasiswanya yang menuliskan kata “RAMADAN” dengan kata “RAMADHAN”. Dosen itu menerangkan kalau dalam bahasa Indonesia, bulan ke sembilan hijriyah tersebut tidak menggunakan imbuhan “H” setelah huruf “D”.
Sembari menyodorkan sebuah kamus kecil bahasa Indonesia, dosen bernama Dr. Yusriadi, MA tersebut meminta mahasiswanya untuk memeriksa sendiri kata tersebut dalam kamus itu.
Dan betul sekali, nama bulan itu tak mendapan imbuhan huruf “H” atau “L”.
Berpedoman pada itulah, saya selalu menuliskan bulan itu dengan huruf “RAMADAN” dalam setiap tulisan saya. Tapi yang terjadi di masyarakat banyak, tidak sama dengan apa yang ada di kamus. Silahkan anda lihat dan perhatikan pada binner yang kerap terpampang dari salah satu tokoh tertentu atau organisasi dan lainnya menjelang dan saat Ramadan. Pasti anda akan banyak menemukan tulisannya seperti ini “RAMADHAN”. Mendapat tambahan huruf “H” setelah “D”.
Mungkin karena sudah terlalu lumrah, atau memang punya rujukan lain. Saya juga kurang tahu.
Seperti kita ketahui, Ramadan adalah bahasa Arab yang di-Indonesiakan. Tapi kalau demikian kenapa dalam kamus besar bahasa Indonesia malah tak menggunakan tambahan huruf “H”? Padahal KBBI merupakan rujukan kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Terus, kalau memang mau menggunakan bahasa Arab kenapa ditambah huruf “H” bukan huruf “L”? padahal “DA” dalam kata “RAMADAN” adalah menggunakan huruf "ض  " . Dalam ejaan Arab huruf tersebut bila di-Indonesiakan ialah “DLA”. Menggunakan huruf “L” bukan “H”. Contohnya, Nahdlatul Ulama. Nama organisasi tersebut dalam tulisan latinnya menggunakan “L” setelah “D”.
 Tapi saya kembali dibingungkan dengan temuan saya beberapa waktu lalu. Pada sebuah koran nasional yang dikenal sangat jeli sekali dengan hal tata bahasa. Dalam sebuah edisi Sabtu, 18 Agustus 2012. Koran tersebut memuat beberapa tulisan “RAMADAN” dengan cetakan “RAMADHAN”. Seperti pada judul “Kompas Kilau Ramadan Bersama Agen, Loper, dan Pengecer” serta pada judul “Pasar Ramadhan di Kota Kupang”.
Saya semakin bingung dengan kata ini. Bingung sendiri mana yang benar? Saya coba searching di KBBI Online. Menuliskan kata “RAMADHAN” tak ada hasil yang ditemui. Setelah saya buang huruf “H” menjadi “RAMADAN” muncul definisi seperti ini /Ra·ma·dan/ n bulan ke-9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pd bulan ini orang Islam diwajibkan berpuasa.
Dengan hasil tersebut, saya semakin menguatkan berpatokan pada KBBI. Menuliskan bulan itu dengan tulisan “RAMADAN”.
Berikut saya sertakan lampiran berupa foto terkait apa yang saya tulis. Kepada kawan-kawan yang tidak setuju, santai saja. Ini hanya tulisan kecil sekedar ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dan juga untuk sharing. Terlebih lagi, mungkin bisa ditanggapi oleh pihak Kompas sendiri. Tentu akan semakin memuaskan sekali kepada saya.

Ramadan dalam definisi KBBI
Penulisan Ramadan pada sebuah judul tulisan di harian Kompas edisi 18 Agustus 2012 
Penulisan Ramadan pada sebuah judul tulisan di harian Kompas edisi 18 Agustus 2012
Penulisan huruf ض pada kalimat NU menggunakan huruf "L" setelah "D"


Di Pondok Kelahiran
Parit Lambau, Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
Rabu, 22 Agustus 2012, Dini Hari

Friday, 17 August 2012

Foto Tanpa Caption Bak Pontianak Tanpa Kapuas

Foto Tanpa Caption Bak Pontianak Tanpa Kapuas

Oleh UBAY KPI

Banyak sejarah terpotret dalam gambar. Kemerdekaan Indonesia juga banyak dapat dirasa kembali dengan imaji. Catatan sejarah menjadi pelengkap dari sekian banyak catatan sejarah yang penuh dengan kemunafikan kata Si Presiden Jancuker’s. Sujiwo Tejo.
Melalui foto. Kita dapat melihat bagaimana dulunya negeri ini. bagaimana wajah para pejuang kemerdekaan. Bagaimana pula pertama kali sang Bendera Merah Putih dikibarkan.
Foto adalah penghubung manusia dengan bahasa gambar. Khususnya foto jurnalistik. Dala, buku Foto Jurnalistik dalam Dimensi untuk Press, Taufan Wijaya mengutip Kenneth Kobre yang menegaskan bahwa fotojuranalistik bukan hanya melengkapi berita di sebuah edisi sebagai ilustrasi atau sebagai hiasan untuk mengisi bagian abu-abu sebuah halaman. Fotojurnalistik saat ini mewakili alat terbaik yang ada untuk melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif.
Nah, sekarang. Bagaimana bila sebuah foto tanpa sebuah catatan keterangan (caption)?
Mungkin sebagian foto bisa dapat dimengerti tanpa sebuah caption. Akan tetapi saya yakin itu tak semua terjadi pada sebuah fotojurnalistik. Taufan Wijaya menyebutkan, fotjurnalistik adalah media komunikasi yang menggabungkan elemen verbal dan visual. Verbalnya adalah sebuah caption. Sebuah foto tanpa keterangan akan kehilangan makna.
Nah, kebetulan saya berada di Pontianak. Saya menyebut tulisan ini dengan “Foto Tanpa Caption Bak Pontianak Tanpa Kapuas”.
Bagi kawan-kawan yang pernah ke Pontianak, mungkin kota yang memiliki Tugu Khatulistiwa ini tidak akan indah bila tanpa bentangan sungai terpanjang se-Asia tersebut. Yah, bagaimanapun Sungai Kapuas tidak akan lepas dari Pontianak. dan Pontianak tetap membutuhkan Sungai Kapuas. Dua komponen seperti dua sisi mata uang. Salah satunya tak bisa dipisahkan. Bahkan, ada sebuah omongan, siapa pun yang pernah minum air Kapuas maka akan sulit melupakan Pontianak. Bahkan, bisa jadi di kemudian hari ia akan sampai kembali ke tanah Khatulistiwa.
Begitulah sebuah foto akan susah dipahami bila tanpa sebuah keterangan. Anda akan tentu bertanya dengan penuh kebingungan bila melihat sebuah foto yang tanpa keterangan. Seindah apapun foto itu, akan terasa hampa bila tak ada penjelasan. Dimana lokasi itu, apa yang akan disampaikan melalui foto itu, dan apa maksud dari sebuah foto yang kita pandang?
James Nachtwey dalam buku fotografinya yang berjudul Inferno mengatakan “Sebuah foto dapat memasuki pikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa di mana makna hanya sedikit tergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat dengan pengalaman mentah”.
Nah, dari pengalaman yang saya temui. Banyak sekali fotografer pandai mengambil sebuah objek dengan baik. Mampu memadukan terang gelap sebuah objek, mampu membuat sebuah kejadian dapat berbicara melalui jepretannya. Tapi tak banyak fotografer yang mampu memadukan sebuah foto dengan kata keterangan seindah fotonya.
Pengalaman ini kerap saya temui di tempat saya bertugas. Ialah di Pontianak. Meskipun saya bukan seorang fotografer, namun catatan ini menjadi koreksi bagi sekalian fotografer pemula yang ingin membicarakan sebuah peristiwa atau kejadian dengan gambar.
Pengalaman lain kadang saya temui di dunia online. Kerap kali saya menemukan sebuah foto tanpa caption. Itu saya temukan bukan hanya di blog-blog pribadi. Namun kerap juga saya temui pada sebuah website komunitas fotogarafi nasional. Akankah komunitas itu hanya mengajarkan menjepret saja, atau memang anggotanya kurang bernaluri untuk menulis keterangan foto? Wallahuu A’alam.

Terinspirasi dari tulisan sebuah bagian dalam buku Fotojurnalistik Dalam Dimensi Untuk Press karya Taufan Wijaya.

Warung Kopi Perempatan Lampu Merah Pontianak Utara
Kamis, 17 Agustus 2012, Pukul 20.15

Thursday, 16 August 2012

Header Baru “Pantai Losari”

Header Baru “Pantai Losari”

Untuk ke sekian kalinya. Saya mengganti gambar header. Sebelumnya, header blog ini sebuah pemandangan sungai Kapuas yang berjejer dengan kapal-kapal yang turun jangkar di tengah sungai di waktu sore.
Beberapa hari lalu. Saya berinisiatif mengganti header. Sebenarnya adalah header lama yang pernah saya gunakan. Hanya saja ada sedikit perubahan di sisi kanan. Dulunya, di sudut kanan atas ada email pribadi saya. dan di bawah tulisan “Catatan Anak Desa” tertulis sebuah kalimat berbahasa Inggris.
Semua itu di rumah. Hanya menyisakan ‘Catatan Anak Desa’ dengan font seperti tinta menetes. Di bawahnya tertulis ‘Saya Bukan Keturunan Penulis, Tapi Saya Ingin Menulis’.
Nah, suatu hari saya berinisiatif merombak header tersebut dengan menambahkan bendera merah putih dan sebuah pantai kesohor di pulau Madura.
Hemat sekali alasan saya. Menambahkan bendera merah putih karena saat bersamaan menjelang peringatan Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sederhana sekali bukan?
Dan yang agak dalam dan panjang alasannya ialah pada gambar pantai Losari.
Yah, beberapa bulan yang lalu saya punya keinginan membawa ibu saya tercinta ke Madura. Karena beliau belum pernah ke Madura meskipun beliau adalah Madura tulen. Rencananya saya akan ke Madura tahun 2013.
Bersama dengan alasan itulah, selain berkunjung ke kampung ibu di Madura. Saya juga punya niat membawa ibu rekreasi ke pantai Losari. Nah begitu alasannya kawan-kawan semua.

Catatan Anak Desa di WK. Aming, Jalan H. Abbas, Setia Budi, Gajah Mada, Pontianak
Kamis, 16 Agustus 2012. 12.47

Sunday, 12 August 2012

Pantun Madura 1

Foto: suksesbagubro
Toreh Apantunan Madureh

Kadang-kadang iseng juga kalau sudah bingung mau buat status di FB. Yah larinya ngayal buat pantun Madura. Yah Cuma begini jadinya.
Untuk hiburan saja, sekaligus siapa tahu ada juga yang cari pantun Madura.
Madura the best banget sob.

Siantan roah semmak ke Tugu
mon entarah jhe' ruh kaburuh
Mon mantan senga' jhe' tonggu
Tako' kastah gun bise aruh geruh

Mole alakoh pasteh lessoh
mintah andok ngellapah pellonah
Mon sampeyan bang lakar estoh
pentah kauleh de' reng toah

Jeng lanjeng deunnah perreng
Tekko' pepadeh ben konco'nah
Jheegeh oca'ang reng
tako' bedeh seh sake' ateh

Mon jhelen aroah embong
Mon disah ekocak kampong
Odi' e dunnyah jhe' bong ma sombong
Tako' pan mateh e pong tampong

Friday, 10 August 2012

Warna-warni Jembatan Kapuas Pontianak


Warna-warni Jembatan Kapuas Pontianak
Narasi dan Foto: Ubay KPI

Jembatan Kapuas tak seperti dulu lagi. Gelap di bagian bawahnya. Anda-anda yang tidak ada di Pontianak setelah bulan Juli. Inilah perubahan jembatan Kapuas Pontianak saat ini. Lampu mercusuar warna-warni mengihasi di bagian bawah jembatan Kapuas.
Menambah eksotikme Sungai Kapuas yang jauh memanjang. Silih berganti lampu sorot itu memberi gemerlap pantulan air sungai. Sungguh elok dipandang mata.
Keinginan Pontianak mendesign Sungai Kapuas dilakukan sedikit-demi sedikit. Alun-alun Kapuas mulai ditata dengan baik. Steger di tepian sungai mulai akan dilakukan. Pontianak menuju WATER FRONT CITY.








































Slekoran di Masyarakat Madura

Slekoran di Masyarakat Madura
Ditulis; Ubay KPI

Tarsia, ibu yang sudah berusia lebih 70 tahun, sore kemarin sibuk memasak di dapur beratap daun sagu di rumahnya. Di Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya.
Hari kemarin tak seperti buka puasa pada sebelumnya. Sebab, tadi malam adalah awal memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadan. Di kalangan umum, dikenal dengan sebutan selikuran. Sedangkan di kalangan masyarakat Madura, dikenal dengan malam slekoran.
Ayam, telur, serta kelapa muda telah siap sejak matahari condong ke barat. Tarsia tinggal memasak bahan-bahan yang telah lengkap itu.
Wajah tua dengan uban di kepalanya yang tumbuh rata. Serta dalam kondisi berpuasa, tak menyurutkan ibu dengan sebelas anak tersebut untuk mempersiapkan masakan menyambut malam slekoran.
“Kalau dulu saat saya masih kecil, slekoran ini kayak lebaran kecil bagi kami, sebab masakan untuk buka puasa akan berbeda dengan biasanya,” kata Nursiti anak kesepuluh Tarsia yang juga ada di dapur siang kemarin.
Perayaan slekoran, di kalangan masyarakat Madura masih kental dilestarikan. Mereka menyambut dengan penuh persiapan. Tak heran, bila malam slekoran selalu menjadi persiapan lebih dini ketimbang lebaran.
Di malam slekoran, masyarakat Madura tak hanya memasak untuk kebutuhan di rumah. Namun mereka juga mengirim makanan tersebut ke tetangga dekat dan keluarga. Istilah dalam lingkungan Madura adalah ter ater (saling antar) makanan.
“Nanti kami sesama tetangga saling kirim makanan. Dan malamnya doa bersama dengan keluarga,” ujar Tarsia sambil memarut kelapa tua di dekat tungku masak.
Ter ater di malam slekoran masih melekat pada generasi Madura. Tak hanya bagi Madura yang ada di pulau garam. Namun di Pontianak tak ada perbedaan. Ter ater dalam buku Suara Kami Untuk Perdamaian sebagaimana dituliskan oleh Subro diartikan sebagai pererat silaturahmi antartetangga. Khususnya tetangga dekat.
Ter ater tak hanya dilakukan pada saat slekoran. Namun juga dilakukan saat salah satu keluarga menggelar selamatan. Seperti haul atau pesta pernikahan.
Ter ater ke tetangga menjadi tradisi yang tak pernah lekang oleh zaman dan waktu. Khususnya mereka yang ada di pedalaman. Bahkan, Subro dalam buku di atas menuliskan, di Sambas sebelum terjadi kerusuhan tahun 1999, Madura dan Melayu kerap saling melakukan tradisi tersebut. “Madura mengirim makanan ke orang Melayu, begitu juga sebaliknya,” kata Subro saat dihubungi kemarin.
Di malam slekoran, selain melakukan doa bersama di rumah masing-masing. Masyarakat Madura, juga melakukan antaran ke musolla atau masjid-masjid. Makanan tersebut disatukan dengan anataran lain dari masyarakat. Kemudian disuguhkan kepada jamaah dan masyarakat yang ada. Biasanya, tradisi doa bersama malam slekoran dilakukan usai salat taraweh.
“Ayam ayam ayam. Malam slekoran pasti ada ayam dan masakan lezat,” ujar Apin, cucu ibu Tarsia.
Perayaan slekoran memang tak seperti lebaran yang juga dibarengi dengan minuman dan kue beraneka ragam. Tapi bagi kalangan anak-anak, slekoran merupakan malam istimewa.
Salah satu budayawan Madura, A Latief Wiyata saat dihubungi via telepon kemarin siang menjabarkan, tradisi slekoran di kalangan Madura telah lekat sejak dahulu. Esensi slekoran tak hanya sebatas selamatan. Namun menyambut dan menyongsong sepuluh terakhir bulan Ramadan yang di dalamnya turunnya lailatul qadar.
Lekoran (hitungan ganjil antara 20-30) menurut Latief Wiyata adalah malam-malam ganjil yang terdapat di sepuluh terakhir bulan Ramadan yang dibuka dengan malam slekor (malam 21). Ritual yang dilakukan masyarakat Madura menyambut malam tersebut tak lepas dari ajaran agama.
Masyarakat melakukan selamatan yang substansinya adalah sedekah. “Sedekah merupakan ajaran Islam, dengan sedekah menambahkan kecintaan pada Allah,” ujarnya kemarin.
Selametan (selamatan) di kalangan Madura diidentikkan dengan memohon keselamatan keluarga. Tidak terjadi apa-apa dalam keluarga. “Konsep selamat tidak ada batas. Tidak ada musibah, tidak ada masalah dalam keluarga,” ujarnya.
Selamatan intinya adalah sedekah kepada orang lain.