Friday, 17 August 2012

Foto Tanpa Caption Bak Pontianak Tanpa Kapuas

Foto Tanpa Caption Bak Pontianak Tanpa Kapuas

Oleh UBAY KPI

Banyak sejarah terpotret dalam gambar. Kemerdekaan Indonesia juga banyak dapat dirasa kembali dengan imaji. Catatan sejarah menjadi pelengkap dari sekian banyak catatan sejarah yang penuh dengan kemunafikan kata Si Presiden Jancuker’s. Sujiwo Tejo.
Melalui foto. Kita dapat melihat bagaimana dulunya negeri ini. bagaimana wajah para pejuang kemerdekaan. Bagaimana pula pertama kali sang Bendera Merah Putih dikibarkan.
Foto adalah penghubung manusia dengan bahasa gambar. Khususnya foto jurnalistik. Dala, buku Foto Jurnalistik dalam Dimensi untuk Press, Taufan Wijaya mengutip Kenneth Kobre yang menegaskan bahwa fotojuranalistik bukan hanya melengkapi berita di sebuah edisi sebagai ilustrasi atau sebagai hiasan untuk mengisi bagian abu-abu sebuah halaman. Fotojurnalistik saat ini mewakili alat terbaik yang ada untuk melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif.
Nah, sekarang. Bagaimana bila sebuah foto tanpa sebuah catatan keterangan (caption)?
Mungkin sebagian foto bisa dapat dimengerti tanpa sebuah caption. Akan tetapi saya yakin itu tak semua terjadi pada sebuah fotojurnalistik. Taufan Wijaya menyebutkan, fotjurnalistik adalah media komunikasi yang menggabungkan elemen verbal dan visual. Verbalnya adalah sebuah caption. Sebuah foto tanpa keterangan akan kehilangan makna.
Nah, kebetulan saya berada di Pontianak. Saya menyebut tulisan ini dengan “Foto Tanpa Caption Bak Pontianak Tanpa Kapuas”.
Bagi kawan-kawan yang pernah ke Pontianak, mungkin kota yang memiliki Tugu Khatulistiwa ini tidak akan indah bila tanpa bentangan sungai terpanjang se-Asia tersebut. Yah, bagaimanapun Sungai Kapuas tidak akan lepas dari Pontianak. dan Pontianak tetap membutuhkan Sungai Kapuas. Dua komponen seperti dua sisi mata uang. Salah satunya tak bisa dipisahkan. Bahkan, ada sebuah omongan, siapa pun yang pernah minum air Kapuas maka akan sulit melupakan Pontianak. Bahkan, bisa jadi di kemudian hari ia akan sampai kembali ke tanah Khatulistiwa.
Begitulah sebuah foto akan susah dipahami bila tanpa sebuah keterangan. Anda akan tentu bertanya dengan penuh kebingungan bila melihat sebuah foto yang tanpa keterangan. Seindah apapun foto itu, akan terasa hampa bila tak ada penjelasan. Dimana lokasi itu, apa yang akan disampaikan melalui foto itu, dan apa maksud dari sebuah foto yang kita pandang?
James Nachtwey dalam buku fotografinya yang berjudul Inferno mengatakan “Sebuah foto dapat memasuki pikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa di mana makna hanya sedikit tergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat dengan pengalaman mentah”.
Nah, dari pengalaman yang saya temui. Banyak sekali fotografer pandai mengambil sebuah objek dengan baik. Mampu memadukan terang gelap sebuah objek, mampu membuat sebuah kejadian dapat berbicara melalui jepretannya. Tapi tak banyak fotografer yang mampu memadukan sebuah foto dengan kata keterangan seindah fotonya.
Pengalaman ini kerap saya temui di tempat saya bertugas. Ialah di Pontianak. Meskipun saya bukan seorang fotografer, namun catatan ini menjadi koreksi bagi sekalian fotografer pemula yang ingin membicarakan sebuah peristiwa atau kejadian dengan gambar.
Pengalaman lain kadang saya temui di dunia online. Kerap kali saya menemukan sebuah foto tanpa caption. Itu saya temukan bukan hanya di blog-blog pribadi. Namun kerap juga saya temui pada sebuah website komunitas fotogarafi nasional. Akankah komunitas itu hanya mengajarkan menjepret saja, atau memang anggotanya kurang bernaluri untuk menulis keterangan foto? Wallahuu A’alam.

Terinspirasi dari tulisan sebuah bagian dalam buku Fotojurnalistik Dalam Dimensi Untuk Press karya Taufan Wijaya.

Warung Kopi Perempatan Lampu Merah Pontianak Utara
Kamis, 17 Agustus 2012, Pukul 20.15

No comments:

Post a Comment