Friday, 10 August 2012

Slekoran di Masyarakat Madura

Slekoran di Masyarakat Madura
Ditulis; Ubay KPI

Tarsia, ibu yang sudah berusia lebih 70 tahun, sore kemarin sibuk memasak di dapur beratap daun sagu di rumahnya. Di Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya.
Hari kemarin tak seperti buka puasa pada sebelumnya. Sebab, tadi malam adalah awal memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadan. Di kalangan umum, dikenal dengan sebutan selikuran. Sedangkan di kalangan masyarakat Madura, dikenal dengan malam slekoran.
Ayam, telur, serta kelapa muda telah siap sejak matahari condong ke barat. Tarsia tinggal memasak bahan-bahan yang telah lengkap itu.
Wajah tua dengan uban di kepalanya yang tumbuh rata. Serta dalam kondisi berpuasa, tak menyurutkan ibu dengan sebelas anak tersebut untuk mempersiapkan masakan menyambut malam slekoran.
“Kalau dulu saat saya masih kecil, slekoran ini kayak lebaran kecil bagi kami, sebab masakan untuk buka puasa akan berbeda dengan biasanya,” kata Nursiti anak kesepuluh Tarsia yang juga ada di dapur siang kemarin.
Perayaan slekoran, di kalangan masyarakat Madura masih kental dilestarikan. Mereka menyambut dengan penuh persiapan. Tak heran, bila malam slekoran selalu menjadi persiapan lebih dini ketimbang lebaran.
Di malam slekoran, masyarakat Madura tak hanya memasak untuk kebutuhan di rumah. Namun mereka juga mengirim makanan tersebut ke tetangga dekat dan keluarga. Istilah dalam lingkungan Madura adalah ter ater (saling antar) makanan.
“Nanti kami sesama tetangga saling kirim makanan. Dan malamnya doa bersama dengan keluarga,” ujar Tarsia sambil memarut kelapa tua di dekat tungku masak.
Ter ater di malam slekoran masih melekat pada generasi Madura. Tak hanya bagi Madura yang ada di pulau garam. Namun di Pontianak tak ada perbedaan. Ter ater dalam buku Suara Kami Untuk Perdamaian sebagaimana dituliskan oleh Subro diartikan sebagai pererat silaturahmi antartetangga. Khususnya tetangga dekat.
Ter ater tak hanya dilakukan pada saat slekoran. Namun juga dilakukan saat salah satu keluarga menggelar selamatan. Seperti haul atau pesta pernikahan.
Ter ater ke tetangga menjadi tradisi yang tak pernah lekang oleh zaman dan waktu. Khususnya mereka yang ada di pedalaman. Bahkan, Subro dalam buku di atas menuliskan, di Sambas sebelum terjadi kerusuhan tahun 1999, Madura dan Melayu kerap saling melakukan tradisi tersebut. “Madura mengirim makanan ke orang Melayu, begitu juga sebaliknya,” kata Subro saat dihubungi kemarin.
Di malam slekoran, selain melakukan doa bersama di rumah masing-masing. Masyarakat Madura, juga melakukan antaran ke musolla atau masjid-masjid. Makanan tersebut disatukan dengan anataran lain dari masyarakat. Kemudian disuguhkan kepada jamaah dan masyarakat yang ada. Biasanya, tradisi doa bersama malam slekoran dilakukan usai salat taraweh.
“Ayam ayam ayam. Malam slekoran pasti ada ayam dan masakan lezat,” ujar Apin, cucu ibu Tarsia.
Perayaan slekoran memang tak seperti lebaran yang juga dibarengi dengan minuman dan kue beraneka ragam. Tapi bagi kalangan anak-anak, slekoran merupakan malam istimewa.
Salah satu budayawan Madura, A Latief Wiyata saat dihubungi via telepon kemarin siang menjabarkan, tradisi slekoran di kalangan Madura telah lekat sejak dahulu. Esensi slekoran tak hanya sebatas selamatan. Namun menyambut dan menyongsong sepuluh terakhir bulan Ramadan yang di dalamnya turunnya lailatul qadar.
Lekoran (hitungan ganjil antara 20-30) menurut Latief Wiyata adalah malam-malam ganjil yang terdapat di sepuluh terakhir bulan Ramadan yang dibuka dengan malam slekor (malam 21). Ritual yang dilakukan masyarakat Madura menyambut malam tersebut tak lepas dari ajaran agama.
Masyarakat melakukan selamatan yang substansinya adalah sedekah. “Sedekah merupakan ajaran Islam, dengan sedekah menambahkan kecintaan pada Allah,” ujarnya kemarin.
Selametan (selamatan) di kalangan Madura diidentikkan dengan memohon keselamatan keluarga. Tidak terjadi apa-apa dalam keluarga. “Konsep selamat tidak ada batas. Tidak ada musibah, tidak ada masalah dalam keluarga,” ujarnya.
Selamatan intinya adalah sedekah kepada orang lain.   


2 comments:

  1. Aduh, mon e romah biasa mamak juga slekoran. Hiks, sejak e Jakarta, tadek tradisi slekoran pole. Miss slekoran :)

    ReplyDelete
  2. Slekoran lah kak, Undang tetangga apartemen tuh..

    ReplyDelete