Monday, 17 September 2012

Risalah ‘Generasi Pak Sakerah’ di Rantau Panjang (2)

Risalah ‘Generasi Pak Sakerah’ di Rantau Panjang (2)
Selalu Luput dari Konflik Etnik

Oleh: A. Alexander Mering

Akhir Desember 1996 terjadi kerusuhan etnik pecah. Pemicunya perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo. Yakundus dan Akim ditusuk Bakri. Bakri beraksi bersama 4 orang kawannya. Peristiwa itu memicu meluasnya kerusuhan di Kabupaten Sambas. Yakundus dan Akim orang Dayak, sedangkan Bakri Madura. Kerusuhan Sanggau Ledo sebenarnya mulai mereda, tapi dalam skala yang lebih luas meledak lagi menyusul penyerangan terhadap kompleks persekolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan, Pontianak Utara. Dalam peristiwa itu dua gadis Dayak asal Jangkang, Kabupaten Sanggau terluka.
Hanya dalam jarak beberapa hari Nyangkot, warga Dayak dari Tebas, Kabupaten Sambas terbunuh di Peniraman Januari 1997. Bagai disiram bensin, api pertikaian terus meluas. Terutama karena yang menjadi korban terdiri dari berbagai sub etnis Dayak yang ada di Kalbar. Aksi balas-membalas yang memakan banyak nyawa meluas hingga ke Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas dan kabupaten Sanggau. Hanya Kabupaten Sintang, Ketapang dan Kapuas Hulu yang darah tidak bertumpah-tumpah. Kebetulan di tiga Kabupaten tersebut populasi orang Madura tidak seberapa, hingga luput dari serangan. Konflik pada tahun 1997 merupakan konflik terbesar dalam sejarah konflik antar etnik di Kalimantan Barat.
Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, Guru Besar Sosiologi Universitas Tanjungpura (Untan) mencatat tak kurang dari 12 kali terjadi kerusuhan (dikutip wartawan Kompas—Jannes Eudes Wawa). Sepuluh kali melibatkan Dayak-Madura, yakni pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997 dan 1999. Dayak -Tionghoa hanya sekali, yakni 1967. Kemudian dua kali Melayu dengan Madura, yakni tahun 1999 dan 2000.
Namun menurut Kristianus Atok, meski yang muncul adalah pertikaian etnik, tetapi sebenarnya peristiwa-peristiwa itu dilatarbelakangi pertikaian politik.
“Sebagian besar peristiwa itu terjadi, justru tak jauh-jauh dari event-event politik,” kata Kris.
Kristianus Atok adalah pendiri Yayasan Pemberdayaan Forest People Nusantara (YPPN), lembaga yang sudah 10 tahun bekerja pada isu peace building. Kini Kris tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) Kualalumpur dan meneliti akar konflik di Kalbar.
Pada masa yang sama, tentu saja Rantau Panjang tak luput dari imbas angin kerusuhan. Tapi walau demikian warga Rantau Panjang selalu luput dari pembantaian.
“Syukurnya hingga sekarang kerusuhan etnik tidak pernah pecah di kampung ini,” kata Supandi dalam sebuah wawancara. Supandi memang tak dapat melupakan saat-saat tersebut, karena dia menikah justru di hari pertama pecahnya konflik.
Rantau Panjang secara administratif adalah bagian dari Kecamatan Sebangki, bersama 4 Desa lainnya. Tapi tahun 2000 lalu, Kecamatan Penghubung Sambeh atau Sambih resmi menjadi kecamatan definitif dengan nama Kecamatan Sebangki bergabung dengan 9 kecamatan lain di Kabupaten Landak. Luas kecamatan ini adalah 885,60 Km2 atau sekitar 88.560 hektar.
Ibukota Kecamatan terletak di pinggir Sungai Samih. Jarak kota kecamatan dengan ibukota kabupaten di Ngabang sekitar 80 Km dengan mengandalkan jalan darat menuju Simpang Aur Sampuk-Senakin.
Sedangkan Penepat, tempat asal istri Supandi adalah wilayah Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Pontianak. Namun sejak pemekaran 2007 lalu, Penepat telah jadi bagian kabupaten Kubu Raya.
Rantau Panjang adalah Desa bersahaja yang terkepung daerah konflik.(bersambung)

No comments:

Post a Comment