Risalah
‘Generasi Pak Sakerah’ di Rantau Panjang (1)
Sepucuk Belati dan Pengantin Lelaki
Oleh A. Alexander Mering
Di suatu pagi buta. Ayam baru saja berkokok-terkantuk-kantuk di dahan pohon nangka, ketika warga Kampung Rantau Panjang dikejutkan suara tiang listrik dipukul bertalu-talu tiba-tiba oleh warga Kampung Sei Layang, kampung tetangga.
Warga gempar. Wanita dan anak-anak menangis panik. Beberapa lari ke jalan. Sebagian menerabas semak-semak yang masih basah, masuk hutan karena mengira musuh sudah datang menyerang. Yang lainnya membalas isyarat tersebut dengan memukul tiang listrik berkali-kali juga. Tapi pak Haji Jasuli cuek saja. Dengan santai dia mencangklong todi’ dan berangkat ke kebun karet untuk menoreh. Dalam bahasa Madura, todi berarti pisau untuk menyadap pohon karet. Jasuli adalah migran gelombang kedua yang tiba di Rantau Panjang, tahun 1971 silam.
Tak cuma warga Rantau Panjang dan Sei Layang yang geger, warga kampung sebelahnya yaitu Sei Pogok pun turut gemetar. Di tengah kekacauan itu, seorang lelaki tergopoh-gopoh menyusul Supandi. ”Eh.., Bisa ndak? Kalau tidak, pengantinnya saja yang ikut ke sana,” teriak lelaki itu. Namanya Sarmawi, utusan pengantin wanita dari Penepat. Dia juga adalah paman Samsiah, calon istri Supandi. Yang menjawab justru Haji Tiyap, ayah Supandi. “Bisa”. Mereka bicara dalam bahasa madura.
Haji Tiyap adalah orang terpandang di Rantau Panjang, generasi gelombang migran pertama yang tiba 1951. Nama aslinya adalah Yusuf, kelahiran Jawa Timur tahun 1934. Tiyap ke Kalimantan Barat naik Kapal Barang milik orang Bugis, untuk mengadu nasib, meninggalkan anak dan istrinya di Madura. Tahun 1980 dia menjadi Kepala Desa Rantau Panjang, menggantikan Haji Usu’. Haji Usu’ orang Bugis. Warga mengenalnya sebagai tokoh yang berilmu tinggi dan berjiwa sosial. Dia tak segan-segan merogoh koceknya sendiri untuk kepentingan warga. Tahun 1995, dia menjual 6 ekor sapinya untuk mendirikan Madrasah. Sekolah tersebut setingkat Sekolah Dasar. Hati Tiyap terenyuh kala melihat anak-anak Rantau Panjang tak mengecap pendidikan.
Supandi adalah anak angkat Tiyap dengan Misrani. Sebab Tiyap memiliki 3 istri. Dengan Misrani ia memiliki 3 anak, yakni Suminten, Suhar dan Nasuha. Suhar kini tinggal di Madura. Meski Supandi cuma anak angkat, tapi Tiyap sangat menyayanginya. Barangkali karena Tiyap tak memiliki anak lelaki. Ayah kandung Supandi sebenarnya bernama Saleh, tetapi sudah meninggalkannya sejak masih dalam kandungan Asma, sang ibu. Asma lantas menikah lagi dengan seorang pedang keliling asal Sambas yang juga bernama Saleh. Tiyap menikahkan Asma dan Saleh dengan perjanjian setelah sang bocah dilahirkan akan diberikan kepadanya. Tepat saat berumur 7 bulan, Supandi kecil resmi diangkat Tiyap sebagai anak.
Walau cuma tamat Madrasah Aliah Swasta (MAS) Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang, lantaran nama besar ayahnya Supandi muda disenangi dan disegani warga. Ia hidup berkecukupan dan banyak kawan. Kerjanya keluar-masuk kampung dengan speedboat ayahnya. Tiap-tiap kampung dalam kawasan Kuala Mandor B, hingga sepanjang sungai Landak ada saja kenalan dan teman Supandi.
Hari itu kerusuhan etnik Dayak-Madura pecah di sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tapi di hari yang sama Supandi harus segera menikah! Haji Tiyap yang menetapkan tanggalnya. Mak comblangnya adalah Sunah, sepupu Supandi. Samsiah adalah gadis cantik yang menurut Sunah cocok untuk Supandi.
Dalam panik, Supandi tetap berangkat ke rumah pengantin wanita. Dari Pangkalan Parit Baru, dia diiringi 2 unit speedboat berkekuatan mesin 3 PK milik Haji Kholil. Rombongan berjumlah 20 orang. Para penumpang tegang, kuatir serangan benar-benar terjadi. Tapi bukan orang Madura jika tak punya sikap bangalan (pemberani) dan tak takut addhu ada’ (beradu muka). Karenanya tiap-tiap orang hari itu menenteng senjata tajam, untuk berjaga-jaga. Paling banyak dibawa tentu saja celurit, senjata khas Madura. Tapi Supandi cuma sempat menyelipkan belati di punggungnya. Dari pangkalan, speedboat dipacu Besdi dan Supandi menuju Penepat.(bersambung)
Sepucuk Belati dan Pengantin Lelaki
Oleh A. Alexander Mering
Di suatu pagi buta. Ayam baru saja berkokok-terkantuk-kantuk di dahan pohon nangka, ketika warga Kampung Rantau Panjang dikejutkan suara tiang listrik dipukul bertalu-talu tiba-tiba oleh warga Kampung Sei Layang, kampung tetangga.
Warga gempar. Wanita dan anak-anak menangis panik. Beberapa lari ke jalan. Sebagian menerabas semak-semak yang masih basah, masuk hutan karena mengira musuh sudah datang menyerang. Yang lainnya membalas isyarat tersebut dengan memukul tiang listrik berkali-kali juga. Tapi pak Haji Jasuli cuek saja. Dengan santai dia mencangklong todi’ dan berangkat ke kebun karet untuk menoreh. Dalam bahasa Madura, todi berarti pisau untuk menyadap pohon karet. Jasuli adalah migran gelombang kedua yang tiba di Rantau Panjang, tahun 1971 silam.
Tak cuma warga Rantau Panjang dan Sei Layang yang geger, warga kampung sebelahnya yaitu Sei Pogok pun turut gemetar. Di tengah kekacauan itu, seorang lelaki tergopoh-gopoh menyusul Supandi. ”Eh.., Bisa ndak? Kalau tidak, pengantinnya saja yang ikut ke sana,” teriak lelaki itu. Namanya Sarmawi, utusan pengantin wanita dari Penepat. Dia juga adalah paman Samsiah, calon istri Supandi. Yang menjawab justru Haji Tiyap, ayah Supandi. “Bisa”. Mereka bicara dalam bahasa madura.
Haji Tiyap adalah orang terpandang di Rantau Panjang, generasi gelombang migran pertama yang tiba 1951. Nama aslinya adalah Yusuf, kelahiran Jawa Timur tahun 1934. Tiyap ke Kalimantan Barat naik Kapal Barang milik orang Bugis, untuk mengadu nasib, meninggalkan anak dan istrinya di Madura. Tahun 1980 dia menjadi Kepala Desa Rantau Panjang, menggantikan Haji Usu’. Haji Usu’ orang Bugis. Warga mengenalnya sebagai tokoh yang berilmu tinggi dan berjiwa sosial. Dia tak segan-segan merogoh koceknya sendiri untuk kepentingan warga. Tahun 1995, dia menjual 6 ekor sapinya untuk mendirikan Madrasah. Sekolah tersebut setingkat Sekolah Dasar. Hati Tiyap terenyuh kala melihat anak-anak Rantau Panjang tak mengecap pendidikan.
Supandi adalah anak angkat Tiyap dengan Misrani. Sebab Tiyap memiliki 3 istri. Dengan Misrani ia memiliki 3 anak, yakni Suminten, Suhar dan Nasuha. Suhar kini tinggal di Madura. Meski Supandi cuma anak angkat, tapi Tiyap sangat menyayanginya. Barangkali karena Tiyap tak memiliki anak lelaki. Ayah kandung Supandi sebenarnya bernama Saleh, tetapi sudah meninggalkannya sejak masih dalam kandungan Asma, sang ibu. Asma lantas menikah lagi dengan seorang pedang keliling asal Sambas yang juga bernama Saleh. Tiyap menikahkan Asma dan Saleh dengan perjanjian setelah sang bocah dilahirkan akan diberikan kepadanya. Tepat saat berumur 7 bulan, Supandi kecil resmi diangkat Tiyap sebagai anak.
Walau cuma tamat Madrasah Aliah Swasta (MAS) Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang, lantaran nama besar ayahnya Supandi muda disenangi dan disegani warga. Ia hidup berkecukupan dan banyak kawan. Kerjanya keluar-masuk kampung dengan speedboat ayahnya. Tiap-tiap kampung dalam kawasan Kuala Mandor B, hingga sepanjang sungai Landak ada saja kenalan dan teman Supandi.
Hari itu kerusuhan etnik Dayak-Madura pecah di sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tapi di hari yang sama Supandi harus segera menikah! Haji Tiyap yang menetapkan tanggalnya. Mak comblangnya adalah Sunah, sepupu Supandi. Samsiah adalah gadis cantik yang menurut Sunah cocok untuk Supandi.
Dalam panik, Supandi tetap berangkat ke rumah pengantin wanita. Dari Pangkalan Parit Baru, dia diiringi 2 unit speedboat berkekuatan mesin 3 PK milik Haji Kholil. Rombongan berjumlah 20 orang. Para penumpang tegang, kuatir serangan benar-benar terjadi. Tapi bukan orang Madura jika tak punya sikap bangalan (pemberani) dan tak takut addhu ada’ (beradu muka). Karenanya tiap-tiap orang hari itu menenteng senjata tajam, untuk berjaga-jaga. Paling banyak dibawa tentu saja celurit, senjata khas Madura. Tapi Supandi cuma sempat menyelipkan belati di punggungnya. Dari pangkalan, speedboat dipacu Besdi dan Supandi menuju Penepat.(bersambung)
No comments:
Post a Comment