Thursday, 27 September 2012

Mimpi dari Balik Deretan Pohon Karet


Mimpi dari Balik Deretan Pohon Karet

Oleh Ubay KPI 

Mimpi, mimpi, dan mimpi.
Hanya itu yang ada dalam benak saya saat masih duduk di bangku. Mimpi merubah nasib diri dengan ekonomi yang serba pas-pasan.
Tekad saya dari balik pohon getah di belakang rumah setiap pagi yang menjadi rutinitas. Merubah ekonomi lebih baik!
Sejak kelas 3 madrasah ibtidaiyah, saya telah merasakan bagaimana kerja menjadi penyadap getah yang hanya menghasilkan 5 kilo gram. Dengan harga jual yang tidak pasti. Kadang 5000 kadang pula naik hingga 7500. Usia yang sangat belia saat itu telah mengasah saya untuk bermimpi. Bahkan, kadang saya berpikir, mungkinkah saya tetap bekerja sebagai penyadap getah? Mungkinkah kehidupan keluarga saya nanti akan pas-pasan dalam memenuhi kebutuhan hidup? Mungkinkah saya tak bisa merubah diri lebih baik.
Gesekan ranting karet kadang menghempaskan saya dalam lamunan. Begitu juga riuh suara daun karet diterpa angin membangunkan diri dari ratapan mimpi. 
Sesekali saya bermimpi untuk bekerja lebih baik. Misal kantoran atau buruh lain. Sesekali juga kadang saya ragu dengan diri sendiri.
Mimpi-mimpi itu terung membayang. Setiap pagi, setiap hari, setiap malam. Namun selalu keraguan yang ada. Seakan pasrah. Rutinitas menjadi anak desa penyadap getah hingga saya duduk di kelas 3 madrasah aliyah.
Sama sekali tidak sadar akan pentingnya pendidikan. Otak saya seakan terdoktrin dengan pemikiran orang Madura tempo dulu. Asal pandai baca alfatihah.
Doktrin itu menyusup dalam benak saya. Lulus madrasah tsanawiyah, dengan bulat tekad, saya tak ada niat untuk menyambung sekolah ke tingkat madrasah aliyah. "Sekolah hanya membutuhkan ijazah" itu yang ada dalam pikiran saya.
Saat itu saya ingin konsen di pondok pesantren, saya berada di penjara suci itu sejak pertengahan kelas tiga tsanawiyah. Ingin total dengan pendidikan agama.
Tapi, entah mengapa. Almarhum bapak saat itu mendaftarkan saya masuk aliyah. Sekolah itu baru buka tahun itu. Pas angkatan saya lulus tsanawiyah. Tanpa sepengetahuan, bapak telah mendaftarkan nama saya. Dengan sangat terpaksa mengikuti kehendak almarhum bapak. Saya sekolah dengan tujuh kawan saya. 
Angkatan pertama sekolah itu hanya delapan orang. Empat cowok dan empat cewek. Saya salah satunya.
Hari demi hari, bulan demi bulan saya jalani pendidikan sebagai siswa penggagas sekolah itu. Tapi, sama sekali tak konsen. Kadang pakai sandal, kadang belajar, kadang tak berkopiah, kadang pula datang ke sekolah hanya untuk molor numpahin liur ke meja belajar.
Alhasil, sekolah bukan untuk belajar tapi hanya formalitas. Ujung-ujungnya. Kebelet saat ujian akhir sekolah. 
Bersekolah sangat tanpa beban meski setiap tahun harus dihadapkan dengan ujian.
Hingga aliyah, mimpi merubah nasib dan pentingnya pendidikan sama halnya saat masih ibtidaiyah, sama saat berada memutar di setiap pohon getah yang saya iris. 
Yah, hanya mimpi merubah nasib namun tanpa didasari keinginan untuk membentuk sebuah keterampilan diri yang bisa dijual sebagai perangsang mimpi itu.
Pasrah dan tanpa keinginan untuk merubah meski mimpi merubah itu masih tetap ada. Apa yang akan saya perbuat? Mungkin hanya ijazah aliyah. Tapi saya tak ingin hanya sebatas karyawan biasa. Dan kembali menjadi penyadap getah.

WK Winny, Jalan Gajah Mada, Pontianak
Rabu, 26 September 2012, Pukul. 22.18

No comments:

Post a Comment