Monday, 8 October 2012

Tas Kumal Sandal Jepit


Tas Kumal Sandal Jepit

Oleh Ubay KPI

Dengan tergopoh-gopoh, saya menyudahi aktifitas pagi saat itu. Sebagai penjual koran di perempatan Jalan Gusti Machmud-Selat Panjang. Atau biasa orang bilang lampu merah Siantan.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 09.00. Beberapa koran masih tersisa belum laku terjual. 60 eks biasa saya bawa untuk dijual kepada pengguna jalan di perempatan itu. Kadang habis kadang pula tersisa.
Pagi itu, ada belasan koran belum terjual. Saya bergegas menyudahi karena hari itu adalah terakhir registrasi pembayaran bagi mahasiswa baru STAIN Pontianak.
Dengan tas selempang Abri yang sudah kumal. Saya masukkan seluruh koran sisa ke dalam tas. Seluruh ikat saya pasang agar tak ada yang mengetahui kalau saya ada penjual koran. Sandal jepit merek swallow adalah sandal favorit yang setiap pagi menjadi teman melangkah ke perempatan jalan menawarkan koran. Masih tetap menggunakan pakaian itu. Jaket tebal penahan dingin dan celana kain. Saya bergegas menuju kampus. 
Uang dalam saku hanya ada sekitar 1 juta. Itu hasil tabungan selama menjual koran. Sebagian lagi pemberian bapak. Dengan segenggam cita-cita melanjutkan pendidikan, saya pacu motor butut merek KTM yang sudah kotal-katil. 
Di perjalanan, yang terpikir bisakah saya bayar 1 juta terlebih dahulu untuk pendaftaran ini. Padahal total untuk pembayaran mahasiswa baru sekitar 1.350 ribu. Kurang 350 rebu.
Dengan tetap membawa tas kumal itu, saya masuk ke ruangan Puket 2 STAIN Pontianak, mengutarakan keberadaanku yang belum bisa melunasi administrasi keuangan. 
Bukan mendapat belas kasih atas keinginan saya melanjutkan pendidikan. Namun yang didapat dari ruangan itu adalah penolakan tanpa alasan.
Seorang ibu berkerudung di balik meja itu mengatakan kepada saya. "Kamu niat kuliah tidak," katanya dengan nada tinggi.
Saya masih ingat betul ibu itu. Sampai sekarang saya masih sangat ingat. Saya jarang ketemu dengannya meski satu kampus. Namun di jejaring sosial saya kerap berjumpa. Bahkan, saya pernah adu argumen dengan dia di jejaring sosial. Sebut saja ibu itu berinisial "H". Dulu ia menjabat Puket 2 yang kemudian lengser seiring pergantian Ketua STAIN Pontianak.
Yah, dasar tak tahu aturan memang saya waktu itu. Sudahlah mau minta keringanan untuk pelunasan, waktu itu saya masuk ke ruangan ibu tersebut menggunakan sandal jepit. "Emang di sini WC ãą, pakai sandal sembarangan," katanya tetap dengan nada tinggi. Saya hanya bisa menjawab "Ma'af bu, saya baru pulang kerja jualan koran. Belum sempat pulang ke rumah," jawab saya merendah dan mengakui kesalahan.

Saya keluar dengan sebongkah kegelisahan. Dari mana saya dapat uang untuk mencukupi kekurangan. Saya tak memberi tahu kakak saya yang waktu juga ada di kampus. Saya keluar dari ruang akademik dengan muka penuh kebingungan.
Namun niat saya untuk kuliah masih bulat. "Saya harus kuliah. Saya harus bisa membayar adminstrasi keuangan itu," itu yang ada dalam benak saya.
350 ribu. Yah uang sejumlah itu yang saya cari. Meski tidak, cukuplah 300 ribu saja. 50 ribunya bisa menggunakan uang hasil penjualan pagi itu.
Saya betul-betul bingung di luasnya kampus saat itu. Pada siapa, pada siapa? Haruskah saya minta ke bapak lagi? Tidak mungkin. Saya sudah niat tak ingin memberatkan bapak dalam keputusan saya masuk kuliah ini.
Kenakalan pikiran saya bermuara pada rekan saya. Mursam. Rekan satu UN tahun 2005 lalu. Ia lebih dulu masuk di kampus itu dan menjadi juru kunci masjid Syahid STAIN Pontianak.
Dengan percaya diri, saya datangi dia bermaksud meminjam uang. Tapi dia juga lagi krismon. Mursam kemudian mengarahkan saya meminjam uang kepada rekan yang juga tinggal di asrama masjid itu. Hamdi namanya. Mursam membantu saya mencari Hamdi. Tak lama kemudian Hamdi datang ke masjid. Dan saya utarakan maksud saya. 
Wow, ternyata dia juga lagi kere. Tapi akal selalu jernih. Mungkin ini jalan yang ditunjukkan Allah kepada saya atas niat baik melanjutkan pendidikan dan merubah nasib yang saya inginkan dari balik deretan karet dulu.
"Ada uang, cuma itu uang kas masjid. Kalau bisa mengembalikan dalam waktu sebulan, bisa saya pinjamkan," kata Hamdi kepada saya.
Saya langsung meng-ia-kan. "Okee, saya pinjam dulu 300," kata saya.
Hamdi dengan segera mengambil uang kas itu. Bukan tiga lembar yang diberikan kepada saya. Namun berpuluh-puluh lembah. Mungkin uang itu mencapai ratusan lembar. Maklum saja, yang ia keluarkan adalah uang dari kotak amal masjid. Beraneka ragam. Ada yang ribuan, lima ribuan, dan sedikit sekali yang puluhan. Yang lima puluh ribu, tak ada sama sekali.
Tebal sekali uang 300 ribu itu. Menjadi tiga ikat. Ada yang sudah lusuh dan sangat sedikit yang masih bagus bentuk uang itu.
Dengan rasa senang karena mendapat hutangan meski uang kas masjid. Saya melenggang ke loket pembayaran. Malu sekali rasanya untuk menyerahkan uang itu kepada petugas akademik bagian keuangan.
Tapi, saya sudah lega. Kuliah di tahun itu terwujud.
Saya segera mengantre untuk melakukan pembayaran. Hari itu ramai sekali mahasiswa baru melakukan registrasi pembayaran. Sambil menunggu, saya bertemu dengan kawan kampung sebelah yang juga mau registrasi pembayaran adiknya. Ternyata ia tak sabar menunggu. Dan meminta saya untuk membayarkan. Ia menyerahkan uang sesuai nominal. uang dari kawan itulah, saya tukar dengan uang pecahan yang saya pegang. Kebetulan saat itu saya lebih dulu dipanggil.
Saya sudah menyelesaikan administrasi keuangan. Tinggal punya titipan kawan. 
Segeppok uang pecahan ribuan berjumlah 300 ribu itu ada dalam tas.
Sampai giliran adik kawan saya dipanggil, saya masuk loket pembayaran. Dengan enteng seakan tanpa berdosa menukar uang itu. Saya serahkan kepada panitia. 
Petugas di loket itu terkejut melihat segeppok uang itu. Tiga petugas menghitung uang ribuan itu. "Ini punya kawan saya pak," kata saya selemas lembayung.
Pas. Petugas yang menghitung uang itu tak selisih. 
Selesai sudah administrasi. Saya segera melenggang dengan tas kumal dan sandal jepit meninggalkan kampus. Tancap gas melanjutkan tugas yang belum selesai. Yakni mengantarkan koran langganan.

Dengan Selembar Sarung
Di Kamar Pribadi yang Berantakan
Minggu, 7 Oktober 2012, pukul. 19.22 Wib

No comments:

Post a Comment