BERBASAH LUKA MENGANGA
Oleh Kembang Anggrek
Kairo, 12 Mei 2011
Aku ingin hidup secerah mentari yang menyinari taman hatiku, aku ingin seriang kicauan burung yang terdengar di jendela kehidupan, aku ingin segala-galanya damai penuh mesra membuat ceria, aku ingin menghapus duka dan lara melerai rindu dalam dada. Ah…rasanya semuanya itu tak mungkin lagi ku meraihnya…
Andai ku bisa menahan hari-hari agar ia tak berjalan semestinya, andai ku bisa memperlambat waktu agar ia tak berputar seperti adanya, andai ku bisa…..ku tak kuasa menatap hari esok.
***
Kokok ayam melintas di daun telinga pertanda pagi tengah menjelma, guratan sinar matahari menegur jasad yang rapuh, teriakan orang lalu lalang di luar sana membuat hati ini semakin remuk, bak tercabik-cabik sembilu, aku ingin seperti mereka, bercerita, bercanda ria, menikmati hidup dengan normal tanpa ada tanjakan luka-luka menganga sebagai penghalang, ya…sekedar menepis rasa galau, risau, gelisah sebab rasa bersalah, rasa sesal yang sampai kini belom juga terobati.
Ah…rasanya tak mungkin jika aku yang berlumuran dosa ini turut bergabung dengan mereka, bermain –main dengan mereka, mereka yang suci tanpa dosa dan noda itu tak mungkin mengajakku untuk bermain bersamanya, jangankan menyapaku, menoleh pun mereka tak sudi.
Andaikan saja ku bisa mengambil bulan lengkap dengan bintang-bintang yang menghiasi langit biru di atas sana, tentu sekarang sang rembulan yang cantik berada dalam genggamanku, andaikan saja burung- burung itu sudi bercengkrama denganku, tentu akan ku ceritakan semua keluh kesahku, ku curahkan jeritan-jeritan yang menyiksa batinku, namun aku tak tahu kepada siapa akan ku adukan gunda gulana dalam jiwa ini, toh seisi alam semesta ini memusuhiku, mengucilkanku, memojokkanku, mencemoohku, oh…aku tak kuat menanggung beban yang tengah ku derita ini. Oh Tuhan… dimanakah sesuatu yang bernama keadilan itu berada…ku ingin segera menemuinya.
“Sayang…sarapan dulu yuk…papamu sudah menunggu kita di ruang makan”. Rayu mamaku tercinta.
Aku hanya diam membisu, aku tak kuasa untuk berkata-kata, rasanya lidahku keluh akan luka, dalam lubuk hati ini, ingin sekali ku katakan pada mamaku tersayang “ Maaf ma, nani belom lapar”. Namun lisan ini tak mampu berkutik, entah kenapa suara mamaku yang merdu itu tak menyisakan seberkas cahaya dalam relung jiwaku, justru menorehkan sayatan sebilah pisau di hati ini, kucuran deras mengalir lembut di pipi lewat dinding pelupuk mataku.
“Maafkan mama…semua ini demi kebaikanmu sayang”. Ucap mama terisak-isak sembari mengelus-elus rambutku yang ikal.
Isak tangis mama terasa ngilu ku dengar, aku merasa itu hanya sebuah bualan belaka, aku mencoba untuk tegar menghadapi beratnya masalah yang sedang ku pikul ini, aku tak ingin kelihatan lemah di depan mama, namun tetap juga butiran-butiran Kristal menerobos kencang kelopak korneaku, aku gagal mempertahankannya, tangisku kali ini lebih dahsyat dari deretan tangis yang lainnya, dunia pun terguncangkan oleh tangisku yang menggelegar.
“Mama bilang, semuanya demi kabaikanku, model kebaikan seperti apa menurut persepsi mama, seperti inikah…iya seperti ini, yang sampai hati menanam bibit-bibit luka tumbuh segar dalam ruang hatiku membiarkan ia terus menggerogotiku, mungkin seumur hidup ia terus bersemayam bahkan membusuk dalam hatiku ini Ma, tak mungkin terobati kalau Mama terus bersikap seperti saat ini, Mama sampai hati menyiksa Nani, terbang kemanakah jiwa keibuanmu ma, atau sudah mama buang ke tong sampah ??”. Ucapku dengan bibir bergetar menahan isak tangis.
tak kusangka lisan ini menciptakan sebuah kalimat, kalimat terpanjang dalam sejarah hidupku, kalimat yang mungkin bisa melukai hati sang mama, tanganku bergetar, dadaku berdegup kencang, sesal mendera dalam jiwa, maafkan Nani mam…Nani tak bermaksud melawan mama…tapi, lagi-lagi kesedihan menemaniku.
Mama diam membisu, memandangiku penuh peluh, entah apa yang di pikirkannya aku tak tahu, tersirat gurat kesedihan disana, tetesan timah putih bening meleleh di pipinya, hanya kata maaf yang tersurat dari lisannya,ia memelukku erat-erat, dalam dekapannya kurasakan kehangatan, kami berdua larut dalam tangisan yang menyayat-nyayat.
“Makan ya sayang, kamu kurus sekali, mama kangen melihat anak mama yang cantik ini makan, walau itu cuma satu suap, atau mama yang nyuapin, makan ya sayang ?!?!”.
“Nani gak butuh makan ma, nani butuh dia, nani butuh dia, hanya dia yang nani butuhkan saat ini ma, hanya dia bukan yang lain”. Isak tangisku memecah ruangan yang sedari tadi hening, sunyi senyap tanpa nafas kehidupan tersurat disana.
“Dia laki-laki gak bener sayang, dia gak pantas buat kamu”.
Hanyut jiwa dan ragaku dalam pekuburan nanah yang membusuk, luka lebar menganga, hancur tercabik-cabik tajamnya samurai jendela hatiku ini setelah mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari lisan ibundaku, ku tak ingin mendengarnya akan tetapi kata-kata itu terlanjur melintas dan masuk dalam gendang telinga ini lalu ku save dalam memory otakku.
Luka dalam hatiku yang basah tidak akan pernah kering, selamanya akan terus basah, sebasah air pantai yang semakin memutih, seharum minyak kesturi yang memudar baunya, seindah pelangi yang tak lagi menampakkan warnanya, mungkin harapan untuk bersamanya hanya tinggal harapan belaka, aku bagaikan punguk merindukan bulan.
“Karena dia dari keluarga miskin lalu mama menganggap dia laki-laki gak bener, iya ma…???
“Kenapa mama diam aja…??”. Tangisku kian meledak bak isi peluru yang siap untuk di tembakkan pada musuh di depan mata.
“Mama egois, hanya mikirin diri sendiri, pernahkah mama selama ini mikirin perasaan nani, hidup nani sudah di ujung tanduk kehancuran ma, bagai…mana…ti…dak han…cur…”. Ucapku terbata-bata, tak kuasa lagi lisan ini berucap, sehelai kain yang menutupi jasadku tampak basah oleh air mata, dada ini terasa penuh, sesak, duri menusuk-nusuk ulu hati, nyeri, pedih, perih bercampur menjadi satu, sakiiit sekali.
“Maaf sayang, maaf, kamu salah paham ?”.
Lagi-lagi ibunda yang kuhormati meminta maaf, mungkin hanya kata maaflah yang mampu ia ucapkan, atau perbendaharaan katanya sangat minim, hingga sulit sekali ia merangkai kata menjadi kalimat indah yang mungkin dengan kalimat tersebut hatiku bisa sedikit lebih tenang, tentram.
Oh mama, pura-pura tidak tahukah kau, atau…memang kau tak mahu tahu dengan keadaan anakmu yang layak disebut gembel ini, ragaku tak tersentuh air, mahkota kewanitaanku tak mengenal benda yang bernama sisir, perutku tak kemasukan nasi, jangankan nasi, air pun tidak, ludah adalah lauk makananku, tetesan embun air mata adalah minumanku, tidurku berbantal luka, berselimut duka, beralas lara, sejenak dunia mendadak gelap kurasa.
***
Malam larut datang menghampiriku, aku ingin menyapanya dengan tidur yang nyenyak, aku ingin bertemu dengan kekasihku dalam lelap tidurku, ingin sekali ku mengirim puisi cinta untuknya, akan ku sampaikan dalam goresan tinta cinta, aku sangat merindukannya, lebih merindu.
Mengingat bayangmu nun jauh disana
Pada waktu yang kian sempit
Dadaku nyaris terbelah
Perih melonglong sengit
Rinduku membuncah
Merobek langit
Kutitipkan puisi rindu untukmu
Pada nyanyian angin sayu, sendu
Agar hati tak kian pilu
Berharap kau pun merindu
I love you, I miss you……
Ku goyangkan tangan ini dengan lincah menulis senandung puisi kerinduan dengan hati kelam, jiwaku terperosok dalam ceruk jurang malam yang mencekam, sapaan angin mengajak kabut dingin, menyusupi pori-pori merontokkan tulang, tapi tak mampu runtuhkan sunyi, aku terdampar sendiri dalam keheningan rindu yang mengharu biru.
Ku pejamkan mata ini, namun tak terpejamkan, terhanyut dalam lamunan panjang , mengharap seberkas sinar kebahagiaan terpancar dari planet Pluto menghampiriku yang jatuh lunglai tertimpa kesengsaraan yang berkepanjangan.
Aku lelah berteriak, letih tertatih-tatih menahan rasa sakit yang luar biasa, seonggok tubuh kurusku lunglai, berjatuhan hingga ku terdampar di pagi yang sepi, penat terbakar amarah, ku ingin bersenandung kala senja tiba sembari untuk menorah pelangi pada langit yang mulai merekah merah kesumba.
Sampai kapankah aku harus menangis, menangisi kesengsaraan, kelukaan, kepedihan, kesedihan, sampai kapankah aku harus menanti, menanti ketidak pastian, menanti keputus asaan pergi meninggalkan aku yang tersesat dalam jurang kenistaan, pergi selama-lamanya.
Masihkah ada tempat dihatinya untukku yang lapuk ini, masihkah tersimpan namaku di lubang-lubang rongga dada bidangnya, mimpikah dia tentangku setiap malam datang menjelma, seperti aku yang setiap malam lengkap dengan gulitanya memimpikannya, selalu memimpikannya…?!?!?.
Tuhan…sampaikan salam rinduku padanya, satukan cinta kami dengan ikatan suci pernikahan jika masih tersisa perasaan disana, namun jika sebaliknya, lenyapkanlah bayangannya dari pikiranku, agar tak mengganggu hari-hariku. Akhirnya mataku pun mulai terpejam dan aku pun terhanyut dalam mimpi indah.
Aku berlari terus berlari di tepian pantai sekencang-kencangnya, ia mengejarku, ku tertangkap dalam tembakan peluru cintanya, ku tertawa riang penuh canda tawa, wajahku hangus terkena asap asmaranya, ia membawakanku sekuntum bunga mawar merah merekah indah, ku menerimanya dengan lapang dada, ku bahagia tiada terkira, kini aku dan dia menari-nari mengikuti arus ombak yang bergulir di pantai, sungguh indah kurasa, aku ingin selamanya seperti ini memadu kisah asmara berdua bersamanya.
Ku terjaga dari tidurku dengan hati galau, risau, kekecewaan berkecamuk dalam jiwa penuh lara, ku senandungkan tangisan lirih menyelimuti sesal dalam duka, aku kira cerita itu ada dalam dunia nyata, namun ternyata dugaanku salah besar, semua hanya mimpi, mimpi yang terlihat seperti nyata, pipiku basah oleh air mata.
Tiba-tiba...
“Aaaaa…aaaaa…”.
No comments:
Post a Comment