Monday, 16 May 2011

Aku, Kamu, dan Dia . . .

Aku, Kamu, dan Dia . . .

Oleh Kembang Anggrek
Kota Kenangan, Senin 12-4-2008

Hari ini, hujan deras mengguyur Kota Kenangan (Batu, Malang) tempat Tante Hera mengajariku tata cara mendisain gaun pernikahan dan baju-baju pesta. Aku sebut tempat ini sebagai Kota Kenangan, karena banyak hal yang dialami keluargaku di kota kecil ini. Selama dua tahun tante mengajariku banyak hal, tak lain karena beliu benar-benar jeli melihat potensi melukis yang aku miliki. Meskipun harus berlatih keras dengn mengikuti kursus-kursus yang tante jadwalkan untukku, aku tidak pernah merasa bosan dengan dunia yang terasa baru itu; selain karena aku ingin lebih eksis menyalurkan bakat yang sudah aku tekuni sejak kelas 2 SD.

. . . . . . .
Sejak dua tahun yang lalu setelah kelulusan MA di Ponpes al-Huda, aku diminta mengurus salah satu cabang Butik terkenal yang dikelola tante dan ayahku; sebuah usaha yang sudah berjalan 43 tahun lamanya. Banyak hal baru yang aku dapat dari usaha ini, berbeda jauh dengan doktrin-doktrin religi yang pernah aku tekuni di Pesantren. Tante Hera yang sudah aku anggap sebagai ibu kedua bagiku benar-benar serius mengelola usaha ini. Selain kaya raya, tante juga terkenal ramah dan dermawan. Sayangnya, beliau tidak memiliki keturunan lagi setelah suami dan anak pertamanya mendapat kecelakaan di Batu ketika hendak menjemput Tante yang sedang berlibur sekaligus mengecek perkembangan usaha butik kami disana.

Aku ingat sekali peristiwa yang sangat tragis itu. Keduanya mendapat musibah tepat di  pertikungan yang berjarak 150 meter dari area butik. Bus pariwisata yang tiba-tiba muncul membuat Om Arif tersentak dan membelokkan mobil yang ditumpanginya secara tiba-tiba. Belokan yang sangat kuat itu menyebabkan mobil tergelincir ke jurang dekat sungai yang berakhir dengan kematian Om Arif. Sedangkan mas Feri yang terluka parah segera dilarikan ke UGD Rumah Sakit terdekat. Selang dua hari dirawat inap, mas Feri menghembuskan nafas terakhir yang membuat Tante Hera sangat sedih dan terpukul dengan peristiwa ini; peristiwa yang benar-benar merenggut hati dan jiwanya.

Selama enam bulan, Tante Hera tidak pernah berbaur dengan sekitar. Beliau bahkan merasa terus dibayangi kejadian yang beliau anggap sebagai kesalahan terbesarnya sekaligus kesengajaan yang tidak akan pernah dimaafkan oleh almarhum suami dan anaknya. Ayah dan pihak keluarga terus mendorong dan menyemangati tante untuk tetap bertahan dan bersabar dengan terus mendoakan suami dan anaknya, karena hanya itulah yang  membuat keduanya tenang di alam sana. Peristiwa menyakitkan itulah yang membuat Tante meninggalkan rumah mewahnya di Semarang dan tinggal denganku di Kota ini; hanya keinginan untuk tetap bekerja mengelola butik dan mengenang suami maupun anaknya.

Waktu itu, aku masih sangat kecil untuk tau lebih detail peristiwa yang menimpa keluarga Tante Hera. Seingatku, pasca kematian Om arif, aku dijemput ayah di Pesantren dan langsung menjenguk mas Feri di Rumah Sakit. Aku tidak diperbolehkan menemui tante yang memang sedang syok dan terpukul dengan kecelakaan tak terduga itu. Sampai pada prosesi pemakaman mas Feri yang berlangsung hikmad, aku langsung dibawa ke Pesantren dan kembali sibuk dengan kegiatan-kegiatan disana. Ada sekelumit kesedihan yang menimpaku sejak kepergian kakak sepupuku itu, tanpa pernah tau adanya kesepakatan yang sudah terjalin antara keluarga ayah dan adiknya, Tante Hera, tentang masa depanku dan mas Feri yang sudah direncanakan sejak dua bulan aku ditempatkan di Pesantren. Kedua keluarga sepakat akan menjodohkanku dengan mas Feri setelah aku lulus MA dan dia sudah di bangku kuliah.


Aku bahkan baru sadar sekarang; setelah Tante memberiku peluang untuk mengurus usaha ini, setelah tante juga ikut tinggal denganku dan menyerahkan usaha butik di Semarang pada ibuku, setelah Om Arif dan mas Feri lenyap dari kehidupan kami, dan setelah dua tahun aku menekuni semuanya. Aku baru sadar bahwa perjodohan yang dulu pernah disepakati itu semata-mata dilakukan karena alasan bisnis keluarga. Tante Hera sangat berperan dalam disain gaun yang kami kelola, sedangkan ayahku cukup berpengaruh dalam permodalan dan marketing di berberapa relasi yang beliau bangun. Mengingat semua itu, aku sangat terharu dengan sikap dan kasih sayang Tante Hera yang benar-benar menganggapku seperti anaknya sendiri. Meskipun aku tidak banyak tau tentang kakak sepupuku mas Feri, setidaknya aku sudah pernah menjadi teman kecilnya waktu SD dulu. Bejalar dan bermain bersama di halaman rumahku... Sayangnya setelah lulusan SD, ibu ngotot ingin menyekolahkanku di Pesantren. Dan Ayah tidak punya alasan kuat untuk mencegah keputusan ibu yang memang sudah menjadi wasiat kakekku dulu, agar cucunya Aisya dimasukkan ke Pesantren setelah lulus SD!!.

Pesantren juga yang menjadikanku jarang bertemu mas Feri, bahkan mungkin aku akan sangat malu sekali ketika harus dipertemukan dengannya. Sehingga pertemuan ketigaku itu sampai pada kematian mas Feri yang menyedihkan itu. Kelas dua MTS aku harus menyaksikan kepergian mas Feri yang masih kelas 2 SMA. Sungguh peristiwa yang benar-benar mengharukan
. . . . . . .

"Assalamu 'alaikum", sapa seseorang yang terlihat basah kuyup karena kehujanan. Dari sikapnnya, dia nampak baik meskipun masih terlihat gugup dari cara bicara dan gerak tubuhnya.
"Maaf, saya Andre, adik kak Yuli... saya disuruh kak Yuli mengambil gaun yang sudah seminggu dipesan", lajutnya.
"Oowh... adiknya kak Yuli... iya, tunggu sebentar. Saya ambilkan gaunnya. Oowh iya lupa, silahkan duduk di depan...", balasku.

Aku pergi mengambil gaun yang menurutku sangat berbeda selama aku mendisain baju-baju di butik ini. Gaun pesanan Kak Yuli, seorang pengajar di SMA al-Irsyad. Meskipun sudah setahun dia menjadi langganan di butik kami, tapi aku belum pernah mendapat pesanan seistimewa ini; disain unik, sederhana tapi elegan. Sejauh ini, kak Yuli yang selalu menentukan dan mengaturku dalam mendisain gaun-gaun yang diinginkan teman-temannya. Tapi untuk yang satu ini, dia benar-benar memberiku kepercayaan utuh untuk mendisain Gaun pernikahan terbaik, "menurut cita rasa yang ku miliki"... Dia tidak banyak menentukan gaya dan model yang diinginkan seperti pesanan-pesanan sebelumnya, entah "kenapa...".

Aku mengambil gaun itu, membungkusnya rapi dan bergegas membawanya ke depan.
"Kak andre, ini...", sapaku memecahkan keheningan di ruang tunggu.
"Maaf sebelumnya, sekedar nanya, kok tumben kak Yuli tidak ikut datang sendiri untuk menjemputnya? Bisasanya dia datang bersama teman-temannya dan mencoba gaun ini disini", tambahku.
"Hmmm... sebenarnya kak Yuli sengaja menyuruhku menjemput sendiri gaun ini. Liat saja aku basah kuyup begini karena baru pertama kali aku datang ke kota ini, dan mencari-cari butik yang kak Yuli tunjukkan... Oh ya, ini ada surat buat Tante Hera dari kak Yuli...", sambil menjelaskan panjang lebar nasib buruk yang sedang menimpa tamu yang baru ku kenal itu,d ia terus mengelapkan tisu ke bajunya yang basah, kemudian mengeluarkan sepucuk surat dari dompetnya dan memberikan surat itu padaku.
"Oowh githu... waah maaf sekali ya kak... sampe basah-basah begini... kalo tau hujan turun, mending datang besok-besok adja, pas langitnya cerah, hehehe...", jawabku sambil memperlihatkan senyum prihatin padanya.
"Insya Allah, suratnya Aisya sampaikan ke Tante... Eh iya, sekalian bawa adja tisunya semua... Sambi dilap pas dijalan ntar...", lanjutku.
"Ya udah, aku pamit pulang... Senang sekali bisa mengenal Aisya... Tapi, kalo boleh kakak saranin, jangan sering-sering melamun... Ntar pelanggannya pada kabur...", sambil tersenyum lebar kak Andre mengucapkan salam dan pamit pulang.

Aku yang merasa bingung dan malu denga kata terakhirnya itu, hanya bisa diam dan kembali mencerna kata-kata yang sengaja dia ucapkan untuk menasehatiku. Mungkin saja, lamunanku tentang masa lalu Tante tadi membuatnya harus menunggu lama didepanku dengan kondisi basah kuyup, aku hanya tertawa cekikikan mengingat kembali nasehat kak Andre....

Sorenya...
"Tante, ada titipan dari kak Yuli..",. sapaku ketika Tante Hera sedang memilih kain untuk gaun yang baru di pesan Bu Erli, pelanggan setia kami.
"Oowh... Akhirnya datang juga surat itu..., ya udah sini... Aisya bacain adja suratnya. Biar Tante ngga dibilanng menyembunyiin sesuatu dari Aisya...", balas tante dengan tenang sambil terus fokus dengan tumpukan-tumpukan kain di depannya.

Aku yang merasa aneh dengan sikap tante itu, hanya bisa nurut dan membuka surat yang terbungkus rapi itu, dan mulai membacanya...:
"Assalamu'alaikum. Mbak Hera yang dicintai Allah, aku tepati janjiku hari ini... Aku kirimkan surat ini lewat adik sepupuku Andre yang "sengaja" datang untuk menjumpai Aisya. Sebenarnya Andre ingin ta'aruf dengan Aisya dari dulu, tapi aku tidak mengizinkannya sebelum aku bicara baik-baik dengan mbak Hera juga mas Zein, ayah Aisya... Ta'aruf itu sengaja dilakukan Andre, meskipun dia sudah pernah melihat Aisya dua tahun yang lalu, ketika KH musthafa menyerahkan piagam penghargaan kepada Aisya sebagai Santri Teladan di Ponpes al-Huda. Aan Subhan yang biasa dipanggil Guz Aan tak lain adalah Andre yang mengirimkan surat ini padamuu. Sekarang, aku hanya bisa berharap Aisya setuju dengan ini semua, termasuk "setuju" untuk menerima gaun pengantin yang aku pesan buat dia pakai nanti.... Trimakasih atas perhatiannya, mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah dariku...".
Ttd: Yuliana Mukarrom".

Setelah membaca surat yang sedang aku pegang itu, aku menatap lekat-lekat wajah tante Hera yang hanya menorehkan senyum bahagianya padaku... Sambil tak henti bertanya-tanya tentang Tamu tadi siang...:
"Gus Aan??! Bukannya dia putra sulung KH Musthafa, pengasuh PonPes al-Huda??! Dua tahun yang lalu dia pernah pulang ke Semarang setelah menyelesaikan S1nya, tapi... Bukannya dia masih di Kairo untuk melanjutkan studinya?!! Bagaimana ini??!  Apa aku harus menerima lamaran itu?! Dan kalo itu terjadi, apa aku harus ikut dia ke Kairo?!! Apa yang sebenarnya terjadi denganku??! Gaun yang aku disain itu...?! Oowh... Aku sangat bingung memikirkan semua yang terjadi dengan begitu singkat ini...".

.... (@_fa)

No comments:

Post a Comment