Oleh Zuraida
Senja telah pekat. Sementara aku berburu dengan waktu untuk memenuhi panggilan suci itu. Dimana-mana, panggilannya terdengar syahdu, bersatu dalam aliran darahku, mempercepat degub jantungku, hikmahnya perlahan menyusup dalam hatiku, mengakhiri hari yang melelahkan. Tapi, seperti hari-hari sebelumnya, aku tahu, aku tak akan dapat memenuhi seruan itu hingga seruan berikutnya berkumandang. Demikianlah, hariku selalu kosong, demikian pula hatiku.
Aku tak pernah menyalahkan Tuhan yang telah mengambil ibuku di saat aku belum matang dan tegap untuk dapat berdiri sendiri. Namun, beginilah hidupku setelah Ibu wafat, semuanya serba kosong dan rapuh. Tak ada lagi yang mengingatkanku atas seruan-seruan suci itu, semuanya tak pernah menyentuh hatiku lagi. Bagiku hidup hanyalah untuk mempertahankan hidup, mengumpulkan setiap keping rupiah yang tercecer dari langit. Aku yakin Tuhan-ku yang murah hati menyisihkannya untukku, tapi terlalu sedikit hingga tak mampu membuatku sujud untuk bersyukur kepada-Nya. Apakah aku salah? Tak ada yang mengingatkan aku mengenai salah atau benar.
Aku hidup berdua bersama adikku Yusuf di sebuah kontrakan kecil di daerah kumuh kota ini. Setiap keringat yang mengalir kala mengumpulkan rupiah-rupiah itu kudedikasikan untuk adikku, Yusuf. Dia adalah mutiara. Dia sungguh berbeda dariku. Budi bahasa Yusuf sangat halus dan Ia dianugerahi pikiran yang tajam. Selain itu, bagi Yusuf, sedikit rupiah saja mampu membuatnya bersyukur di setiap malam-malam pekat dan dingin, bersujud kepada Maha Pemberi yang ia yakini hingga kaki-kaki mungilnya terasa ngilu.
Dunia sungguh adil. Ia membuatku hidup berdampingan dengan Yusuf. Membiarkan keburukan bersanding dengan keindahan. Demikianlah kami hidup bersama semenjak kepergian Ibu untuk selama-lamanya.
Air mataku mengalir lagi membayangkan dua tahun yang telah Yusuf dan aku lalui dalam kesengsaraan. Aku bekerja banting tulang, siang dan malam untuk menjadikan Yusuf orang yang berpendidikan. Sementara Yusuf, ia selalu beribadah dan belajar sepanjang siang dan malam agar ia menjadi orang yang layak untuk mendapatkan rupiah yang banyak. Semua itu untuk mempertahankan hidup kami.
õõõ
Seruan suci itu terdengar lagi. Aku duduk di beranda masjid yang temaram. Kali ini aku tak lagi memburu waktu seperti hari-hari yang lalu. Kali ini, rasanya aku benar-benar ingin menghadap-Nya. Aku ingin bertanya tentang sesuatu yang membuat pikiranku tak menentu akhir-akhir ini.
Dinginnya air kran yang mengalir di sisi kanan masjid rasanya sedikit meredam kegundahanku. Dengan khusyuk, untuk pertama kalinya, setelah hampir dua tahun, aku merasakan bahwa air wudhu ini benar-benar menyucikan dari kotoran-kotoran duniawi. Untuk pertama kalinya, setelah kepergian ibu dua tahun yang lalu, aku larut dalam kekhusyukan takbir dan bersujud dengan segenap ketundukan hatiku. Rasanya seperti baru saja mengenal Tuhan.
Selesai shalat, aku duduk berdiam di sudut masjid menikmati ketenangan di dalamnya. Orang-orang masih terlihat khusyuk membaca al-Qur’an. Suara mereka sayup-sayup, sahut-menyahut, bersatu dalam sebuah dengungan yang membuat hatiku tersentuh. Ternyata telah dua tahun juga aku tidak mengaji dan baru kali ini aku ingat untuk mengaji.
“Assalamu’alaikum Arif, kenapa melamun?” sebuah suara memecah lamunanku.
“waalaikumsalam,” sahutku dengan gelagapan.
Pemuda berjaket kulit dan bercelana levis itu menyalamiku seraya duduk disebelahku. Namanya Tohir. Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Entah dari mana asalnya, tapi ia begitu ramah padaku. Kami pertama kali bertemu di beranda masjid ini, ketika aku-- seperti biasa termangu di beranda masjid saat azan berkumandang. Tohir menyapaku saat itu. Dalam perkenalan singkat kami saat itu, ternyata kami mengenali orang yang sama, salah seorang temanku waktu pengajian dua tahun yang lalu. Maka perkenalan kami berlanjut dengan berbagai topik pembicaraan yang lebih serius. Tohir bahkan menawariku sebuah proyek. Beberapa kali ia mengajakku untuk mengikuti kegiatan komunitasnya.
“Apa kabarmu, rif?” sapanya ramah.
“Alhamdulillah baik,” sahutku sambil memaksakan tersenyum.
“Gimana, sudah dipikirkan tawaranku kemaren, rif?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng perlahan sambil menatapnya dengan perasaan tidak enak. Aku memang terus memikirkan percakapan kami beberapa hari yang lalu, tapi aku belum memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa memutuskannya sendiri, karena itu aku ingin mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Yusuf.
“Ini memang keputusan yang tidak mudah, kawan, kau harus memikirkannya baik-baik. Tapi yakinlah kau akan mendapatkan kompensasi yang tidak main-main dalam hal ini,” Tohir berusaha meyakinkanku dengan suara yang direndahkan sambil melirik sekitarnya. Ia memang tidak ingin ada yang mengetahui tentang pembicaraan kami ini.
“Aku perlu waktu lagi untuk memikirkannya baik-baik,” sahutku pelan.
Tohir pasti membaca keraguan dalam suaraku. Ia kembali mencoba meyakinkanku, “berdoalah kawan dan mintalah petunjuk yang terbaik. Kalau kau perlu bantuan, kau bisa berkonsultasi dengan pimpinan proyek kami. Aku akan mengantarmu untuk menemuinya..”
Aku menatapnya tersenyum dan berucap singkat, “baiklah, terima kasih.”
Beberapa saat kemudian azan isya berkumandang. Percakapan kami pun terputus seakan terhipnotis oleh khidmat suasana. Suara azan itu menggema ke seluruh penjuru masjid, menggetarkan setiap sendi bangunan, menggetarkan hatiku juga. Untuk beberapa saat lamanya, hatiku yang dahaga seolah-olah terpuaskan oleh sejuknya seruan sujud tersebut.
“Aku tidak memiliki maksud apa-apa, Arif. Kemarin kau bilang kau sangat membutuhkan uang yang banyak untuk pendidikan adikmu. Hanya itu jalan yang bisa kau lakukan. Kami tidak akan memaksamu dalam hal ini, kau sendiri yang harus memutuskannya. Setelah kau memutuskan untuk melakukannya, kami berjanji, kami akan menjamin kehidupan adikmu. Pikirkanlah baik-baik,” Tohir berkata setengah berbisik setelah azan isya berkumandang. Sebelum ia meninggalkanku di sudut masjid itu, ia berbisik, “datanglah malam ini di pertemuan kita, kalau kau mau aku akan menjemputmu.”
Pikiranku kembali berkecamuk. Ketenangan yang dibawa kumandang azan seketika lenyap. Aku mengurungkan niatku untuk mengikuti shalat berjamaah di masjid itu. Dengan bergegas aku melangkah ke luar masjid, berjalan tanpa tujuan. Aku kira aku akan menemukan jawaban atas kegundahanku.
Langkah kakiku dan kusutnya pikiran membawaku berhenti di depan pintu kontrakan reot, tempat tinggal Yusuf dan aku selama hampir dua tahun ini. Bau selokan yang mengalir di depan kontrakan yang biasanya menggangguku, kini seakan tak tercium lagi. Beban pikiran rasanya telah menumpulkan seluruh panca inderaku.
“Assalamu’alaikum!” teriakku parau seraya mengetuk pintu berlapis seng itu perlahan.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh…” sahut Yusuf dengan suara khas anak-anaknya yang melengking. Pintu berlapis seng itu berderit dan tertarik dengan malas ke dalam. Cahaya lampu minyak dari dalam rumah perlahan menyorot ke arah mataku. Bayangan tubuh kecil Yusuf menyembul dari balik pintu.
“Abang sudah pulang…?” tanyanya dengan riang. “Mari masuk, Yusuf sudah buatkan makanan untuk Abang,” tambahnya lagi seraya menarik tanganku perlahan ke arah meja makan kami yang tepat berada di depan pintu masuk utama.
Aku mengikutinya dengan langkah malas. Sesampainya di depan meja makan, mataku terbelalak melihat menu masakan yang tidak biasa. Ada ayam goreng, tumis kangkung, nasi hangat, udang goreng dan beberapa jenis buah yang tak pernah kami cicipi selama dua tahun ini karena harganya mahal.
Kontan, emosiku langsung meledak, “Dari mana kamu dapatkan semua ini? Kamu tidak mencuri kan Yusuf??” suaraku meninggi sambil menatapnya dengan tatapan menuduh.
Yusuf tergagap, ada pancaran ketakutan yang tersirat di matanya yang bening. “Astaghfirullah……..tidak Bang, Yusuf tidak mencuri! Ini rezeki dari Allah, Bang…!” suaranya bergetar.
“Jadi dari mana semua makanan mahal ini?!” suaraku semakin meninggi.
“Yusuf dapat hadiah dari sekolah Bang karena juara kelas. Abang tidak lupa kan kalau hari ini Yusuf bagi rapor…” ucapnya lirih.
Astaghfirullah, bisikku dalam hati. Aku lupa kalau hari ini Yusuf bagi rapor dan seperti biasa ia selalu menjadi yang terbaik. Aku tidak seharusnya menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Yusuf. Aku benar-benar menyesal.
“Maafkan Abang ya Yusuf, abang lagi banyak pikiran…Abang tidak bermaksud seperti itu,” ucapku dengan suara lembut sembari meraih pundaknya. “Mana rapornya, sini Abang ingin lihat. Selamat yaa Yusufku, bapak dan ibu pasti sangat bangga padamu!”
Wajah mungilnya mengulas sebuah senyum. Lalu dengan bergegas ia mengambil rapornya dan menyerahkannya padaku. Aku meraihnya dan membukanya dengan takjub. Nilai-nilai itu begitu indah tertata dalam rapornya. Berkali-kali, dalam hati aku berbisik, Yusufku benar-benar luar biasa, seraya mengelus kepalanya dengan lembut.
“Bang, ada lagi….” Ucapnya dengan senyum dikulum. Rupanya ini semua belum cukup, masih ada kebahagiaan yang akan Yusuf bagi padaku. “Minggu depan, Bapak menteri akan menyerahkan beasiswa untuk Yusuf, karena Bu Guru bilang Yusuf salah satu murid terbaik di kota ini. Abang datang ya, temani Yusuf di acara itu…” suaranya terdengar sangat antusias.
Aku menatapnya sambil tersenyum. Sebuah senyum kebanggaan atas Yusufku. Rasanya tak ada kata yang layak lagi kuucapkan untuk menyanjungnya. Yusuf-ku benar-benar luar biasa. Aku rela melakukan apapun untuk kesejahteraannya.
Aku meraih tubuh mungilnya dan mendudukannya di pangkuanku. Malam itu, kami duduk berdua, berlama-lama di meja makan hingga kenyang dan habis cerita yang kami bagi. Kemudian aku membawanya ke alun-alun kota untuk menikmati malam dan merayakan prestasinya itu. Aku membelikannya sekantong es tebu manis dan jagung bakar kesukaannya. Tanpa bicara, ia menikmat keduannya dan menikmasi kebersamaan kami. Kami duduk bersisian menatap laut yang permukaannya berkerlap-kerlip memantulkan lampu malam.
Dalam hati aku berharap bahwa malam ini tidak akan pernah berakhir. Aku akan tetap bersama Yusuf selamanya. Aku akan melihatnya tumbuh dan berkembang menjadi Yusuf yang hebat dan kaya raya. Tapi mungkin aku juga tidak akan dapat melihatnya lagi. Cukuplah bagiku hanya dengan membayangkannya saja. Maka aku akan tersenyum untuk Yusufku selamanya. Sejak malam itu, aku pergi dari rumah dan tak pernah melihat Yusufku lagi.
õõõ
Hotel itu telah ramai oleh puluhan wartawan. Aku yakin tak lama lagi orang penting itu akan datang. Beberapa kali kulirik jam murahan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sepuluh menit lagi, bisikku dalam hati. Aku semakin gelisah. Jantungku berdebar tak karu-karuan. Tiba-tiba rasanya aku kedinginan sehingga kurapatkan jaket kulitku ke dada.
Ini tidak akan lama, bisikku dalam hati. Setelah ini, keadaanku akan jauh lebih baik dan Yusufku akan mendapatkan semua yang diinginkannya. Ini semua kulakukan untuk Yusuf, bisikku meyakinkan diri.
Tak lama kemudian, sang menteri dan rombongannya pun datang. Itu dia targetku, bisikku dalam hati. Para wartawan sibuk bergerombol mengerumuni orang-orang penting itu. Sementara para petugas hotel dan petugas keamanan sibuk mengendalikan keadaan. Mereka pun akhirnya memasuki ruang aula dimana acara bersama menteri itu akan dimulai. Aku tidak begitu mengetahui persis tentang kegiatan tersebut, yang aku ketahui hanyalah bahwa aku harus bergegas ke belakang panggung begitu sang menteri memasuki aula.
Sejauh ini semuanya tampak mudah. Dalam hitungan detik, setelah sang menteri dan rombongannya masuk ke ruangan, aku telah mengambil posisi di belakang panggung dengan tanpa dicurigai oleh siapapun. Tentu saja, mereka terlalu sibuk dengan orang-orang penting itu.
Tak akan lama lagi, bisikku lirih dalam hati. Kepalaku terasa berkunang-kunang membayangkan rasa sakit kematian yang tak pernah aku rasakan. Tapi, semua pasti akan baik-baik saja pikirku. Semua ini kulakukan untuk Yusufku.
Detik-detik berjalan begitu cepat. Keringat dingin juga mengalir tak terbendung di dahiku. Aku takut. Tapi sudah terlambat untuk mundur. Aku tarik nafas dalam-dalam. Kututup mataku perlahan hingga perasaanku jauh lebih tenang. Kemudian kubuka mata perlahan, dari balik tirai di belakang panggung, entah mengapa, rasanya aku seperti melihat Yusuf berdiri di atas panggung bersama sang menteri di hadapannya. Sang menteri menepuk-nepuk pundaknya perlahan sambil tersenyum. Sang menteri menyerahkan sebuah amplop putih panjang kepada Yusuf dan Yusuf meraihnya dengan tersenyum. Sayup-sayup terdengar sebuah suara yang mengumumkan bahwa Yusuf adalah salah satu siswa berprestasi yang berhak menerima beasiswa dari sang menteri. Itu bukan bayangan. Itu nyata. Yusuf disini dan beberapa waktu yang lalu ia telah memintaku datang untuk menemaninya. Tapi, sayangnya, aku sama sekali tak mengingatnya.
Dadaku sesak, lidahku kelu, kepalaku terasa semakin berkunang-kunang. Yusufku disini, di atas panggung ini bersama sang menteri, dan sebentar lagi, bom ini akan meledak. Mataku nanar, bayangan Yusuf dan sang menteri pun menghilang. Suara terakhir yang terdengar adalah suara ledakan besar. Rasa sakit. Lalu semuanya hampa.
THE END
No comments:
Post a Comment