Oleh Jumita KPI
Kesalahan terbesarku adalah ketika aku memberitahu namaku kepadanya pada saat kali pertama bertemu, ketika aku menjadikan dia sebagai teman sekaligus sahabatku. Kesalahan terbesarku adalah ketika aku menyelipkan rasa yang istimewa kepadanya, ketika aku menerima komitmen pacaran dengannya. Dan kesalahan terbesar sekaligus kebodohanku adalah ketika di malam itu, pria bertopeng itu merampas kesucianku, merenggut keperawananku, merobek rasa kemanusiaanku. Pria itu tak lain adalah Danar, kekasihku sendiri.
Malam itu, aku dan Danar merayakan ulang tahun pertama usia pacaran kami. Aku begitu bahagia karena pria yang pernah aku kagumi sebagai pria tertampan di persimpangan jalan Merah Delima itu, akhirnya bisa aku gandeng dengan titel ‘pacarku’.
Di sebuah Villa, dihiasai taman bunga di sekitarnya, bintang malam gemerlapan, bulan indah separuh lingkaran, sayup belalang malam bersahut-sahutan, seolah ikut merasakan apa yang kami rasakan, bahagia!
Kue coklat dengan tinggi setengah meter bertuliskan namaku dan namanya, ‘Dina&Danar’ telah ada di hadapan kami berdua, tersaji di atas meja berbentuk hati. Satu lilin mungil menerangi ruangan yang telah disetting remang-remang oleh Danar.
Kebahagiaan malam itu adalah kebahagiaan milikku saja, kebahagiaan yang aku yakin belum pernah satu orang pun merasakannya. Kebahagiaan ini merupakan hadiah spesial dari sang pencipta untukku. Mungkin terkesan begitu berlebihan tapi memang itulah yang aku rasakan saat itu.
Jarum pendek yang dimiliki jam mewah di dinding sudah menempati posisi angka 12, kurang sedikit. Sementara jarum panjangnya seakan berusaha mengejar jarum pendek tadi. Perlombaan antara dua jarum jam itu tak terelakkan, sehingga pada titik finish, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Dua-duanya bersamaan tiba pada angka 12. Aku pikir, ini adalah perlombaan yang dari awal sedikit pun tidak ada niat menjatuhkan lawan, kedua pihak tidak ada yang mempunyai ambisi untuk menang. Buktinya dua jarum itu tetap akur menghitung masa, mungkin hingga masa itu tiada…!
Sementara aku dan Danar sudah siap melakukan ritual sakral, ritual yang akan kami gelar nantinya untuk setiap tahun. Danar mengambil pisau bergagang merah jambu itu, lalu perlahan mata pisau itu menyentuh permukaan kue yang telah terpatri nama kami di atasnya. Namun belum sempat kue itu terpotong, Danar melepaskan pisau itu dari genggaman tangannya.
“Sayang, sebentar ya. Aku ke belakang bentar ngambil kado untuk kamu”
Danar berlalu dari hadapanku menuju ke ruang belakang. Dua menit…tiga menit…tujuh menit…dua belas menit…hingga lima belas menit Danar belum juga kembali. Kado apakah gerangan yang dipersiapkan Danar untukku hingga harus melewatkan lima belas menit bersamaku. Hatiku mencoba menerka-nerka, rasa penasaranku akhirnya tak mampu kubendung. Aku menyusul Danar ke belakang, tapi tidak ada Danar di sana. Sepi, hening dan gelap.
“Sayang..! kamu di mana?...Danar…!”
Namun tidak ada suara yang berusaha menjawab seruanku, masih tetap hening, sepi, dan gelap. Dari arah belakangku sepasang tangan yang kekar merangkulku keras. Lalu berusaha menjamah leherku. Aku pun berteriak, tapi sayang di Villa yang jauh dari perumahan penduduk itu tak ada satupun yang bisa mendengar teriakanku. Kedua tangan itu berusaha menutup kedua mulutku. Aku berontak! Kakiku berusaha menendang ke belakang, namun sia-sia. Sepertinya sosok yang ada di belakangku ini memiliki energi yang lebih dariku, dan fisik yang lebih kuat di banding aku. Aku berusaha membalikkan tubuhku demi melihat siapa sebenarnya yang telah memperlakukan aku sekasar itu. Seorang pria bertopeng, aku tak bisa melihat wajahnya. Namun, sepertinya aku mengenalinya. Ya….wangi parfum itu, itu adalah wangi parfum Danar. “Apa benar ini Danar?”, suara hatiku bertanya.
“Kamu siapa??? Apa maumu???”
Namun, pria bertopeng itu hanya diam, sementara posisiku yang berhadapan dengannya membuat ia semakin bernafsu. Ia terus mencoba menjamah wajahku, lalu bibirku, hingga akhirnya…mahkotaku tercabik, berdarah dan sakit….! Keperawananku dirampas, pria bertopeng yang biadab itu adalah Danar. Ia meninggalkan aku yang terbaring sendirian. Seluruh tubuhku sakit, bahkan yang paling sakit adalah segumpal darah yang ada di dalam dadaku, yakni hati.
Kenapa Danar memperlakukan aku seperti ini? aku yang mencintainya, aku yang telah menghambakan segenap jiwaku untuknya, aku yang dengan tulus mengasihinya. Bukankah di awal pacaran ia berjanji untuk menjagaku, menjaga kesucianku, menjaga nama baikku? Bukankah begitu??? Apakah ini kado spesial yang jauh-jauh hari telah ia persiapkan untukku?
“Danar, Aku berjanji aku akan membuatmu lebih sakit dari ini”
Dendam sudah kusemai, akhirnya berakar kuat dan tumbuh dengan subur di hatiku. Sejak kejadian itu, Danar tak pernah kutemukan lagi. Menurut teman-temannya, Danar ke Australia bersama keluarganya. Namun aku tak percaya, naluriku mengatakan bahwa Danar tidak ke mana-mana, tidak ke Australia dan tidak pula ke negara lainnya. Dia ada di sini, hanya saja ia bersembunyi dariku.
Tiga bulan sudah kejadian pahit itu berlalu, dan tiga bulan juga bibit yang telah disemai Danar bercokol di rahimku. Aku ingin sekali memusnahkan janin ini, janin haram yang tidak aku inginkan. Namun aku ingat, setiap anak mempunyai hak hidup, aku tidak berhak merampas kehidupan janin ini, aku tidak berhak menghalangi ia lahir dan menghirup udara segar, lalu menikmati masa kecilnya dengan bermain kelayangan bersama temannya, atau bermain boneka lucu di kamarnya. Aku juga tidak ingin ia melewatkan masa-masa remajanya nanti, menikmati bangku pendidikan yang akan membawanya menjadi manusia berilmu. Aku juga tak ingin merampas saat-saat bahagia ketika ia menemukan pendamping hidup yang ia cintai. Aku tidak tega merampas semua itu darinya. Dan aku tahu, setiap bayi yang lahir semuanya suci, semuanya dalam keadaan fitrah. Janinku ini tidak haram, hanya cara ia hadir yang tidak benar. Namun bukan kesalahan dia, tapi kesalahan orang yang kelak sama sekali tidak pantas ia sebut ‘ayah’.
Bebanku semakin berat, ketika tetangga mencemooh dan membicarakan tentang kehamilanku di luar pernikahan. Bahkan tidak hanya mereka, keluargaku, ayah dan ibuku, kakak dan kedua abangku juga tidak mau menerimaku lagi. Teramat kotorkah aku? Begitu menjijikkankah tubuhku?
Dendamku semakin menjadi-jadi kepada Danar. Sementara, janin yang kukandung semakin membesar. Sekarang sudah 8 bulan, hanya satu bulan lagi, ya…hanya satu bulan lagi janin ini akan hadir membawa sejuta kenangan pahit dari Danar. Membawa sejuta ingatan akan perbuatan Danar kepadaku. Kuharap, ketika besar kelak, ia tak akan pernah tahu bagaimana ia bisa hadir di dunia ini. Semoga!
Perutku nyeri, sebentar-sebentar ingin buang air kecil. Dan semakin lama sakit perutku semakin tak bisa ditahan. Digubuk tua yang terpencil dari desa, aku hidup sendiri, terasing dari keluarga, dan sekarang aku hanya bisa menjerit sekuat tenaga tanpa ada satu orang pun yang mendengar. Desakan rasa sakit membuat aku semakin kencang berteriak, dan akhirnya…Aku melihat seorang lelaki muda tersenyum kepadaku, dan ia mengulurkan tangannya, lalu membawa aku pergi bersamanya. Anehnya, ketika aku bangkit dari tempat tidurku, sedikitpun tak ada rasa sakit yang kurasakan, sama sekali tidak ada! Aku berjalan dituntun oleh lelaki muda berjubah putih itu tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun, langkahku terhenti ketika lelaki itu tersenyum kepadaku dan memintaku agar menoleh ke belakang. Aku pun menurutinya. Betapa kagetnya aku, seorang wanita tergelatak bersimbah darah di atas tikar daun itu. wajahnya sama persis dengan wajahku. Hanya saja wanita itu terlihat lebih pucat, ia tidak lagi bernafas, dan rupanya ia sudah tak bernyawa. Dan akhirnya aku mengerti, nafasku telah habis, nyawaku telah dijemput, nadiku berhenti bekerja, dan jantungku telah berhenti berdetak, dan dendamku juga telah berakhir seiring nafas yang terakhir kuhembuskan.
No comments:
Post a Comment