“Orang Kalbar Makan Orang?”
Oleh: Yusriadi
Siang kemarin, seorang guru di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Pontianak yang mengikuti praktikum penulisan karya ilmiah, datang ke ruangan saya.
Katanya, dia mampir ke tempat saya untuk memastikan apakah emailnya berisi makalah, sudah diterima atau belum. “Kebetulan ke Pontianak”.
Saya sangat mengapresiasi semangatnya. Meskipun sudah cukup berumur, sekitar 40-an, namun semangatnya belajar sangat tinggi. Dia tambah semangat karena saya mengurus makalah-makalah mereka (dia dan guru-guru lain), menjadi sebuah buku. Dia juga ingin tulisannya diterbitkan.
Panjang cerita, kami loncat ke tulisan pengalaman hidup dia. Guru itu sudah menulis pengalamannya sebagai guru, tetapi, tulisan itu pendek. Satu halaman saja. Saya menyarankan dia menulis panjang, agar bisa diterbitkan. “Kalau mau diterbitkan, minimal banyaknya, 5 halaman, satu spasi. Baru enak dilihat,” kata saya.
Dia meminta saran, apa-apa yang harus ditulis. Saya mengambil selembar kertas dan menulisnya.
“Kapan pertama kali menjadi guru? Di mana bertugas? Apa nama sekolah? Bagaimana keadaan sekolah waktu itu? Bagaimana rasanya pertama kali mengajar? Apakah memiliki pengalaman sekolah yang sesuai? Bagaimana sambutan murid-murid? Bagaimana keadaan mereka? Bagaimana sambutan orang tua? Bagaimana masyarakat?
Apa yang paling mengesankan selama mengajar? Bagaimana hasilnya? Murid-murid sekarang bagaimana?
Guru itu membaca catatan saya. Lama kemudian dia berujar.
“Saya datang dari Jawa Timur. Saya mengajar sejak tahun 1993”.
“Wah, itu menarik. Bapak dari Jawa datang ke Kalimantan Barat tahun 1993 itu. Keadaan waktu itu berbeda dibandingkan sekarang, ‘kan?” Saya memberinya semangat.
“Iya. Jauh Pak”.
“Lalu bagaimana kesan bapak waktu pertama kali datang ke Kalbar?”
“Ya… waktu pertama kali dengar nama Kalimantan Barat, terbayang satu tempat yang penduduknya orang Dayak”.
“Ada yang bilang, orang Kalimantan makan orang,” tambahnya.
Wow, saya tiba-tiba meloncat kaget. Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Lama…. Dahulu, sewaktu saya ke Jakarta tahun 1989 saya juga pernah ditanya orang: “E, benar ga’ ya, orang Kalimantan makan orang?”
Kesan orang di Jawa sana memang begitu.
Waktu itu saya memberitahu mereka, “Saya ndak pernah dengar cerita itu. Masa’ si orang makan orang?”
“O, mungkin maksudnya orang makan urang,” kata orang itu menimpali. Urang katanya berarti udang.
Sekian lama, setelah saya di Pontianak, saya tidak pernah mendapat pertanyaan itu. Saya juga tidak pernah mendengar orang mengatakan hal itu. Hingga, kemarin itu, ketika saya dan guru itu membicarakan kesan awal dia tentang Kalbar di tahun 1990-an.
“Seram ndak, Pak?”
“Iya juga. Tapi, saya pikir kalau saya tidak mengganggu orang, kalau saya baik, masak sih orang mau makan saya?”
Kenyataannya, dia aman. Dia diterima di Kalbar, dan dia betah di sini. Bahkan dia sudah menjadi orang Kalbar, dan tidak akan lagi menjadi orang Jawa Timur.
“Nah, hal-hal seperti itu, masukkan saja dalam tulisan bapak nanti. Pasti sangat menarik dibaca orang-orang kelak, beberapa puluh tahun yang akan datang”.
Saya yakin begitu karena kelak cerita begini pasti akan menjadi nostalgia, romantisme. Ya, romantisme. Cerita ini bisa dibaca generasi yang akan datang, setelah yang empunya cerita ‘berpulang’ menghadap-Nya.
Pak guru itu kemudian pulang membawa catatan saya. “Saya akan menulisnya”. *
No comments:
Post a Comment