Wednesday 6 April 2011

Ketika Mas Pergi

 KETIKA MAS PERGI
Oleh: Zuraida

Pernahkah kau merasa, ketika kau terbangun di pagi hari suamimu meninggalkanmu seorang diri di ranjang. Tidak hanya itu. Dia tidak hanya pergi secara fisik, tetapi dia pergi bersama cintanya padamu.
Inilah yang kurasakan pagi ini. Mas pergi, bahkan sebelum azan subuh sempat mengusik tidurku. Dia membawa beberapa helai pakaiannya bersamanya. Tak ada salam apalagi pesan untukku pada malam sebelumnya. Bagaimana rasanya menurutmu?
Pagi ini aku hanya duduk terdiam di sisi tempat tidur. Aku tak merasakan tubuhku, bahkan tak kurasakan pula sinar matahari yang menembus celah-celah jendela kamarku yang masih tertutup. Perasaanku hanya hampa dan nyeri yang mendalam. Di telingaku dapat kudengar suaraku sendiri yang berkata lirih.. Mas pergi dan aku tak tahu sebabnya.
Jam merah muda yang tergantung di dinding kamarku menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku masih enggan beranjak dari kamar. Tanganku perlahan menyisir sisi ranjang tempat Mas biasanya berbaring, berharap Mas masih di situ. Tapi nyatanya Mas tidak ada, Mas telah pergi membawa travel bag-nya.
Aku harus bagaimana?? Tiba-tiba aku menjadi gugup. Mas telah pergi dan aku tak tahu kapan ia akan kembali, bahkan mungkin ia tak akan kembali. Dengan tangan bergetar kugeledah bantal, guling dan seprai tempat Mas biasa berbaring. Tempat itu masih terasa hangat, hangat seperti tubuh Mas. Aku bahkan dapat merasakan lekukan pada seprainya akibat menahan bobot tubuh Mas. Tiba-tiba tanganku mendapati sepucuk kertas putih terlipat di sela-sela lipatan seprai.
”Ini dari Mas..” ucapku lirih. Dengan tergesa-gesa aku membuka lipatan kertas itu dan kulihat dengan jelas tulisan Mas di situ.

Untuk Dinda,
Maaf sebelumnya Dinda, jika Mas harus pergi. Kamu tidak salah apa-apa. Hanya saja Mas harus berpikir lagi tentang cinta Mas kepada kamu. Mas butuh waktu sendiri.
                                                                                                           
                                                                                                Tertanda
                                                                                                   Mas


Aku merasa duniaku runtuh seketika dan tak ada penyangga. Aku rapuh. Aku merasa sendiri. Apa yang harus kulakukan tanpa Mas-ku. Mas-ku telah pergi dan meninggalkanku sendiri. Aku meremas perutku, hanya itu yang dapat kurasakan. Kasihan janinku yang baru berumur tiga bulan telah ditinggal ayahnya. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan aku tak merasakan perutku lagi.

*  *  *
Aku tersadar pada hari berikutnya. Tak ada yang kurasakan selain kehampaan. Meskipun saat kuterbangun aku tak sendirian lagi, ada ibu dan bibiku yang menungguiku di sisi tempat tidurku. Wajah mereka terlihat cemas menatapku. Beberapa kali mereka bertanya ini dan itu, tapi aku sama sekali tak menyahut, lagi pula rasanya aku tak mendengar apapun, tidak juga suara ibu dan bibiku.
Beberapa saat lamanya aku memandangi mereka bergantian, dengan tatapan mata tak mengerti. Tiba-tiba aku merasakan kehilangan yang amat dalam hingga mataku nanar. Aku ingat bahwa Mas ku tidak ada lagi. Tidak ada di kamar ini, tidak ada di rumah ini, tidak ada di sisiku lagi. Berikutnya, kudapati diriku sedang meratap sejadi-jadinya di pangkuan ibu.
Kau tahu rasanya, rasanya benar-benar sepi, hampa dan kelam. Aku benar-benar terluka sekaligus merindukan Mas ku. Dimanakah dia sekarang? Tidakkah dia memikirkanku lagi?? Aku kembali meremas perutku, mencoba menerka akankah janinku turut merasa sedih bersamaku. Andai Mas tahu bahwa aku telah mengandung anaknya, dia pasti tak akan meninggalkanku. Tapi Mas tak tahu. Mungkin ia telah terlalu lama menunggu. Andai Mas bisa lebih bersabar lagi, semua ini pasti tak akan terjadi.
”Sabar Nong, orang sabar disayang Allah dan jika Allah menyayangimu.. Ia akan memberikan yang terbaik bagimu. Mungkin Mas mu sedang jenuh, nanti ia pasti kembali. Sabar ya.. sudah jangan menangis lagi... lebih baik kamu istirahat..” sayup-sayup terdengar suara ibu yang bagaikan hujan di tengah kemarau panjang.
Aku tak menjawab, hanya isakan tangis yang makin menjadi. Aku sedih mendengar kata-kata ibu. Kupikir, andai ibu dapat merasakan apa yang kurasakan beliau pasti mengerti mengapa aku menangis. Selama ini, aku hanya bersama Mas dan hanya mengabdi pada Mas. Ketika ia pergi... apa yang harus kulakukan??
*  *  *
Hari-hari tak ada bagiku, hanya aku dan kehampaan yang semakin pekat menguasaiku. Aku tak ingin lagi di kamar. Aku bahkan tak tidur dan tak ingin makan. Aku tak inginkan apapun. Meski ada ibuku yang baik yang setia menemaniku, bagiku aku tetap sendiri.
Ketika malam datang, aku terjaga sambil duduk termangu di sova ruang tamu seolah menanti kehadiran Mas yang tak kunjung datang. Seringkali ibu menyuruhku masuk ke kamar untuk tidur, tapi tak ku hiraukan. Ketika pagi menjelang, ibu mendandaniku agar aku terlihat bersih serta menyuruhku makan. Setelah itu, aku akan berjalan ke luar rumah, entah kemana hingga senja. Ibuku yang baik selalu menemaniku dengan setia.
Dalam hatiku hanya Mas, selalu saja Mas. Kupikir dialah orang yang paling setia padaku. Dialah orang yang akan menemaniku sepanjang usiaku. Dialah segalanya bagiku. Hingga akhirnya hari ini, kepercayaanku padanya terkoyak dan aku belum siap menerimanya. Aku rapuh. Tak ada apapun atau siapapun tempatku bersandar.
Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, aku berjalan menelusuri entah jalan mana, bersama ibu yang mengikutiku dalam diamnya. Aku berada pada titik dimana kurasa itulah saatnya aku berakhir. Tak ada pikiranku tentang ibu atau tentang apapun. Pikiranku hanya dipenuhi oleh satu hal yaitu Mas dan Mas kutak akan pernah kembali ke sisiku lagi.
Dari kejauhan di seberang jalan tempatku berdiri, kulihat sebuah masjid besar yang ditutupi rerimbun pepohonan di halamannya. Aku sepertinya mengenal bangunan itu. Seingatku itu adalah Masjid Mujahidin. Tiba-tiba, pikiranku mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu di tempat itu. Aku mengingat diriku begitu cantik saat itu dan Mas, aku melihatnya di sisiku dengan wajah berseri. Ia begitu tampan. Dan aku yakin saat itu dia sangat mencintaiku. Di masjid itulah aku dan Mas menikah.
Mendadak aku semakin sedih, pilu, mengingat kini Mas tak ada lagi di sisiku dan ia pun tak mencintaiku lagi. Mas kamu dimana??? Teriakku dalam hati. Aku tak akan bisa tanpa Mas..aku ingin Mas seperti yang dulu...Mas yang mencintaiku... samar-samar kulihat sosok Mas di seberang sana, berdiri di antara rerimbunan pepohonan di halaman masjid itu. Aku tersentak. Mungkinkah itu Mas?? Tanpa pikir panjang aku berlari menyongsong Mas. Dalam pikiranku hanya Mas dan aku akan meminta ia untuk kembali padaku.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku berlari mendapati Mas. Aku tak mendengar apa-apa dan rasanya pun tak melihat apa-apa, hanya Mas di seberang jalan sana. Tapi entah mengapa, tempat Mas berdiri rasanya makin jauh saja. Hingga sesuatu yang keras kurasa menghantam sisi tubuhku. Aku ambruk, tapi masih dapat kulihat sosok Mas tersenyum padaku kemudian lenyap. Bersamaan dengan itu, duniaku luntur dalam kepekatan yang lebih hampa. Sayup-sayup kudengar suara ibu memanggil-manggil namaku. Tapi tak ada dayaku. Dan temanku hanya senyap yang mengerikan.
*  *  *
”Mas...mengapa kau tinggalkan aku??? Kamu di mana Mas?”
Hening.
”Bersamaku ada anak kita...Bukankah kita sudah menantikannya selama sepuluh tahun? Ketika ia hadir mengapa kau pergi Mas??”
Tetap hening.
”Mas................. aku tidak bisa hidup tanpamu............ aku mohon kembali Mas...”
Nong, jangan bersedih. Kamu tidak sendirian..” seorang wanita menghampiriku entah dari mana. Ia hampir seperti ibu. Wajahnya lembut dan menenangkan.
”Aku sendirian Bu, suamiku meninggalkanku...” jawabku lirih.
”Apakah kau hanya memiliki suamimu di dunia ini?” wanita itu bertanya dengan lembut.
”...Aku...aku punya ibuku. Tapi aku sangat mencintai suamiku dan dulunya suamiku sangat mencintaiku Bu..entah mengapa sekarang suamiku meninggalkanku... aku tidak ingin hidup lagi Bu, tak ada gunanya tanpa Suamiku” keluhku dengan isak yang tertahan.
”Hanya itu?”
Hening.
”Kau punya Yang tak akan pernah meninggalkanmu Nong... apa kau lupa? Dia selalu memperhatikanmu. Dia tahu segala hal tentangmu. Dia Maha Sempurna, tak ada cela sedikitpun pada-Nya. Kau seharusnya lebih mencintai-Nya dari pada Masmu. Kau telah mengingatnya Nong?” kata-katanya mengalun perlahan di telingaku.
Aku terpana menatap wanita itu. Beberapa saat aku tertegun mencerna kata-katanya yang begitu dalam. Ia berusaha mengingatkanku pada sesuatu yang telah lama kulupakan.
”Meski Mas mu telah meninggalkanmu atau mungkin nanti ibumu tak ada lagi disisimu....Dia tak akan pernah meninggalkanmu, apapun yang terjadi... asalkan kau mau mengingat-Nya Nong...”
Hening. Aku hanya terdiam.
”Allah tidak akan pernah meninggalkanmu....” ucap wanita itu lagi sambil tersenyum.
*  *  *
Hari ini genap tiga bulan kepergian Mas. Hari ini pula pertama kali aku membuka mataku, setelah beberapa hari koma akibat kecelakaan itu. Awalnya, aku agak terkejut ketika dinyatakan bahwa janinku tidak bisa diselamatkan lagi. Tapi berikutnya aku telah merasa jauh lebih baik. Aku tidak lagi berlarut-larut sedih karena kepergian Mas. Aku juga tidak lagi menyesali apa yang telah terjadi. Aku telah ingat sesuatu bahwa aku punya Allah yang tak akan pernah meninggalkanku sendiri selama aku mengingat-Nya.
Hmmm, rasanya telah lama hatiku tak sedamai ini. Ya Allah, maafkan aku yang telah melupakan-Mu hingga terlalu bergantung pada makhluk-Mu. Berikutnya, aku tidak akan pernah melupakan-Mu lagi.
Bismillahirrahmanirrahim......

THE END

No comments:

Post a Comment