Dakwah dengan Pena;
Mengingat Kembali Fitrah Kehambaan dan Kemanusiaan
Oleh: Zuraida
Keimanan bagaikan ombak di lautan. Tidak pernah dalam kondisi yang sama setiap waktunya. Keimanan itu terkadang pasang dan terkadang surut. Ketika keimanan itu sedang pasang, maka seolah-olah seorang hamba berapa pada posisi terdekat dengan Tuhan-nya. Sedangkan sekali waktu jika keimanan itu surut, seorang hamba tidak berarti sedang berada dalam posisi yang jauh dari Tuhan-nya, melainkan seorang hamba hanya sedang lupa akan kehambaannya. Surut dan pasangnya keimanan seorang hamba menandakan adanya sebuah dialektika dalam iman sehingga keimanan itu harus senantiasa diperbaiki.
Dalam upaya perbaikan keimanan secara terus-menerus, maka seorang hamba memerlukan hamba yang lain untuk senantiasa mengingatkan, saling menasehati dalam hal kebaikan dan peningkatan keimanan. Hal tersebut juga menggambarkan bagaimana semestinya interaksi seorang hamba dengan hamba lainnya, interaksi kemanusiaannya. Disitulah letaknya urgensi dakwah yaitu nasehat-menasehati dalam hal kebaikan.
Salah satu metode dalam dakwah yang paling indah dan tidak terkesan menggurui adalah dengan cara berdakwah melalui tulisan. Melalui tulisan, dakwah dapat disampaikan secara halus dan tidak terkesan menghakimi. Hanya hamba-hamba Tuhan yang merasa benar-benar memerlukan pencerahan yang akan memilih untuk membaca tulisan-tulisan dakwah. Dengan demikian, dakwah melalui tulisan terkesan lebih mengena dan penuh makna bagi mereka.
Fitrah Manusia adalah Kebaikan
Pada hakekatnya, setiap hamba memiliki kecenderungan untuk berada dalam kebaikan. Itulah yang disebut sebagai fitrah. Setiap manusia diciptakan dengan fitrah kesucian. Dengan demikian, setiap manusia berkesempatan untuk menerima cahaya Tuhan yang senantiasa menuntun kepada kebaikan. Sebagaimana firman Allah:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah yang lurus, fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan terhadap penciptaan di atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Maka orang-orang yang ingin kembali kepada-Nya, dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah; yaitu orang-orang yang telah memecah-belah agama mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Qs. Ar-Rum [30]: 30-32)
Dengan asumsi bahwa semua umat manusia senantiasa memiliki kecenderungan dalam kebaikan, hal tersebut berarti setiap manusia memiliki keinginan untuk berlaku lurus, jujur, baik dan benar. Setiap manusia berpotensi untuk memainkan peran kehambaanya dan kemanusiannya dalam kefitrahan. Namun secara manusiawi, berbagai faktor dapat saja mengalihkan manusia dari potensi kefitrahan tersebut. Selain itu, cahaya kefitrahan tersebut terletak jauh di dalam hati nurani setiap manusia, sehingga terkadang menjadi sulit untuk ditemukan. Cahaya fitrah dalam hati nurani manusia itulah yang disebut dengan kesadaran berketuhanan.
Dalam konteks ini, menurut Budi Munawar-Rachman, kesadaran berketuhanan pada turunannya akan membawa konsekuensi pada kesadaran moral dan kesadaran sosialnya. Kesadaran moral yang baik berkonsekuensi kepada baiknya aktualisasi peran kehambaannya. Sedangkan kesadaran sosial yang baik berkonsekuensi kepada aktualisasi peran kemanusiaannya. Lebih jauh mengenai hal tersebut, Rasullullah Saw pernah bersabda dalam salah satu haditsnya:
“Setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H. R. Bukhari dan Abu Hurayrah Ra.)
Nasihat-menasihati dalam Kebajikan
Tuhan menciptakan manusia hakikatnya dengan kecenderungan untuk menjadi baik, berkesadaran ketuhanan dan selalu berorientasi kepada kebenaran, jika manusia mampu bertindak berdasarkan kesadaran hati nurani. Namun, kecenderungan itu tidak selamanya menjamin manusia untuk senantiasa mengingat Tuhan-nya, senantiasa berbuat baik terhadap sesamanya dan senantiasa menjunjung tinggi kebenaran. Hal ini karena kesadaran berketuhanan sangat jauh letaknya di dalam hati nurani manusia, sehingga terkadang manusia tak mampu untuk mendengarkan tuntunannya. Manusia dengan segala ketidaksempurnaannya sebagai makhluk Tuhan terkadang lalai dan lupa sehingga seringkali tak mendengarkan kesadaran hati nurani untuk tetap menjadi baik. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya nasehat-menasehati dalam kebaikan menjadi sangat urgen.
Manusia secara individu terkadang tak mampu mengingatkan dirinya sendiri, sehingga sangat besar peran manusia lainnya untuk senantiasa mengingatkannya agar tetap berada dalam kebaikan. Inilah bentuk dari dakwah, yaitu saling mengingatkan, memberi masukan, menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Untuk itu, manusia juga dianjurkan untuk berkumpul dengan manusia yang juga mampu untuk saling mengingatkan, agar senantiasa berada dalam kefitrahan. Demikianlah salah satu cara manusia dalam menjaga kefitrahannya.
Terkait dengan kewajiban manusia untuk saling mengingatkan sesamanya dalam hal kebaikan dan kebenaran, Allah berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Qs. An-Nahl: 125)
Firman Allah tersebut menerangkan mengenai cara dalam menyampaikan nasehat dan mengingatkan sesama manusia. Jika seorang hamba ingin memberikan nasihat kepada sesamanya, maka berikanlah nasihat melalui hikmah dan pelajaran yang baik. Sedangkan jika seorang hamba ingin menegur dan mengingatkan sesamanya yang sedang berada pada jalan yang menyimpang dari kebaikan dan kebenaran, maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik pula. Lebih lanjut Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-Imran: 104)
Adapun hikmah dan pelajaran yang baik kepada sesama dapat berupa anjuran untuk melakukan suatu kebajikan dan larangan untuk melakukan suatu kemungkaran. Upaya nasihat-menasihati dalam kebajikan tersebut merupakan kewajiban dari setiap hamba Tuhan agar senantiasa berada dalam kebaikan. Dan berdasarkan firman Allah Swt di atas, manusia-manusia yang demikian adalah manusia yang beruntung di dunia dan di akhirat.
Berdakwah dengan Pena
Nasihat-menasihati antar sesama manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Upaya ini secara populis disebut dengan dakwah. Namun, ketika menyinggung kata dakwah, maka stereotype yang tercipta adalah ceramah, tabligh, khutbah atau yang sejenisnya. Padahal jika diinterpretasikan dakwah mengandung makna yang sangat luas.
Substansi dari dakwah sebenarnya adalah menyampaikan, nasihat-menasihati, menganjurkan untuk melakukan hal-hal yang baik serta mengingatkan untuk meninggalkan hal-hal yang munkar. Dengan demikian, akan amat sempit pemahamannya jika dakwah hanya diidentikkan dengan hal-hal yang disebutkan di atas. Padahal tanpa disadari ada banyak hal yang telah dilakukan manusia dengan substansi di atas yang mengandung nilai-nilai dakwah sehingga dapat dianggap sebagai dakwah, misalnya siaran radio, iklan di tv, film-film yang mengandung nilai-nilai religius, slogan-slogan Islami di baju, stiker dan tulisan-tulisan dalam berbagai bentuk karya tulis.
Salah satu bentuk dakwah yang paling menyentuh adalah dakwah melalui karya tulis yang dapat berbentuk cerita non-fiksi, karya tulis ilmiah, puisi dan yang sejenis. Mengapa demikian? Menurut Asep. S. Muhtadi, secara sadar atau tidak ternyata lebih banyak audience (pembaca) yang tersentuh karena membaca dakwah persuasif yang disajikan dalam bentuk buku. Dakwah model ini sangat halus dan persuasif. Secara tidak sadar audience akan dibawa untuk membentuk opsi-opsi tertentu dalam fikirannya sesuai dengan tujuan penulis.
Ada begitu banyak contoh bentuk-bentuk dakwah lewat tulisan yang muatannya sangat mempengaruhi dan akan diingat pembacanya. Sebagai contoh, sastra ‘Di Bawah Lindungan Ka’Bah’ yang ditulis oleh Hamka, dimana nilai-nilai religius keislamannya sangat mempengaruhi para pembacanya dan sang penulis pun dikenal hingga kini, meskipun ia telah tiada. Contoh lain, sebut saja karya fenomenal Habbiburrahman El-Sirazi penulis novel ‘Ayat-ayat Cinta’, yang mampu membuat pembacanya menangis tersedu-sedu karena kehalusan dan kedalaman hikmahnya. Tentunya masih banyak lagi karya-karya fenomenal dari dakwah melalui tulisan yang tak dapat disebutkan satu per satu.
Sebuah fakta tak terbantahkan mengenai keunggulan berdakwah melalui karya tulis adalah umur eksistensinya yang panjang. Dalam artian, selama orang-orang masih membaca dan menyimpan buku tersebut, maka selama itulah nilai-nilai dakwah yang terkandung di dalamnya akan tetap diingat dan dapat mempengaruhi pembaca. Selain itu, menurut beberapa riset yang pernah dilakukan dalam ilmu komunikasi menunjukkan bahwa efek psikologis dakwah melalui tulisan lebih besar dan berpeluang untuk mempengaruhi perilaku pembaca.
Berdakwah melalui tulisan juga menyajikan nilai-nilai dakwah dalam bentuk penyajian pemikiran yang lebih rapi dan sistematis. Sehingga jika pada pembacaan yang pertama pembaca ternyata tidak mampu memahami pemikiran penulis, maka si pembaca dapat mengulanginya berkali-kali. Pembaca juga tidak akan merasa dihakimi melalui dakwah ini, melainkan diberikan opsi untuk pencerahan yang diharapkan oleh pembaca.
Dakwah melalui tulisan memiliki tolak ukur kesuksesan berupa pemahaman pembaca terhadap pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan dan lebih jauh mampu mengintervensi pemikiran pembaca sesuai dengan tujuan yang diharapkan penulis. Dengan demikian, diperlukan kepiawaian penulis untuk dapat menggunakan pilihan kata yang mampu menyampaikan secara lugas pesan dan nilai-nilai dakwah yang ingin disampaikan. Dan tentunya pesan yang disampaikan dalam tulisan tersebut tidak kelur dari konteks dan nilai-nilai keislaman. Selain itu, tentunya penulis harus memiliki pengetahuan mumpuni mengenai keislaman agar apa yang disampaikan adalah nilai-nilai dakwah yang akurat dan tidak menimbulkan ambiguitas serta menyesatkan pembacanya.
Dengan berbagai kelebihan dakwah melalui karya tulis dan dengan ditambah kepiawaian penulis dalam mengolah kata sebagai alat penyampai pesan, dakwah melalui tulisan diharapkan dapat sangat efektif dalam upaya nasihat-menasihati dalam kebajikan dan mengingatkan manusia kepada fitrahnya dalam kebaikan. Dakwah yang baik adalah dakwah yang dapat disampaikan secara persuasif, penuh makna dan mendalam, sehingga dapat senantiasa diingat dan dipahami, bahkan diaktualisasikan oleh pembacanya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah terbaik adalah dengan perbuatan, memberi contoh untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang buruk akan ebih efektif untuk dapat dijadikan contoh oleh orang lain. Oleh karena itu, sepiawai dan sehebat apapun seseorang melakukan dakwah dalam bentuk tulisan, harus juga disertai dengan perilaku dan moralitas yang baik dan dapat dicontoh dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang terpenting dalam berdakwah tidak hanya menasihati atau mengingatkan orang lain, tetapi yang lebih utama adalah mengingatkan diri sendiri untuk selalu mendengarkan hati nurani dan senantiasa mengingat kefitrahan diri. Sebagaimana firman Allah Swt berikut ini:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali-Imran: 110).
*Keterangan
Tulisan ini asli dan tidak ada perubahan dari penulis aslinya. Bila ada EYD atau kata yang salah atau kurang tepat sedianya dikoreksi dan berikan masukan saran atau kritikan melalui dinding komentar blog ini.
No comments:
Post a Comment