KETIKA HAWA NAIK TAHTA
(Studi KritisGender dan Kepemimpinan Kaum Hawa Perspektif Islam)
Oleh: Zuraida
Membincangkan kaum hawa (perempuan) tak akan pernah ada habisnya. Bahkan, disebutkan oleh para pengamat bahwa keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia adalah kaum hawa. Telah ada banyak pembahasan tentang hawa, mulai dari penciptaanya hingga berbagai dinamika kehidupannya, namun tak satupun menemukan bahasan yang tuntas menyeluruh. Dengan demikian, isu seputar kaum hawa dan tuntutannya terhadap kesetaraan status dan kehidupan sosial kemasyarakatan (gender) tak akan pernah menjadi isu yang kering (out of date).
Isu-isu seputar kaum hawa juga tak pernah sepi dari kontroversi, terutama jika dilihat melalui perspektif agama (Islam). Pemahaman Islam yang dimensional dan frame pemikiran masyarakat yang dipengaruhi oleh kultur dan kebiasaan yang berbeda-beda menjadi salah satu penyebab maraknya kontroversi seputar kaum hawa. Terkadang apa yang dianggap lumrah oleh kultur dan kebiasaan, belum tentu sesuai dengan pandangan agama, dan apa yang dianjurkan oleh agama terkadang tidak bersesuaian secara kontekstual dengan kultur dan kebiasaan. Oleh karena itulah, selalu diperlukan dialog yang bijak mengenai isu-isu seputar kaum hawa agar kaum hawa sendiri dapat menentukan identitas dirinya dalam kehidupan.
Berkaitan dengan dunia perpolitikan saat ini, khususnya Pilwako (Pemilihan Wali Kota) Pontianak yang akan segera berlangsung, kaum hawa juga ingin menunjukkan kiprahnya melalui ikut serta sebagai salah satu calon wali kota Pontianak. Naiknya kaum hawa menjadi salah satu pemimpin dalam sebuah kota, propinsi bahkan negara, sebetulnya bukanlah hal baru, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Megawati, Benazir Buto dan pemimpin-pemimpin hawa lainnya telah menjadi pendahulu. Namun, yang selalu menjadi kontroversi adalah pandangan agama (Islam) mengenai kepemimpinan hawa tersebut. Perbedaan perspektif agamawan maupun ilmuan menyebabkan pembahasan ini tak menemui titik temu yang pasti, apakah dalam perspektif Islam kaum hawa diperbolehkan menjadi pemimpin, sebagian agamawan ataupun ilmuwan memperbolehkan dan sebagian lainnya tidak memperbolehkan.
Kaum Hawa dan Isu Gender
Sejarah mencatat bahwa peradaban-peradaban sebelum turunnya Al-Qur’an sangat mendeskriditkan kaum hawa. Kaum hawa dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak perlu dibicarakan, tidak perlu dipikirkan han dan kewajiban dalam hidup ini. Hawa ibarat perhiasan, namun tidak dianggap berharga. Mereka yang kebetulan lahir di dalam kastil-kastil akan menjadi hiasan di sana, disimpan didalamnya dan jika diperlukan dapat digunakan sesuka hati. Sedangkan jika kebetulan mereka lahir jauh di luar tembok-tembok kastil/ istana, maka nasibnya akan lebih mengenaskan lagi, bahkan dianggap tak berharga, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah.
Ssebagai contoh, dalam Wawasan Al-Qur’an (Quraish Shihab, 2003: 297) dipaparkan bahwa dalam ajaran Yahudi, martabat hawa sama dengan pembantu dimana ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran Yahudi tersebut menganggap kaum hawa sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari Surga.
Demikianlah stigma kaum hawa sebelum turunnya Al-Qur’an. Namun, tampaknya stigma tersebut telah sangat mendarah daging, seakan-akan pencitraan tersebutlah yang memang benar mengani kaum hawa, bahkan setelah turunnya Al-Qur’an.
Perlakuan-perlakuan kurang manusiawi terhadap kaum hawa pada masa sebelum turunnya Al-Qur’an berdampak pada pengklasifikasian hawa sebagai makhluk kelas dua pasca turunnya Al-Qur’an. Seorang penulis novel asal Inggris mengungkapkan mentalitas kaum hawa dengan ungkapan, meskipun perempuan itu penting dan diperlakukan dengan baik, mereka tetaplah menempati posisi nomor dua setelah laki-laki (Ali Hosein Hakim, et, al, 2005: 54).
Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas setelah turunnya Al-Qur’an tidak begitu banyak merubah kehidupan sosial kaum hawa. Kaum hawa memang tidak lagi didiskreditkan secara fisik dengan cara boleh dibunuh atau dianiaya, namun kaum hawa tetap saja dibatasi dengan kesenjangan dalam sosial kemasyarakatannya. Misalnya, stereotype dalam masyarakat bahwa yang lazimnya bekerja hanya laki-laki sedangkan kaum hawa sebaiknya hanya di rumah saja dan lain sebagainya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, sebuah upaya penyetaraan posisi kaum hawa dalam pandangan sosial kemasyarakatan menjadi sangat urgen. Kebutuhan inilah yang kemudian menjadikan gender sebagai sebuah isu sentral dalam perjuangan makhluk kelas sosial kedua ini.
Pemakaian istilah gender untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anne Vakley, yang diartikan sebagai suatu konsep tentang sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) yang dibentuk secara sosio-kultural (Dadang Anshori, dkk, 1997). Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam gender ini adalah hubungan antara adam dan hawa dalam kaitannya dengan status, peran, dan interrelasi keduanya yang sederajat. Adapun yang diusung dalam isu gender ini adalah pemahaman bahwa kaum hawa dan kaum adam memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajuban masing-masing untuk diakui, dianggap sama pentingnya dalam kaca-mata sosial dan budaya. Sebagai contoh, jika kaum adam berhak mendapatkan pendidikan, maka hawa pun memiliki hak yang sama.
Dalam ideologi gender, terdapat pengklasifikasian teori yang berkaitan dengan konsep feminis dan maskulin, yaitu teori nature dan nurture (A. Nunuk Murniati, 2004). Teori nature yaitu teori yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara hawa dan adam disebabkan oleh perbedaan biologis saja. Sedangkan teori nurture menganggap bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungannya.
Kedua klasifikasi teori tersebut kemudian yang membentuk pola pikir para pejuang gender (baik laki-laki maupun perempuan) bahwa pada dasarnya kaum hawa (perempuan) dan kaum adam (laki-laki) adalah sama dalam frame sosial dan budaya atau kedudukannya di dalam masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, subordinasi terhadap kaum hawa tidak beralasan, meskipun wahyu-wahyu (kitab-kitab suci keagamaan) pra turunnya Al-Qur’an tidak menganggap kedudukan kaum hawa penting di tengah-tengah masyarakat. Yang membedakan hawa dan adam hanyalah kondisi biologisnya saja dan bagaimana individu hawa maupun adam melakukan interaksi fisik maupun pemikiran dengan lingkunganya. Jadi tidak masalah jika hawa menaiki tahta dalam sebuah kerajaan ataupun menjadi tokoh-tokoh teratas dalam sebuah komposisi kemasyarakatan, selama masing-masing (hawa maupun adam) mampu bersaing dan memiliki kompetensi dibidangnya.
Status Kaum Hawa dalam Pemikiran Islam
Islam memandang kaum hawa sebagaimana kaum adam, masing-masing jenis tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaanya. Kaum adam dan hawa diciptakan Allah sebagai mitra yang diberi tanggung jawab untuk melestarikan jenis manusia dan memelihara kehidupannya. Keduanya mengemban amanah untuk mengelola alam semesta beserta isinya. Kaum hawa diberikan hak dan kewajiban seperti halnya kaum adam, kepada mereka ditempatkan perintah dan larangan Allah seperti halnya kepada kaum adam, kepada mereka pula diberikan pahala atau siksaan seperti halnya kaum adam. Dalam pandangan Islam, hawa bukanlah musuh/ lawan adam, sebaliknya hawa adalah pelengkap adam dan adam adalah pelengkap bagi hawa. Hawa adalah bagian dari adam dan adam adalah bagian dari hawa. Oleh sebab itu, maka keduanya (adam dan hawa) ini memiliki hubungan yang sangat erat. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Qs. At-Taubah: 71)
Ayat di atas menerangkan bahwa orang yang beriman kaum adam maupun hawa itu menjadi teman satu sama lainnya dan keduanya melaksanakan perintah Allah, sehingga di hadapan-Nya mereka menikmati status yang sama dan keduanya berhak mendapatkan rahmat Allah Swt, dan di sisi lain keduanya juga diharapkan saling membantu dalam mencapai suatu tujuan yang baik.
Secara sistematis, Ali Hosein Hakeem (2005) dalam bukunya, mengungkapkan bahwa di dalam Islam sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Qur’an, terdapat prinsip dalam membeda-bedakan hamba-hambaNya, prinsip pertama adalah kedekatan kepada Allah, prinsip yang kedua adalah hak-hak yang sama dalam hubungannya dengan alam, prinsip ketiga adalah tempat dalam struktur sosial, prinsip keempat adalah keberagaman dalam kesatuan, dan prinsip kelima adalah dunia penciptaan yang bersifat permanen dan sempurna meski beragam.
Prinsip pertama adalah kedekatan kepada Allah. Terkait dengan prinsip ini, bahwa hal yang membedakan kaum hawa dan kaum adam hanyalah keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt. Semakin besar keimanan dan ketaqwaanya kepada Allah, maka semakin dekat ia kepada Penciptanya, tidak perduli apakah ia berasal dari kaum adam maupun kaum hawa. Dengan kata lain, adam maupun hawa memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk mencapai kesempurnaan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt, sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat berikut ini:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 35)
Oleh karena itu, secara jelas Al-Qur’an menegaskan bahwa pada dasarnya adam dan hawa itu memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Namun, kemudian bila Allah membedakan kepada masing-masing pihak dengan amal perbuatan yang berbeda. Itu bukan karena Allah menganaktirikan kaum hawa, tapi karena disesuaikan dengan fitrahnya masing-masing, yang dalam segi fisiknya dapat dilihat secara jelas.
Prinsip yang kedua adalah hak-hak yang sama dalam hubungannya dengan alam. Adapun landasan dari prinsip ini, sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu ayat yang berbunyi:
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya.” (Qs. Al-Jatsiyah: 13)
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa Allah telah menciptakan alam beserta isinya bagi manusia (baik kaum adam maupun hawa) untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan untuk menjalankan agama Allah dan senantiasa melaksanakan konsekuensi untuk merawat dan melestarikannya.
Prinsip yang ketiga adalah tempat di dalam struktur sosial. Sebagai khalifah di muka bumi, baik hawa maupun adam memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat disekitarnya, dimana mereka hidup dan bersosialisasi. Sebagaimana kaum adam yang berperan aktif dalam menjalankan hak dan kewajiban sosialnya, kaum hawa juga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (Qs. An-Nisa: 1)
Ayat di atas menjelaskan tentang asal dari adam dan hawa, bahwasannya adam dan hawa berasal dari sumber yang sama, dengan demikian tidak seorangpun baik adam maupun hawa yang lebih tinggi derajatnya atas yang lain di alam ini. Maka tidaklah benar jika hawa di anggap makhluk kelas dua karena tidak ada yang membenarkan superioritas kaum adam dari dimensi manapun. Dan sebagai implikasinya adalah persamaan status adam dan hawa dalam partisipasi dan kedudukan sosialnya.
Prinsip keempat adalah keberagaman dalam kesatuan. Meskipun terdiri dari entitas yang beragam, dunia memiliki satu kesatuan fundamental (yang paling mendasar). Dengan kata lain, pandangan tentang dunia ini meyakini bahwa dunia yang dihuni manusia merupakan sesuatu yang beragam dan kompleks, yang pada saat bersamaan berkarakter tunggal dan identik. Sebagaimana yang diungkapkan Al-Qur’an:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (Qs. Al-Hujurat: 13)
Jika dikaitkan dengan keberadaan adam dan hawa, konteks ayat tersebut di atas sangat sesuai dengan keberagaman yang terdapat pada adam dan hawa, dimana adam dan hawa masing-masing diciptakan di antara spesies-spesies Tuhan yang berbeda. Namun demikian, keduanya berasal dari satu sumber yang sama yaitu Allah Swt.
Prinsip kelima adalah dunia penciptaan bersifat permanen dan sempurna meski beragam. Dalam konteks keberadaan adam dan hawa, prinsip kelima mengandung pengertian bahwa masing-masing adam dan hawa memiliki kemutlakan dalam penciptaan secara fisiknya dan dengan membawa kesempurnaan khusus pada masing-masing adam dan hawa. Adam memiliki kesempurnaan khusus yang hanya dimiliki oleh kaum adam, demikian pula halnya dengan hawa yang memiliki kesempurnaan khusus yang hanya dimiliki kaum hawa. Demikianlah meskipun dari jenis yang sama (adam maupun hawa) yaitu manusia, mereka tetaplah berbeda. Di sinilah hakikat penciptaan adam dan hawa untuk saling melengkapi dan bekerja sama.
Dari kelima prinsip di atas, dapat disimpulkan bahwa selain perbedaan dalam penciptaan biologis dan keahlian-keahlian khusus yang hanya dimiliki oleh hawa maupun adam, tidak ada lagi yang menjadi perbedaan antara hawa dan adam. Berbagai potensi yang terkait dengan hubungan horizontal dan vertikal mungkin dimiliki oleh adam maupun hawa, termasuklah potensi untuk menjadi pemimpin atau memimpin sesuatu asalkan memiliki kemampuan dalam bidangnya.
Bolehkah Hawa Menjadi Pemimpin?
Berbicara tentang pemimpin dan kepemimpinan, maka kita seakan memasuki wilayah yang mutlak patriarki, dimana wilayah tersebut adalah otoritasnya kaum adam dan kaum hawa tidak lazim membicarakannya apalagi berkeinginan untuk menjadi seorang pemimpin.
Realitas yang terjadi di lapangan adalah keberadaan kaum hawa yang mulai eksis merambah hampir di segala bidang kehidupan sebagai suatu konsekuensi dari diskriminasi yang telah mengakar berabad-abad lamanya, mulai dari kepala RT (Rukun Tetangga), kepala sekolah, walikota gubernur hingga kepala negara telah diduduki kaum hawa. Namun yang menjadi permasalahan adalah, adakah legitimasi agama (Islam) yang dapat mendukung realitas yang ada. Sebagaimana kaum adam yang perilaku-perilakunya sering mendapat legitimasi dari agama.
Salah satu faktor yang dihadapi legitimasi agama (Islam) terhadap kaum hawa dari segi historis adalah pusat sejarah agama Islam yang berawal dari Timur, tempat dimana marginalisasi kaum hawa di segala bidang ekonomi, sosial, dan budaya masih sering terjadi (Farid Esack, 2002: 137). Namun, terlepas dari itu semua, secara substansi Islam dan ajarannya tidak pernah memarginalkan kaum hawa.
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian ini, bahwa berbicara tentang pemimpin dan kepemimpinan selalu menjadi wilayah mutlak kaum adam, agama juga telah memberikan legitimasi terhadap hali ini melalui ayat-ayat berikut ini:
“Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. Al-Nisa: 34) dan “Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/ istri) satu derajat (lebih tinggi).” (Qs. Al-Baqarah: 228)
Dari kedua ayat di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa hak kepemimpinan secara prioritas adalah diserahkan kepada kaum adam. Secara mutlak, kepemimpinan dalam rumah tangga adalah milik kaum adam/ suami. Hal tersebut dipertegas lagi dengan menyebutkan derajat kaum adam yang ditinggikan sebanyak 1 derajat sebagai suami dalam rumah tangga.
Menurut Quraish Shihab (2003), hak kepemimpinan menurut Al-Qur’an dibebankan kepada suami/ kaum adam dalam rumah tangga disebabkan oleh:
a. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Bagaimana hak kepemimpinan kaum wanita dalam bidang politik?
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, bahwa adam dan hawa memiliki kesempatan yang sama dalam segala hal asalkan memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidangnya. Yang membatasinya hanyalah dari segi biologis dan kemampuan-kemampuan khusus yang hanya dimiliki hawa atau adam saja.
Meskipun sebagian besar ulama fiqh secara pasti untuk menolak ide kepemimpinan perempuan karena menganggap perempuan tidak berkompeten dalam hal ini. Namun, peluang ijtihad tetaplah terbuka lebar.
Kepemimpinan dalam konteks ini dapat penulis bedakan menjadi dua yaitu kepemimpinan bagi diri sendiri dan kepemimpinan kolektif, dimana kepemimpinan ini berfungsi memimpin orang lain dan memberikan tauladan yang baik dan benar kepada orang lain.
Kepemimpinan bagi diri sendiri merupakan kewajiban bagi adam maupun hawa, terlepas dari ada atau tidaknya kompetensi yang dimiliki individu, karena setiap diri adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dan akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah Swt. Oleh karena itu kepemimpinan jenis ini menuntut pada kualitas individu yang sempurna dan hubungan vertikal yang mapan dengan penciptanya.
Sedangkan kepemimpinan jenis kedua adalah kepemimpinan yang tidak hanya mengedepankan kualitas individu yang sempurna bagi diri sendiri tetapi juga sebagai tauladan bagi orang lain, serta keseimbangan antara hubungan vertikal dan horizontal. Kepemimpinan jenis ini juga menuntut pertanggungjawaban kepada sang pencipta dan pertanggung jawaban kepada umat yang dipimpin. Dan sebaik-baiknya pemimpin yang patut dicontoh adalah Rasulullah Saw sebagai pemimpin diri sendiri dan pemimpin umat/ bangsa.
Dalam konteks yang berlaku saat ini kepemimpinan kaum hawa telah merambah kebidang-bidang yang sangat luas, tidak hanya sekadar memimpin diri sendiri tetapi kiprah kepemimpinan kaum hawa telah menjadi sebuah profesi yang menuntuk kaum hawa untuk mendedikasikan hampir seluruh daya dan upayanya untuk meningkatkan kompetensi dalam bidang kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan inilah yang sebenarnya sering menjadi kontroversi, karena dengan motivasi kepemimpinan seperti ini, kaum hawa sering kali melupakan fitrahnya sebagai istri ataupun ibu.
Sebagai contoh, wanita yang menjadi kepala negara atau yang akan segera dihadapi adalah kaum hawa yang mencalonkan diri sebagai walikota dalam pilwako Pontianak kali ini. Tentunya harus ada aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam melakukan tindakan tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa kaum hawa memiliki peran pokok berupa perann domestik sebagai istri juga ibu yang sangat bertanggung jawab akan suami dan anak-anaknya. Hal ini tidak berarti menafikkan peran bapak dalam sebuah rumah tangga, namun secara emosional, ibu atau istri cenderung memiliki kedekatan emosional yang tinggi dengan anak-anaknya. Karena bagaimanapun juga kaum hawalah yang menyusui dan melahirkan mereka sehingga merupakan suatu kewajaran jikalau anak-anak akan lebih dekat kepada ibunya. Selain itu, penyebabnya adalah sifat-sifat alamiah kaum hawa yang terkadang tidak dimiliki oleh kaum adam, seperti kelembutan, perhatian, pengertian, dan lain sebagainya.
Hal ini menjadi dilema ketika kaum hawa lebih memilih untuk berkiprah di bidang kepemimpinan di luar lingkungan rumah tangga (kiprah publik). Sementara peran domestik sebagai istri dan ibu menjadi terabaikan. Tidak bisa ditawar lagi, bahwa peran domestik tersebut tetap harus diemban dengan atau tanpa pelaksanaan peran publik. Jika tidak maka hawa akan dianggap menyimpang dari fitrahnya sebagai perempuan yang membuatnya berbeda dari kaum adam.
Dalam hal ini, kita berbicara permasalahan peran ganda kaum hawa. Terkadang konsepsi peran ganda ini terkesan tidak adil kepada kaum hawa itu sendiri, karena bagaimanapun juga, hawa dapat menjadi pemimpin di luar lingkungan rumah tangga jika peran domestiknya telah terlaksana. Sedangkan kaum adam tanpa terbebani tetap memiliki keleluasaan untuk berkiprah di sektor publik.
Di sinilah letaknya kebijaksanaan ajaran Islam. Secara sadar atau tidak, sebetulnya kaum hawa memiliki peran yang lebih besar dengan dampak yang besar jika mereka berkiprah di bidang domestik. Mengapa demikian? Islam lebih mengutamakan wanita untuk berada di rumah untuk mendidik keturunanya secara maksima, baik dan benar. Karena dengan pendidikan yang maksimal, anak-anak keturunanya akan memiliki potensi dan keterampilan yang memadai yang mampu memberi kontribusi yang besar bagi bangsa dan agamanya. Jadi secara tidak langsung, istri sekaligus ibu tersebut telah memberi kontribusi berdampak sosial melalui anak-anaknya.
Kembeli ke permasalahan awal bolehkah wanita menjadi seorang pemimpin di luar peran domestik dan dalam skala besar?
Jawabannya mungkin saja boleh, selama wanita tersebut mampu menyeimbangkan kiprahnya di dalam rumah dan kiprahnya di luar rumah. Memang tampaknya diskriminatif tapi inilah kenyataannya dan inilah yang sebetulnya tengah diperjuangkan kaum feminis berupa pembebasan kaum hawa dari peran domestiknya yang sangat mulia bagi bangsa dan agamanya.
Selain itu, hal yang juga harus dipertimbangkan adalah bagaimana agar setiap kiprah kaum hawa dimanapun juga dapat selalu menjaga martabat dirinya dan suaminya, menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya dan sebagainya. Sehingga memberi kesan bahwa ingin berkiprah sebagai seorang pemimpin di luar rumah harus lulus persyaratan-persyaratan yang sulit.
Apa sebetulnya hikmah yang ada dibalik persyaratan yang harus dipertimbangkan ketika hawa hendak menjalankan kiprahnya di luar rumah?
Kaum hawa adalah makhluk yang rentan mendapat fitnah, karena kecenderungan alamiah/ fitrahnya sebagai makhluk yang seluruh tubuhnya adalah aurat (kecuali muka dan telapak tangan), dimana pandangan-pandangan jahat selalu menmcari celah untuk mengungkap salahnya.
Untuk menjaga agar tidak terjadi kemungkinan tersebut, Ibnu Ahmad Dahri (1993) menentukan batasan-batasan ketika kaum hawa hendak berkiprak di ruang publik menjadi pemimpin di luar rumah tangga ataupun bekerja yaitu, diberi izin oleh walinya, tidak bercampur baur dengan lelaki bukan muhrim, menutup aurat, tidak menampakkan perhiasan yang mengundang fitnah dan tidak dalam kemaksiatan.
Setelah mengetahui, hukum dan batasan-batasan wanita dalam bekerja, wanita juga perlu mengingat bahwa wanita memiliki peran dan tanggung jawab terkait dengan fitrahnya sebagai seorang wanita, seperti mengurus suami dan mendidik anak. Jangan sampai [eran sekundernya sebagai pemimpindi luar rumah tangganya (sebagai karrier) menghambat keharmonisan rumah tangganya sendiri.
Kaum Hawa yang Menjadi Teladan Kepemimpinan dalam Islam
Meneladani sosok yang lebih baik adalah fitrah manusia. Adapun kriteria untuk meneladani seorang tokoh adalah bermacam-macam. Menurut Shahin Iravani, secara umum, dalam Islam keteladanan dilihat melalui pribadi-pribadi tertentu yang memiliki nilai-nilai spiritual termulia (Ali Hosein Hakim, et, al, 2005: 92).
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa keteladanan bermacam-macam, ada yang diteladani karena kemahirannya akan suatu keterampilan, ada yang diteladani karena kemahsyuran, ada yang diteladani karena intelektualitasnya, kepemimpinannya, ada yang diteladani karena anugrah yang diberikan Allah Swt kepadanya dan lain sebagainya. Terkait dengan konteks makalah ini, keteladanan yang dimaksud adalah keteladanan yang menunjukan sebuah kualitas yang memperlihatkan pencapaian kemampuan maksimal dari kaum hawa sehingga dapat disetarakan dengan kaum adam. Dalam hal ini, kaum hawa tidak berarti tak mampu menyaingi kaum adam, akan tetapi stigma lama yang menyebabkan seolah-olah hawa tidak akan pernah setara dalam hal kemampuan dengan kaum adam.
Menurut Saedah Siraj, berdasarkan sebuah riwayat yang shahih, dalam Islam terdapat empat hawa sempurna yang tentunya patut diteladani, yang merupakan pemimpin kaum hawa yang harus diikuti, baik dari keimanannya maupun dari segi keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya, yakni:
a. Asiyah as, putri Muzahim dan istri Firaun.
b. Maryam as, putri Imran dan Ibu Nabi Isa As.
c. Khadijah As, putri Khuwailid dan Istri Nabi Muhammad Saw.
d. Fatimah az-Zahra as, putri Nabi Muhammad Saw.
Hawa-hawa pilihan tersebut adalah kaum hawa agung yang telah mencapai derajat intelektualitas yang paling tinggi dan merupakan yang paling bijak di antara semua kaum hawa dari awal hingga akhir zaman. Oleh karena itu, tiap-tiap kaum hawa selayaknyamemahami, mengalami, dan merefleksikan kehidupan hawa sempurna tersebut, agar dapat meneladani sosok kepemimpinan diri maupn umat yang dimiliki mereka dan dapat mencapai status tinggi dalam pandangan Allah Swt.
Asiyah as adalah salah satu perempuan suci yang patut diteladani kepemimpinannya terhadap diri sendiri dengan keberaniannya untuk membela yang benar. Perempuan suci ini berasal dari garis keturunan Bani Israil, yang dipilih Allah sebagai hamba-hamba yang diberkati-Nya (Qs. Maryam: 58). Beliaulah yang membesarkan Nabi Musa as dengan penuh cinta kasih, di sarang Fir’aun. Asiyah as merupakan teladan keberanian ketika menentang posisinya sebagai ratu dan mengabaikan semua kekayaan dan kemewahan duniawinya demi Allah Swt. Ia tidak mematuhi perintah suaminya untuk mempercayai sang suami sebagai Tuhan dan sebagai akibatnya, disiksa dan disalib hingga wafat sebagai syahid.
Teladan berikutnya adalah Maryam as yang merupakan putri dari Imran dan ibunda Nabi Isa as, juga berasal dari garis keturunan Bani Israil. Nabi Saw mengatakan bahwa Maryam as dan Fatimah as adalah sosok-sosok yang disucikan (al-batul) karena keduanya terbebas dari haid dan nifas. Sebagai konsekuensinya, maka Maryam as mampu melaksanakan ibadah kepada Allah tanpa terputus sebagaimana wanita kebanyakan. Selama masa-masa remajanya, dengan sepenuhnya, Maryam as mengabdikan diri kepada Allah Swt dan tak pernah berjumpa dengan seorang kaum adam pun kecuali mereka yang diizinkan oleh hukum agama.
Tokoh teladan yang juga masuk dalam golongan ini adalah Khadijah as yang merupakan putri Khuwailid dan istri pertama Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan perempuan pertama yang mempercayai ajaran Islam kaum hawa lainnya di masa itu menolak kepercayaan atas keesaan Tuhan. Ia juga merupakan seorang pebisnis suskses di zamannya namun mendermakan semua kekayaan untuk menolong Islam. Khadijah adalah istri yang sangat dicintai Nabi Muhammad Saw dan dikenal sebagai salah satu umat terbaik (khaira Ummatin), sebagaimana dinyatakan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahlulkitab beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali-Imran: 110)
Berikutnya adalah Fatimah az-Zahra yang merupakan putri yang paling dicintai Nabi Muhammad Saw dan salah seorang hawa yang paling suci dalam pandangan Allah Swt. Fatimah az-Zahra telah dianugrahi sebutan-sebutan sebagai berikut, pemimpin semua permpuan (sayyidah nisa al-‘alamin), pemimpin perempuan muslim (sayyidah nisa al-ummah), pemimpin semua perempuan beriman sejak zaman Adam as hingga akhir zaman (sayyidah nisa al’alamin), dan pemimpin kaum perempuan di surga (sayyidah nisa ahli al-jannah). Selain itu, Fasimah as juga dikenal sebagai, Yang paling cerdas (az-Zakiyah), Yang gilang-gemilang (az-Zahra) Yang disucikan (ath-Thahirah) dan Yang terbebas dari haid dan nifas (al-batul).
Demikianlah empat perempuan tersebut yang tentunya memiliki kualifikasi sebagai salah seorang dari kaum hawa yang patut dijadikan pemimpin dan teladan bagi kaum hawa yanga lainnya.
Dari kisah keempat perempuan suci tersebut dapat diambil hikmah mengenai sikap kepemimpinan keempatnya. Asiyah memiliki sifat kepemimpinan berupa keberanian untuk membela kebenaran serta bersedia mengorbankan harta bahkan nyawanya untuk suatu kebenaran yang benar-benar ia yakini. Walaupun ia bukanlah seorang pemimpin dalam sebuah halaqah atau pun lembaga, namun sifat kepemimpinan yang seperti inilah yang jarang ditemui pada pemimpin-pemimpin masa kini. Sedangkan dari sosok Maryam as, dapat diambil hikmah berupa mentalitas pemimpin (meskipun hanya memimpin diri sendiri) yang memberikan tauladan kerelaan berkorban secara total kepada apa yang diyakini yaitu Allah Swt, juga kedekatannya kepada Allah Swt sebagaimana perempuan-perempuan suci lainnya.
Dari keteladanan Khadijah dapat diambil hikmah berupa mentalitas mengutamakan kepentingan urang bayak dari pada diri sendiri. Hal ini terbukti dengan kerelaan khadijah memberikan hartanya untuk perjuangan sang suami (Rasulullah) di jalan Allah. Selain itu, kepercayaan yang penuh terhadap kebenarana dan tidak pernah meragukannya sedikitpun. Sedangkan dari keteladanan Fatimah az-Zahrah, dapat diambil hikmah mengenai sifat-sifat pemimpin ideal yang dapat menjadi contoh bagi anak buahnya, berdasarkan nama-nama indah yang dianugrahkan kepadanya yang tentu saja mencerminkan sifat-sifatnya.
Sosok lain yang telah secara nyata memimpin sesuatu adalah Aisyah ra (istri nabi Muhammad Saw) yang terlibat langsung dalam bidang politik, yaitu pada Perang Unta (656 M) melawan Ali bi Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Keterlibatan Aisyah ra memimpin langsung perlawanan tersebut bersama sekian banyak sahabat Nabi, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis.
Kembali lagi pada sosok Fatimah az-Zahra as dengan segala kesempurnaannya sebagai seorang insan, di era kontemporer seperti saat ini, putri Nabi Muhammad Saw tersebut dapat membantu meberikan pemahaman mengenai peran kaum hawa sebagai pemimpin dalam masarakatnya. Peran kepemimpinan ini dapat dilihat melalui bidang partisipasi sosial dan politik keperempuanan, bahwasannya ada tiga hal yang menjadi dimensi keterlibatan kaum hawa agar arah gerak peran kepemimpinan ini lebih terstruktur. Yang pertama, menentukan masa depan bangsa. Dan yang kedua, partisipasi dalam pemerintahan. Yang ketiga, keterlibatan dalam pengawasan sosial.
Selain itu, ada juga Ummu Hani yang menunjukkan indikasi kepemimpinan dalam bidang sosial-politiknya. Konteksnya adalah beliau memberikan jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik dan Nabi Muhammad Saw membenarkan tindakannya.
Dalam sejarah dunia juga terdapat tokoh kaum hawa yang menjadi penguasa yang paling populer dalam sejarah Islam. Dua ratu tersebut adalah Asma dan Arwa. Asma adalah istri Ali as-Suhaili, pendiri Dinasti Fatimiyah di Yaman yang terbunuh pada 1080. Sebagai seorang ratu Asma telah berhasil membangun kesejahteraan ekonomi sosial rakyatnya dan ia juga terkenal konsisten dalam menjaga perjanjian-perjanjiannya. Kepemimpinan Asma kemudian dilanjutkan oleh Arwa.
Tokoh lainnya adalah Radiyah Sultanah dan Khadijah. Radiyah Sultanah menggantikan ayahnya Ilutmish untuk berkuasa di Delhi tahun 1236, yang berusaha keras menegakkan keadilan sosial. Terdapat juga seorang ratu bernama Khadijah di kepulauan Maladewa, yang memperkerjakan seorang peziarah dunia, Ibnu Batutah sebagai hakim.
Kesimpulan
Kaum adam maupun hawa itu statusnya adalah menjadi teman satu sama lainnya dan keduanya melaksanakan perintah Allah, sehingga di hadapan-Nya mereka menikmati status yang sama dan keduanya berhak mendapatkan rahmat Allah Swt, dan di sisi lain keduanya juga diharapkan saling membantu dalam mencapai suatu tujuan yang baik. Oleh karena tidak ada alasan secara sosial untuk membedakan antara adam dan hawa sehingga kesempatan untuk berkompisi secara sosial terbuka lebar, salah satunya dalam bidang kepemimpinan.
Islam lebih mengutamakan wanita untuk berada di rumah untuk mendidik keturunanya secara maksima, baik dan benar. Karena dengan pendidikan yang maksimal, anak-anak keturunanya akan memiliki potensi dan keterampilan yang memadai yang mampu memberi kontribusi yang besar bagi bangsa dan agamanya. Jadi secara tidak langsung, istri sekaligus ibu tersebut telah memberi kontribusi berdampak sosial melalui anak-anaknya. Namun, tidak ada larangan bagi hawa untuk berkiprah diluar rumah selama peran dirumah tangga juga terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Dadang, S, dkk. 1997. Membincang Feminisme. Bandung Utara: Pustaka Hidayah
Dahri, Ibnu Ahmad. 1993. Peran Ganda Wanita Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Esack, Farid. 2002. On Being Muslim. Jakarta: Erlangga
Hakeem, Ali Hosein, dkk. 2005. Membela Perempuan; Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. Jakarta: Al-Huda
Murniati, A. Nunuk. P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesia
Shihab, Quraish. 2003. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
*Keterangan
Tulisan ini asli dan tidak ada perubahan dari penulis aslinya. Bila ada EYD atau kata yang salah atau kurang tepat sedianya dikoreksi dan berikan masukan saran atau kritikan melalui dinding komentar blog ini.
No comments:
Post a Comment