Sunday 21 August 2011

Apa Itu Skeptis?

“A cynic is a man who, when he smells flowers, looks around for a coffin”
Apa Itu Skeptis?
Pembahasan skeptis merupakan bagian pertama yang dipaparkan Luwi Ishwara dalam pendahuluan bukunya yang berjudul “Jurnalisme Dasar”. Skeptis adalah salahsatu ciri-ciri dari jurnalisme. Sebagaimana dikatakan Tom Friedman, skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu.
Jadi, skeptis selain menjadi sifat wartawan dalam mencari dan menguak kebenaran sebagaimana disebutkan dalam sembilan elemen jurnalisme, bahwa kebenaran adalah elemen pertama jurnalistik. Menurut saya, skeptis juga bisa menjadi jurus ampuh untuk menguak sebuah informasi yang hanya bersumber dari satu orang, untuk menemukan sebuah kepastian akan kebenaran.
Inti dari skeptis ialah keraguan. Dari keraguan tersebut timbullah keinginan untuk bertanya, mencari, untuk mendapatkan kebenaran. Kalau dalam istilah wartawan di lapangan, ialah informasi A1.
Lawan sifat skeptis ialah sinis. Sinis adalah ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan dalam hal ini bukan dibarengi dengan tindakan, akan tetapi, menolak akan informasi yang diterima, namun tidak melakukan tindakan dalam menguak informasi tersebut. Alias habis perkara.
Dalam kerja di lapangan, wartawan yang terikat dengan sembilan elemen jurnalisme salahsatunya kebenaran harus menjiwai sifat skeptis untuk menolak sinis. Dengan skeptis, wartawan akan berjuang dan kerja keras dengan mencari banyak sumber bukan hanya terpaku pada satu sumber. Makanya, Andreas Harsono dalam buku Agama Saya Adalah Jurnalisme menegaskan, suatu berita yang hanya berisi satu sumber, maka berita itu sangatlah tidak kuat.
Dengan sifat skeptis pula. Wartawan akan meronta atau menggugat dalam dirinya akan kebenaran informasi yang diterima.
Dalam pendapat lain, Oscar Wilde berpendapat skeptis merupakan awal dari kepercayaan, sedangkan sinis orang yang tahu harga, tapi tidak mengetahui nilai.
Vartan Gregorian dari Brown University malah berpendapat lebih keras, sinis merupakan kegagalan yang paling korosif (hancur secara perlahan). Menyebar kecurigaan dan ketidakpercayaan, mengecilkan arti harapan dan merendahkan nilai idealisme. 
Tokoh lainnya seperti H.L. Mencken mengibaratkan sinis seperti orang yang ketika mencium keharuman bunga, justru matanya melihat ke sekelilingnya mencari peti mati. 
Oleh karena itu, skeptis bukan hanya harus menjadi sifat jurnalis yang bekerja di lapangan, akan tetapi juga harus menjadi sikap perusahaan media. Sebuah media tidak akan pernah bisa besar bila hanya mengikuti arus informasi yang hanya disampaikan secara ringkas sebuah peristiwa setiap hari. Dengan itu, media dituntut memiliki tenaga lapangan (wartawan) yang berkompeten. Dengan SDM tersebut, media akan betul-betul menjadi pilar kelima demokrasi yang menuntut perbaikan dan reformasi.
Akibatnya, bila media tidak memiliki SDM yang keras dengan jiwa skeptis, maka secara tidak langsung membuka kesempatan bagi oknum tertentu untuk korup. Bila skeptis, maka akan mendorong pada perubahan dan menutup pintu korupsi, sebab segala informasi akan tersaji dengan lengkap dan jelas.
Peran media dalam mewujudkan kedemokrasian bukan hanya menjadi tugas perusahaan, akan tetapi wartawannya juga memiliki tugas demokratik untuk menulis secara jelas dengan menggunakan bahasa publik. Wartawan sebagai kontrak social yang paralel dengan masyarakat, memikul sebuah kepercayaan dari masyarakat. Selama kepercayaan “menyampaikan informasi” itu terjaga sesuai dengan kode etik yang telah ditentukan, selama itu juga demokrasi bangsa akan berjalan. 
Ringkasan Ubay KPI dari buku Jurnalisme Dasar karya Luwi Ishwara
Di Kamar, 21 Agustus 2011 ba’da sahur

No comments:

Post a Comment