Masjid Jami’ Darussalam Kedamin
Cerminkan Arsitektur Melayu
Cerminkan Arsitektur Melayu
Oleh Viodeogo
Suasana sore hari semakin ramai. Warga tua-muda datang membeli panganan berbuka puasa. Pedagang-pedagang berbagai macam makanan dari kue-kue ringan, lauk pauk dan minuman seperti air kelapa, sirup, kolang-kaling hingga cendol berjualan di pinggir kiri kanan jalan Kedamin Putussibau, Lintas Selatan Kapuas Hulu.
Sambil memilih-milih santapan untuk berbuka makanan, terdengar suara ceramah dari masjid kecil, jaraknya antara pedagang makanan berbuka puasa dengan masjid sekitar 10 meter saja. Suara itu tak asing lagi bagi sebagian telinga masyarakat. Intonasinya begitu bersemangat. Suara tertawa renyah keluar dari yang mendengarnya.
Pemilik suara khas itu KH. Zainuddin MZ, Ustadz yang sering tampil di tv. Ia dikenal Dai’ Sejuta Umat. Suaranya sampai bisa didengar hingga beberapa radius puluhan meter jaraknya.
Asalnya dari Masjid Jami’ Darussalam. Masjid yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Putussibau dan Kedamin.
Masjid Jami’ Darussalam merupakan salah satu masjid di Putussibau yang tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan masyarakat Putussibau baik dari aspek filosofi, geografis, hingga antropologi masyarakatnya. Ia memiliki jejak rekam sewaktu masa pendirian pembangunannya.
Seseorang yang tahu betul masjid itu berdiri sekaligus pula saksi sejarah berkenan bercerita, namanya Muhammad Thaib Noeh. Ia penasehat pengurus Masjid tersebut. Ia merupakan orang yang langsung turun tangan sendiri turut berandil besar berdirinya masjid sederhana namun memiliki nilai sejarah tinggi itu.
Ia adalah generasi pertama saat Masjid Jami’ Darussalam didirikan pada tahun 1984 di bulan Maret kala itu. Dengan lugas ia bercerita, membuka memori kembali 27 silam lalu. Haji Thaib, sapaan akrab warga Jamaah Kedamin ditemani H. Mukhtaruddin wakil ketua pengurus mulai bertutur.
Di Putussibau pernah berdiri Masjid Jami’ Nurul Islam, berada di Kampung Tanjung Jati. Masjid itu pun terkenal dengan sebutan Masjid Tanjung Jati. H. Thaib tidak tahu pasti, kapan tahun berdiri masjid itu. Arsitekturnya sangat unik, nafas Melayu terukir di masjid itu. Masjid Tanjung Jati menjadi rumah ibadah favorit jamaah.
“Sejuk saat berada di dalamnya, karena lantai serta dinding dari kayu,” kata H.Thaib, usianya sudah melewati angka 60.
Dari berbagai wilayah Putussibau dan sekitarnya orang rela mengayuh sampan, melawan arus dengan niat dapat bersembahyang di masjid itu. Dulu Putussibau masih terbelah oleh sungai, tidak ada penghubung darat. Sehingga yang dari Kota Putussibau rela mengayuh sampan menuju ke masjid. Begitu juga dengan H.Thaib bersama orang tuanya alm. H. Hasan Adenan berasal dari Kedamin mengayuh sampah menyeberang sungai ke arah Kampung Jati. Usia H. Hasan Adenan sudah tidak kuat lagi untuk mengayuh sampan menuju Masjid Tanjung Jati.
Bersama H. Hasan Adenan, Muhammad Harlan, dan Muhammad Ali Bujal yang merupakan warga Kelurahan Kedamin mengusulkan kepada pengurus Masjid Tanjung Jati agar di Kedamin berdiri masjid. Pertimbangannya tak lain karena sudah tidak kuat lagi mengayuh sampan menuju Masjid Tanjung Jati. Masjid Tanjung Jati memang dulu menjadi pusat jamaah yang mayoritas berasal dari Kedamin dan Kelurahan Teluk Barak. H. Thaib pada tahun 1984 bersama-sama dengan orang-orang tua Kedamin Hilir, meminta izin kepada pengurus Masjid Tanjung Jati yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri seperti H. Subir, Abang Husman, agar di Kedamin Hilir didirikan Masjid.
Permintaan itu dikabulkan. Tak perlu waktu lama untuk membangun masjid itu. Tinggal mencari lokasi tanah yang tepat mendirikan bangunan masjid. Pemrakarsanya juga dari Wan Abdullah Mahdi sebagai Kepala Kelurahan supaya dibentuk panitia pendirian masjid baru. Bulan Maret 1984, panitia dibentuk dengan ketua adalah Drs. Mustaan Hasnan.
Dana hampir 75% untuk pembangunan mayoritas berasal dari swadaya masyarakat. Kurang dari setahun, di tahun 1985 berdiri bangunan masjid yang diberi nama Masjid Jami’ Darussalam. Kecil, sederhana, dan tidak megah. Tapi nilai bangunannya merupakan cerminan atau duplikat masjid-masjid sederhana lain di Kapuas Hulu yang didirikan sekitar tahun 1970-1980an. Masjid Jami’ Darussalam menggunakan Kayu Belian sebagai tiang pondasi agar kokoh, termasuk kelas kayu istimewa tak ada yang bisa mengalahkannya. Lantai dari kayu, kiri-kanan barulah menggunakan kayu kelas 1.
Keunikkan dari masjid ini terletak di muka pintu utama. Bila mengadah kepala ke atas, tampak ukiran khas Melayu seperti yang tampak di rumah-rumah Melayu di Kapuas Hulu. Masuk ke dalam udara sejuk terasa di ruang untuk berjamaah. Lantainya yang sejuk terbuat dari kayu. Seiring perkembangan waktu, dengan pertambahan jumlah penduduk, tahun 2006 pernah dilakukan rehab.
Seiring perkembangan penduduk pula, di mana masjid tidak dapat lagi menampung banyaknya jamaah. Masjid Jami Darussalam dengan ukuran 18x22 meter berjumlah lebih 500 orang itu akan diganti bangunan baru dengan daya tampung kurang lebih dari 5000 orang. Kerangka-kerangka bangunan masjid baru sudah dibangun tepat di belakang bangunan masjid lama. Saban hari, pekerja bangunan masjid mengangkut semen.
“Lebaran tahun depan mudah-mudahan ini sudah selesai,” kata Mukhtaruddin.
Masjid bangunan baru itu nanti, dibangun dengan tingkat 2. Akan ada bangunan khusus pengajian, perpustakaan, dan TPA.
Bulan puasa menjadi bulan yang ditunggu-tunggu khusus bagi jamaah Masjid Jami’ Darussalam di Kedamin Hilir ini. Satu kekhasan selama bulan Ramadan dari masjid ini dibandingkan masjid lain baik di Kota Putussibau maupun di tempat lainnya di Kapuas Hulu adalah jumlah rakaat selama Tarawaih. Masjid Jami’ Darussalam melaksanakan 20 rakaat. Kegiatan-kegiatan lain selama bulan Ramadan sama dengan masjid lainnya seperti Tadarus.
Di tahun depan pula, bila tidak ada halang rintang suara dari Alm. KH. Zainuddin MZ dari pengeras suara tidak lagi berasal dari Masjid Jami’ Darussalam yang kecil bersejarah ini. Tapi berasal dari Masjid yang lebih besar lagi bangunannya yang dapat menampung jamaah dalam jumlah yang lebih besar.
No comments:
Post a Comment