Dialog Sehari Kemenbudpar
Peran Kebudayaan di Perbatasan
Oleh Fikri Akbar (Jurnalis Borneo Tribune)
Realitas sosial budaya dan adat istiadat komunitas adat wilayah perbatasan di Kabupaten Sanggau menjadi isu menarik dalam pembahasan dialog sehari yang diselenggarakan oleh Dirjen Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Bertempat di Hotel Grand Narita, Sanggau, Kamis (7/7), perbincangan tentang pemahaman terhadap kebudayaan Indonesia dan peran strategis kebudayaan di wilayah perbatasan menjadi topik utama perbincangan bersama komunitas paguyuban, masyarakat, ormas dan LSM.
Bertindak selaku pembicara kala itu, Ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia dan Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Kabinet Gotong Royong, I Gede Ardika, Pemuntuh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sanggau, F. Andeng Suseno, M.Si, serta Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Sanggau, Raja Pangeran Ratu Surya Negara, Drs. Gusti Arman, M. Si. Acara tersebut dibuka oleh Bupati Sanggau, H. Setiman Hadi Sudin selaku keynote speaker dalam acara tersebut.
I Gede Ardika dalam presentasinya menyampaikan, berdasarkan penjelasan UUD 45 tentang tujuan pembangunan kebudayaan, tetap bermuara pada kemajuan dan perkembangan kebudayaan itu sendiri. Menurutnya, suatu kebudayaan harus menuju pada arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, yang kemajuan tersebut diperoleh dengan atau tanpa harus menolak bahan-bahan dari kebudayaan lain, yang justru dapat memperkaya kebuadayaan masyarakat itu sendiri.
“Posisi strategis budaya Sanggau, memperkuat identitas masing-masing. Perbedaan untuk disandingkan bukan dipertandingkan. Serta saling memberi (asimilasi) dan menerima (akulturasi) pengaruh luar,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Gede juga sempat menyinggung, terkait persoalan yang sering menjadi pemicu adanya pertentangan di antara masing-masing manusia berbudaya, yakni permasalahan nilai, moral serta etika dalam kehidupan. Hal itu diistilahkan Gede, sebagai tantangan lingkungan strategis.
Anggota Scientific Commite-UNWTO itu menguraikan, pemicu permasalahan nilai, moral serta etika itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya krisis ekonomi yang disebabkan karena kerakusan dan ketidakjujuran, atau yang akrab disapa dengan sebutan sistem ekonomi dengan konsep pertumbuhan tanpa batas. “Bentuknya, mengejar pertumbuhan, hedonisme, konsumerisme, mengesampingkan pemerataan, ekploitasi alam dan manusia, secara finansial berlebihan,” jelasnya.
Efeknya, kata dia, fenomena tersebut akan membentuk sistem sosial budaya yang sangat “individualistik”, yakni adanya kesenjangan kaya-miskin yang tinggi, memuja materi, mengabaikan nilai-nilai agama, tradisi, budaya, dan kemanusiaan.
Secara empirik, Pemuntuh DAD Sanggau, F. Andeng mengatakan, problematika yang mendasar pada masyarakat Dayak Kalbar umumnya, didominasi oleh masalah keterbelakangan. Keterbelakangan yang dimaksudkan Andeng, dapat dicirikan dengan kebodohan dan kemiskinan.
“Secara jujur harus kita sadari dan akui, bahwa persoalan mendasar yang sedang terjadi oleh masyarakat Kalbar umumnya, dan masyarakat Dayak khususnya adalah masalah keterbelakangan, yang dicirikan dengan kebodohan dan keterbelakangan. Itu menjadi tantang bersama,” papar Andeng.
Sementara Raja Sanggau dalam kajiannya, menjelaskan perihal tantangan akan tercemarnya suatu budaya yang dikarenakan masuknya konsep modernisasi. Menurut Raja, modernisasi (perubahan) dapat dipandang dari banyak sudut, baik dan buruknya. Dengan modernisasi, budaya bisa saja luntur begitu saja, namun juga dapat sangat kuat karena didukung dengan kemajuan-kemajuan yang dihasilkan. Tergantung individu-individu memaknainya.
“Walaupun ada budaya-budaya daerah yang sepertinya sudah ketinggalan atau tidak cocok dengan kondisi sekarang, pada pronsipnya bukanlah budaya itu yang ketinggalan atau tidak cocok, melainkan cara mengemas dan menampilkan budaya tersebut ke permukaan sesuai dengan kondisi sekarang,” jelasnya.
Dialog yang diselenggarakan ini, juga merupakan salah satu agenda penting dalam Pekan Gawai Adat Budaya Dayak ke-VII Kabupaten Sanggau.
Bertempat di Hotel Grand Narita, Sanggau, Kamis (7/7), perbincangan tentang pemahaman terhadap kebudayaan Indonesia dan peran strategis kebudayaan di wilayah perbatasan menjadi topik utama perbincangan bersama komunitas paguyuban, masyarakat, ormas dan LSM.
Bertindak selaku pembicara kala itu, Ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia dan Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Kabinet Gotong Royong, I Gede Ardika, Pemuntuh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sanggau, F. Andeng Suseno, M.Si, serta Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Sanggau, Raja Pangeran Ratu Surya Negara, Drs. Gusti Arman, M. Si. Acara tersebut dibuka oleh Bupati Sanggau, H. Setiman Hadi Sudin selaku keynote speaker dalam acara tersebut.
I Gede Ardika dalam presentasinya menyampaikan, berdasarkan penjelasan UUD 45 tentang tujuan pembangunan kebudayaan, tetap bermuara pada kemajuan dan perkembangan kebudayaan itu sendiri. Menurutnya, suatu kebudayaan harus menuju pada arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, yang kemajuan tersebut diperoleh dengan atau tanpa harus menolak bahan-bahan dari kebudayaan lain, yang justru dapat memperkaya kebuadayaan masyarakat itu sendiri.
“Posisi strategis budaya Sanggau, memperkuat identitas masing-masing. Perbedaan untuk disandingkan bukan dipertandingkan. Serta saling memberi (asimilasi) dan menerima (akulturasi) pengaruh luar,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Gede juga sempat menyinggung, terkait persoalan yang sering menjadi pemicu adanya pertentangan di antara masing-masing manusia berbudaya, yakni permasalahan nilai, moral serta etika dalam kehidupan. Hal itu diistilahkan Gede, sebagai tantangan lingkungan strategis.
Anggota Scientific Commite-UNWTO itu menguraikan, pemicu permasalahan nilai, moral serta etika itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya krisis ekonomi yang disebabkan karena kerakusan dan ketidakjujuran, atau yang akrab disapa dengan sebutan sistem ekonomi dengan konsep pertumbuhan tanpa batas. “Bentuknya, mengejar pertumbuhan, hedonisme, konsumerisme, mengesampingkan pemerataan, ekploitasi alam dan manusia, secara finansial berlebihan,” jelasnya.
Efeknya, kata dia, fenomena tersebut akan membentuk sistem sosial budaya yang sangat “individualistik”, yakni adanya kesenjangan kaya-miskin yang tinggi, memuja materi, mengabaikan nilai-nilai agama, tradisi, budaya, dan kemanusiaan.
Secara empirik, Pemuntuh DAD Sanggau, F. Andeng mengatakan, problematika yang mendasar pada masyarakat Dayak Kalbar umumnya, didominasi oleh masalah keterbelakangan. Keterbelakangan yang dimaksudkan Andeng, dapat dicirikan dengan kebodohan dan kemiskinan.
“Secara jujur harus kita sadari dan akui, bahwa persoalan mendasar yang sedang terjadi oleh masyarakat Kalbar umumnya, dan masyarakat Dayak khususnya adalah masalah keterbelakangan, yang dicirikan dengan kebodohan dan keterbelakangan. Itu menjadi tantang bersama,” papar Andeng.
Sementara Raja Sanggau dalam kajiannya, menjelaskan perihal tantangan akan tercemarnya suatu budaya yang dikarenakan masuknya konsep modernisasi. Menurut Raja, modernisasi (perubahan) dapat dipandang dari banyak sudut, baik dan buruknya. Dengan modernisasi, budaya bisa saja luntur begitu saja, namun juga dapat sangat kuat karena didukung dengan kemajuan-kemajuan yang dihasilkan. Tergantung individu-individu memaknainya.
“Walaupun ada budaya-budaya daerah yang sepertinya sudah ketinggalan atau tidak cocok dengan kondisi sekarang, pada pronsipnya bukanlah budaya itu yang ketinggalan atau tidak cocok, melainkan cara mengemas dan menampilkan budaya tersebut ke permukaan sesuai dengan kondisi sekarang,” jelasnya.
Dialog yang diselenggarakan ini, juga merupakan salah satu agenda penting dalam Pekan Gawai Adat Budaya Dayak ke-VII Kabupaten Sanggau.
No comments:
Post a Comment