Puasa, Perspektif Sosial Ekonomi
Oleh: Prihantono
Puasa Ramadan selalu menyita perhatian karena karakteristiknya yang unik, pertama, spesifikasi waktu. Zakariyah Al-Anshari menyebut dua jenis waktu khusus puasa Ramadan, yaitu ilm bil-waqt dan wujub al-tatabu’. Kedua, ruang punishment, yaitu sanksi yang diberikan kepada seorang muslim yang melakukan pelanggaran. Syaikh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib Mujib menyebut hal ini dengan qadha dan kafarat. Bentuk sanksi tersebut adalah mengulangi puasa di hari lain, memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang miskin. Ketiga, santunan konsumtif (zakat fitrah). Syaikh Nawawi Banten dalam Sullam al-Taufiq menegaskan bahwa zakat fitrah mempunyai keterkaitan dengan puasa Ramadan (bi idraki juz’in min ramadhana wa juz’in min syawwal). Santunan konsumtif ditentukan berbentuk makanan pokok (ghalibi qut al-balad).
Ruang punishment yang identik dalam puasa Ramadan sejalan dengan perilaku manusia yang cenderung membangkang dari aturan. Punishment merupakan langkah antisipatif atas perilaku yang kontraproduktif bagi pencapaian target-target spiritual-sosial puasa. Sehingga punishment mendorong umat Islam untuk tertib aturan dan bersama-sama konsisten mewujudkan agenda-agenda spiritual-sosial. Punishment yang berkaitan dengan Ramadhan inilah yang menjadikan kelompok muslim tampak menjadi sebuah perkumpulan masyarakat beragama prophetis (umat Muhammad) yang “dipaksa” untuk menciptakan kepastian, mempunyai antusiasme spiritual dan sosial, sekaligus melakukan perubahan sosial secara radikal dan meluas.
Puasa Ramadan telah mendorong umat Islam antusias meraih kehendak Tuhan dan dampak sosialnya mereka yakini sebagai kemauan Tuhan. Salah satu dari gerakan perubahan sosial tersebut adalah kebersamaan bekerja secara diam-diam mengatasi jurang antara yang miskin dan yang kaya. Puasa Ramadan selalu mengingatkan kepada umat Islam bahwa tantangan menonjol dan nyata bagi mereka di era global adalah kemiskinan. Umat Islam yang tersebar di Eropa, Afrika, Australia dan Asia masih berkutat pada persoalan kemiskinan. Dalam konteks ini puasa adalah metode jihad spiritual yang berdimensi kemanusiaan, di mana obyeknya adalah pengendalian diri sendiri agar mempunyai ketaatan spiritual berjuang mendistribusikan potensi ekonomi dan kekayaannya untuk kelompok masyarakat yang miskin.
Dimensi keimanan seorang muslim mampu mendorong jiwanya untuk berpuasa sebagai pemenuhan atas pilar keislamannya. Sedangkan dimensi kemanusiaan seorang muslim mendorong jiwanya untuk berpuasa sebagai wujud empati dan upaya mengasah rasa kepeduliaannya terhadap kelompok masyarakat ekonomi marginal.
Maka idealnya setiap individu muslim yang telah berpuasa mempunyai kepedulian sosial. Sikap ini termasuk modal dasar bagi upaya pengikisan perbedaan kelas sosial ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial berpotensi mampu menyelesaikan persoalan sosial ekonomi kelompoknya. Di sinilah titik strategis umat Islam, di mana agamanya mempunyai konsepsi dan strategi Pengentasan kemiskinan. Kepedulian sosial dalam Islam menjadi bagian dari sebuah sistem yang menjanjikan gerakan massif dan kolosal. Puasa tidak diragukan lagi mempunyai sakralitas yang mampu menimbulkan perasaan khidmat keagamaan saat menghadapi bahaya kemiskinan.
Puasa Ramadan selalu menyita perhatian karena karakteristiknya yang unik, pertama, spesifikasi waktu. Zakariyah Al-Anshari menyebut dua jenis waktu khusus puasa Ramadan, yaitu ilm bil-waqt dan wujub al-tatabu’. Kedua, ruang punishment, yaitu sanksi yang diberikan kepada seorang muslim yang melakukan pelanggaran. Syaikh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib Mujib menyebut hal ini dengan qadha dan kafarat. Bentuk sanksi tersebut adalah mengulangi puasa di hari lain, memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang miskin. Ketiga, santunan konsumtif (zakat fitrah). Syaikh Nawawi Banten dalam Sullam al-Taufiq menegaskan bahwa zakat fitrah mempunyai keterkaitan dengan puasa Ramadan (bi idraki juz’in min ramadhana wa juz’in min syawwal). Santunan konsumtif ditentukan berbentuk makanan pokok (ghalibi qut al-balad).
Ruang punishment yang identik dalam puasa Ramadan sejalan dengan perilaku manusia yang cenderung membangkang dari aturan. Punishment merupakan langkah antisipatif atas perilaku yang kontraproduktif bagi pencapaian target-target spiritual-sosial puasa. Sehingga punishment mendorong umat Islam untuk tertib aturan dan bersama-sama konsisten mewujudkan agenda-agenda spiritual-sosial. Punishment yang berkaitan dengan Ramadhan inilah yang menjadikan kelompok muslim tampak menjadi sebuah perkumpulan masyarakat beragama prophetis (umat Muhammad) yang “dipaksa” untuk menciptakan kepastian, mempunyai antusiasme spiritual dan sosial, sekaligus melakukan perubahan sosial secara radikal dan meluas.
Puasa Ramadan telah mendorong umat Islam antusias meraih kehendak Tuhan dan dampak sosialnya mereka yakini sebagai kemauan Tuhan. Salah satu dari gerakan perubahan sosial tersebut adalah kebersamaan bekerja secara diam-diam mengatasi jurang antara yang miskin dan yang kaya. Puasa Ramadan selalu mengingatkan kepada umat Islam bahwa tantangan menonjol dan nyata bagi mereka di era global adalah kemiskinan. Umat Islam yang tersebar di Eropa, Afrika, Australia dan Asia masih berkutat pada persoalan kemiskinan. Dalam konteks ini puasa adalah metode jihad spiritual yang berdimensi kemanusiaan, di mana obyeknya adalah pengendalian diri sendiri agar mempunyai ketaatan spiritual berjuang mendistribusikan potensi ekonomi dan kekayaannya untuk kelompok masyarakat yang miskin.
Dimensi keimanan seorang muslim mampu mendorong jiwanya untuk berpuasa sebagai pemenuhan atas pilar keislamannya. Sedangkan dimensi kemanusiaan seorang muslim mendorong jiwanya untuk berpuasa sebagai wujud empati dan upaya mengasah rasa kepeduliaannya terhadap kelompok masyarakat ekonomi marginal.
Maka idealnya setiap individu muslim yang telah berpuasa mempunyai kepedulian sosial. Sikap ini termasuk modal dasar bagi upaya pengikisan perbedaan kelas sosial ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial berpotensi mampu menyelesaikan persoalan sosial ekonomi kelompoknya. Di sinilah titik strategis umat Islam, di mana agamanya mempunyai konsepsi dan strategi Pengentasan kemiskinan. Kepedulian sosial dalam Islam menjadi bagian dari sebuah sistem yang menjanjikan gerakan massif dan kolosal. Puasa tidak diragukan lagi mempunyai sakralitas yang mampu menimbulkan perasaan khidmat keagamaan saat menghadapi bahaya kemiskinan.
No comments:
Post a Comment