Thursday, 18 August 2011

Persaudaraan di Ampel

Persaudaraan di Ampel
Oleh Dian Ina Mahendra
Sejak ratusan tahun lalu, Surabaya merupakan sebuah bandar yang sibuk sepanjang tahun dengan kegiatan perdagangan. Tak heran jika kota ini menjelma sebagai tempat berbaurnya berbagai suku bangsa yang hidup berdampingan dan saling memberi pengaruh dalam persaudaraan.
Salah satu bukti percampuran itu terletak di sekitar Masjid Sunan Ampel.
Seperti namanya, Masjid Sunan Ampel didirikan oleh Sunan Ampel yang terlahir dengan nama Raden Rahmat (dalam catatan “Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong” ia ditulis bernama Bong Swi Hoo).
Sunan Ampel berdarah Cina dari suku Hui asal Yunnan. Ayahnya, Makhdum Ibrahim alias Haji Bong Tak Keng menjadi Kapten Tionghoa di Campa. Lucunya, gambar wajah Sunan Ampel yang beredar sampai saat ini berbeda-beda; ada yang menggambarkannya berwajah Cina, sementara sebagian lainnya berwajah Arab.
Saya menduga, nama Arab dan Cina yang disandang Sunan Ampel tak hanya berpengaruh terhadap penggambaran beliau, tetapi juga memengaruhi keadaan masjid yang terletak di kawasan Ampel Denta ini.
Kedatangannya ke Jawa pada tahun 1443 disambut gembira oleh raja Majapahit, yang kemudian memberinya tanah rawa-rawa, untuk dibangun pesantren dan masjid. Bersamanya, para perantau Arab Yaman dan Cina daratan pun berdatangan. Awalnya mereka hendak berdagang atau belajar di pesantren Sunan Ampel. Namun lama-kelamaan mereka ikut bermukim dan membangun perkampungan di sekitar masjid.
Sampai hari ini, Masjid Sunan Ampel masih diapit kampung Arab dan Cina yang penduduknya hidup berdampingan dengan rukun.
Saya rasa keberhasilan Sunan Ampel membangun dan mengembangkan daerah ini tidak terlepas dari strateginya melibatkan dan merangkul penduduk sekitar. Sejak awal pembangunan masjid dan pesantren, ia telah  menyediakan tempat yang dibangunnya sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan.
Hingga pada abad ke-15, kawasan ini telah berkembang pesat menjadi pusat kegiatan pendidikan di Nusantara, bahkan terkenal sampai ke mancanegara. Santri-santri lulusannya tersebar luas ke berbagai pelosok untuk menggiatkan dakwah Islam. Beberapa tokoh yang berguru pada Sunan Ampel diantaranya Sunan Giri, Raden Patah dan Syekh Siti Jenar.
Ajaran Sunan Ampel lebih menitikberatkan pada penanaman akidah dan pelaksanaan ibadah dengan metode pengajaran yang sederhana. Salah satu ajarannya yang masih melekat adalah Mo Limo, yang terdiri dari moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai larangan berjudi, mabuk-mabukan, mencuri, memakai candu dan berzina.
Selain itu, tentunya ajaran mengenai sikap hidup bermasyarakat, untuk saling menghormati dan menghargai. Terbukti hingga kini kawasan perkampungan di sekitar Masjid Sunan Ampel terjaga kebersihan dan kerapiannya. Bangunan-bangunan tua bersejarah yang ada pun tampak terawat baik. Tak heran, kawasan ini selalu ramai oleh pengunjung, baik yang ingin beribadah atau berziarah ke makam Sunan Ampel yang terletak di sebelah barat masjid, maupun yang datang melihat-lihat dan berbelanja.
Kampung Arab di kawasan ini juga terkenal karena pertokoannya yang menyediakan berbagai jenis barang yang didatangkan dari Arab, atau dimaksudkan untuk keperluan muslim. Mulai dari sajadah, sarung, peci, tasbih, baju koko, mukena, minyak wangi, sorban, gamis, kaset ceramah, nasyid dan kasidah, kacang sampai obat-obatan Arab.
Berbagai jenis kurma juga melimpah ruah sepanjang tahun. Beberapa toko bahkan menjual air zamzam! Tak jarang, ada orang-orang yang membeli barang-barang buatan Arab ini untuk dibagikan ke tetangga sebagai oleh-oleh sepulang dari umroh atau ibadah haji.
Selain pertokoan, terdapat pula berbagai restoran yang menyediakan hidangan yang dipengaruhi kuliner Arab, seperti kambing oven, roti maryam dengan kari kambing, nasi kebuli dan STMJ yang dicampur rempah-rempah.
Sementara itu, kawasan pecinannya bergapura gaya Cina dilengkapi dua patung naga dan diisi deretan ruko berarsitektur peranakan yang menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari.
Sesuai namanya, mayoritas penghuni kampung ini adalah keturunan Cina, dan masih memegang teguh adat kepercayaan leluhur. Karenanya, sejumlah bangunan tua bergaya arsitektur Tionghoa masih dipertahankan dan dirawat.
Begitu pula perayaan Imlek dan Cap Go Meh juga dilaksanakan dengan meriah di Klenteng Hong Tiek Hien atau Klenteng Kong Co Kong Tik Cun Ong yang terletak di sekitar kawasan ini.
Saya menerka-nerka; mungkinkah lontong cap gomeh — yang tak terlihat seperti masakan Cina itu — adalah salah satu hasil perpaduan budaya kawasan ini?

No comments:

Post a Comment