Renungan Menjelang Idul Fitri
Oleh Hermansyah
Oleh Hermansyah
Segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan kita pada hari-hari terakhir Ramadan. Apakah puasa yang kita lakukan sebulan penuh ini diterima oleh Allah atau tidak? Tidak ada yang tahu, kecuali Allah. Walaupun begitu, lewat tanda-tanda yang diberikan Allah, kita dapat berusaha meraba-raba puasa yang kita jalankan diterima atau ditolak. Ada beberapa pertanyaan yang insya Allah dapat dijadikan sebagai tolok ukur diterima atau ditolaknya puasa seseorang.
Di antara pertanyaan itu adalah: pertama, semakin dekatkah kita kepada Allah? Kedekatan manusia kepada Allah dapat dirasakan dengan menyadari bahwa Allah hadir bersama kita di mana pun dan kapan pun. Dengan kesadaran seperti itu kita hanya akan memilih Allah sebagai sandaran dalam hidup, sebab selain Allah semuanya rapuh. Dalam surah Al-Ankabut ayat 41 Allah berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” Apapun yang dijadikan sandaran selain Allah pasti rapuh; harta, kekuasaan, jabatan, suami, istri, anak-anak dan sebagainya tidak lebih seperti sarang laba-laba. Semuanya datang dan pergi tanpa kita bisa mengendalikannya. Bahkan, semua itu bisa menjebak kita sebagaimana rumah laba-laba yang selalu mengintai mangsanya. Kedekatan kepada Allah juga ditandai dengan meningkatnya ibadah kepada-Nya. Ibadah wajib menjadi ringan, yang sunnah menjadi kebiasaan. Sebab selama Ramadhan kita sudah berlatih untuk terbiasa melakukannya.
Selanjutnya kedekatan kepada Allah berbuah terpeliharanya manusia dari perilaku yang menyimpang. Sebab dengan selalu merasakan adanya pengawasan Allah, kita tidak akan berani melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya, baik yang nyata maupun tersembunyi. Boleh jadi manusia lepas dari pengawasan BPK atau KPK, tetapi mustahil lepas dari pengawasan Allah. Terlebih lagi kita menyadari bahwa semua yang dilakukan akan diperlihatkan dan diminta pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah SWT. Firman-Nya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin: 65).
Kedua, semakin dekatkah kita kepada sesama manusia? Puasa sesungguhnya juga mengajarkan kepada kita untuk mendekatkan diri kita kepada sesama manusia. Bukankah puasa mendidik manusia untuk merasakan penderitaan yang dialami sesama? Dengan begitu diharapkan tumbuh kesadaran untuk mengulurkan tangan kepada kepada yang memerlukan. Bahkan Alquran lebih jauh mengajarkan bahwa untuk dapat membantu penderitaan orang lain bukan hanya ketika manusia dalam keadaan lapang tapi juga dalam keadaan sempit:”... (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,... (QS. Ali Imran: 134). Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari mengatakan:” "Allah melapangkan keadaanmu agar engkau tidak tetap dalam kesempitan, dan Allah menyempitkan keadaanmu agar engkau tidak terus dalam kelapangan, dan Dia melepaskanmu dari keduanya agar engkau terbebas dari sesuatu selain-Nya." Akan hilang darinya sikap tamak dan serakah, karena kedua sikap itu bertentangan dengan kedermawanan. Baginya, harta yang dimilikinya sesungguhnya tidak lebih dari titipan Sang Pemilik Sejati, yakni Allah. Karena itu, baginya punya dan tak punya hampir tak ada bedanya, karena secara hakiki semuanya berada dalam genggaman-Nya.
Selanjutnya silaturrahim terhadap sesama manusia akan semakin meningkat. Al-Qur’an mendidik kita:”...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
(Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak).
No comments:
Post a Comment