Saturday 27 August 2011

Ramadan dan Kemerdekaan

RAMADAN DAN KEMERDEKAAN
Oleh Muhamad Tisna Nugraha
Menelisik makna kemerdekaan berarti mencari makna hakiki arti merdeka yang sesungguhnya dalam realitas kehidupan umat beragama. Kata merdeka yang berasal dari kata mahardhika (Sansekerta) ternyata memiliki makna yang beragam dalam Bahasa Arab, misalnya kata merdeka dalam surah An-Nisa (4): 92 diungkapkan dengan kata “tahrir” dan “khurriyah” yang berarti merdeka dengan pemaknaan kata bermuara pada memuliakan masyarakat satu dengan yang lain.
Selanjutnya merdeka juga dapat diartikan sebagai seseorang yang menjadi mulia, tidak diperbudak, tidak terintimidasi dan tidak memiliki batas kasta. Mengingat orang yang masuk surga adalah mereka yang “merdeka” dengan jalan memurnikan hidupnya semata-mata kepada Allah SWT. Perhatikan firman Allah SWT dalam surah Al-Hujuraat (49): 13 “Inna akromakum ’inallahi atqoqum” (Artinya: sesungguhnya yang mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa).
Bagi umat Islam di Indonesia, bulan Ramadan dan hari proklamasi kemerdekaan negara Indonesia secara historis memiliki hubungan yang cukup erat. Dalam perhitungan kalender masehi, pembacaan teks proklamasi dikumandangkan pada Jumat tanggal 17 Agustus 1945 atau yang dalam kalender hijriah bertepatan dengan hari Jumat Legi, 9 Ramadan 1364 H. Sehingga, makna merdeka ini dapat sejalan dengan kata “itqun Minannar” yang diambil dari hadits Nabi yang sering dikaitkan dengan keutamaan bulan Ramadan : “.... awaluhu rahmah, wausatuhu maghfiroh, wa akhiruhu itqun minannar”.  (Artinya: ”......... Puasa Ramadan itu awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api).
Dengan demikian, maka makna merdeka adalah orang yang hatinya tidak lagi diperbudak hawa nafsu dan hidupnya murni ditujukan kepada Allah SWT. Dia tidak mencintai sesuatu karena Allah tidak membenci sesuatu kecuali karena Allah. Mereka bebas tanpa terintimidasi pengaruh “duniawi” atau yang disebut oleh sebagian ulama dengan ungkapan “taffarroda bihi walam yusyrik fiih” (Artinya: Mandiri, tidak mau dicampur tangani oleh pihak lain). Karena dalam konteks ini, ketauhidan kepada Allah dalam kalimat lailahaillah (Artinya: tidak ada tuhan selain Allah), berarti terbebas dan tidak mempersekutukan Allah sebagai Tuhan yang sebenarnya dengan sesuatu yang lain.
Inilah bentuk pembebasan dengan merelakan diri secara sungguh-sungguh mengabdi kepada Allah dengan jalan melakukan perintahnya dan menjauhi larangannya. Penghargaan yang dijanjikan kepada yang berbuat demikian, tiada lain adalah surga sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Fajr (89) ayat 27-28: “ya 'ayyatuha an-nafsu al-mutma'innahu arji`i 'ilá rabbiki radiyatan mardiyahan” (Artinya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya)
Semoga hari kemerdekaan yang bertepatan dengan pelaksanaan puasa di bulan Ramadan, dapat menjadi jembatan emas pembebasan diri dari segala bentuk penjajahan nafsu duniawi. Merdeka dalam arti bebas dari korupsi, bebas dari memakan makanan yang haram, bebas dari prostitusi dan narkoba serta bebas dari perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. Dengan demikian puasa yang kita jalani dapat menghubungkan teks ke dalam aktualisasi kontekstual kehidupan beragama . Wallahu a’lam





No comments:

Post a Comment